AWAS ADA RANJAU

2272 Words
    Seorang gadis sedang menikmati sinar mentari pagi di halaman rumah. Gadis itu duduk di kursi rodanya dengan memejamkan kedua mata. seolah tubuhnya tengah menyerap energi alam di pagi hari. Gadis itu adalah Shafa yang sedang berjemur dan menghirup udara yang bersih tanpa adanya polusi. Di sebelahnya ada Siti yang selalu setia berada di dekat Shafa, agar lebih mudah saat Shafa memerlukan bantuan. Tanpa harus berteriak memanggil terlebih dulu.     Siti melihat Reza dan Iwan yang sedang berlari di kejauhan dari arah hutan. Entah apa yang mereka lakukan di dalam hutan. Lama lama mereka sudah dekat dan hampir sampai di pagar rumah yang mereka kontrak untuk  sementara. Nampak seluruh tubuh Reza dan Iwan basah kuyup, entah karena keringat atau karena air. Siti merlihat ada sebuah kantong plastik di dalam genggaman Iwan. “Apa yang kamu bawa itu Wan?” Siti melayangkan pertanyaan ketika Reza dan Iwan sudah memasuki halaman. Iwan menoleh pada tangan kanannya yang menenteng sebuah tas plastik. Shafa membuka kelopak matanya ketika mendengar suara Siti. “Kamu mau?” Iwan menyodorkan kantong tersebut kepada Siti. Siti melihat ada sesuatu yang bergerak di dalam kantong  plastik tersebut. “Apa itu Wan?” Siti bergidik melihat kantong plastik yang bergerak gerak. “Ini ikan, aku baru menangkapnya di sungai tengah hutan.” Jawab Iwan “Wan apakah sungainya jauh?” tanya Shafa yang sedari tadi mendengarkan percakapan antara Siti dan Iwan. “Lumayan jauh non. Kira kira empat puluh menit perjalanan dengan jalan kaki.” Reza menjawab pertanyaan Shafa. “kursi roda bisa lewat gak?” Shafa bertanya dengan sedikit ragu. Sebenarnya Shafa ingin sekali menjelajahi desa tersebut, apa lagi letak desa berada di tengah gunung. Membuat jiwa petualang Shafa muncul. “ Bisa non. Hanya saja jalan yang menuju sungai curam dan licin. Harus hati hati saat melintas.” Iwan menjelaskannya kepada Shafa. Shafa benar benar ingin menuju sungai yang di ceritakan Iwan dan Reza. “Disana juga ada air terjun non. Cantik banget, secantik non.” Reza memuji Shafa di dalam hati. “Siapa yang cantik?” sontak ke empat orang yang berada di halaman rumah terkejut ketika mendengar suara Adrian yang keluar dari dalam rumah. “A ,,, anu tuan, A ,,, air terjun.” Jawan Reza dengan takut. Ia takut Adrian akan salah paham dengan ucapannya. “Apa kamu telah melakukan kesalahan? Kenapa kamu begitu gugup?” Adrian smenatap tajam Reza yang saat ini gemetar. “Ti ,,, tidak tuan.” Reza menelan ludah dengan susah payah untuk menghilangkan rasa gugupnya. “Ad, bagaimana mereka tidak gugup, kalau kamu bertanya dengan raut ingin menguliti mereka!” cibir Shafa. “Sayang, raut mukaku memang seperti ini. apa perlu aku menirukan raut wajah chibi marukochan?” Adrian mencoba untuk mencairkan suasana agar tidak terlalu tegang. Shafa tertawa mendengar ucapan Adrian yang lucu.      Hari ini adalah week end, dan Adrian memilih untuk menginap di sini. Sudah tiga minggu Shafa dan yang lainnya berada di desa tersebut. setiap akhir pekan, Adrian akan pergi ke sana menemani Shafa, dan memberi dukungan moril selama masa pengobatan. Adrian mendapat masukan supaya membuat Shafa tetap bahagia selama terapy. Itu akan sedikit membantu proses penyembuhan kaki Shafa. “Wan kamu taruh ikan itu di dapur agar segera di masak mbok Darmi.” Perintah Shafa kepada Iwan. “Baik non” Iwan segera masuk dan menuju dapur untuk memberikan ikan hasil tangkapannya bersama Reza di sungai. Reza pun ikut masuk karena tubuhnya mulai menggigil karena kedinginan. Kulitnya pun sudah mulai keriput. “Ad, bolehkah aku nanti berkeliling?” Adrian mengerutkan kening. “Kamu ingin berkeliling kemana sayang?” Adrian ingin tahu kemana Shafa akan pergi, “Aku ingin ke air terjun” jawab Shafa dengan penuh semangat. “Dimana itu? Apakah jauh?” “Kata Reza dan iwan berada di tengah hutan, pagi ini mereka menangkap ikan di sana.” dengan binar mata penuh harap. “Ya baiklah,tapi dengan syarat!!” Adrian menyetujui keinginan Shafa. “Apa itu? Apa Syaratnya?” Shafa melihat Adrian menunjuk ke arah bibirnya. Shafa tahu apa yang di inginkan Adrian itu. “Bukankah tadi sudah?” tanya Shafa “Tadi pagi itu adalah rutinitas harian Sayang, kalau yang ini adalah bayaran karena aku mengizinkamu pergi berkeliling.” Ujar Adrian sanmbil menaik turunkan alisnya. “Haruskah disini?” tanya Shafa, sebab dia malu jika dilihat orang sekitar. Apalagi jika yang melihat adalah anak di bawah umur. Itu tidak akan baik untuk anak tersebut. Adrian mendekatkan wajahnya kepada Shafa, tanpa menghiraukan pertanyaan Shafa. Shafa menghembuskan nafas dalam dalam, dan di keluarkan secara perlahan. Shafa perlahan dan malu malu mencium bibir Adrian di halaman rumah. Beruntung, tidak ada satu pun orang yang melintas di depan rumah tersebut. Usai sarapan, Shafa bersiap untuk berpetualang menjelajahi hutan. Shafa membawa beberapa pakaian ganti, karena ia bermaksud untuk bermain air di area air terjun. Rombongan Shafa berjumlah lima orang. Di antaranya yaitu, Shafa dan Adrian, Siti dan Iwan bertugas untuk membawa tas ransel serta camilan untuk mereka. Dan yang terakhir adalah Reza sebagai penunjuk jalan. Di dalam perjalanan, Shafa senantiasa duduk di kursi Roda yang di kendalikan oleh Adrian. “Sayang, kita akan berkeliling kemana? Kenapa kita menuju hutan?” Adrian menoleh kanan dan kiri. Yang ia lihat hanya ada pohon pinus yang menjulang tinggi. sedikit ngeri berada di dalam hutan. “Yang namanya air terjun, tempatnya selalu di tengah hutan Ad! Jangan katakan kalau kamu tidak pernah ke air terjun.” Ujar Shafa menyelidik. “Kamu memang benar sayang. Aku sama sekali belum pernah ke tempat seperti ini.” jawab Adrian jujur. “Baiklah, sekarang kamu akan tahu rasa serunya berpetualang!” teriak Shafa dengan penuh semangat. Adrian tersenyum senang melihat semangat Shafa yang membara. Semangat Shafa seolah mengalir kepada orang orang di sekitar. “OK, lets go!” ucap ketiga orang dengan serempak, siapa lagi kalau bukan Siti,Reza dan Iwan. Di awal perjalanan mereka terasa begitu menyenangkan. Jalan yang di lalui pun tidak terlalu sulit dan cukup untuk roda kursi yang di tumpangi Shafa. hingga pada saatnya mereka melalui jalan setapak, dan kursi Roda pun harus di lipat. Adrian menggendong Shafa di punggungnya. Sedangkan Reza yang bertugas membawa kursi roda Shafa. Siti dan Iwan berjalan di belakang Shafa dan Adrian. Terdengar suara berisik Siti dan Iwan yang saling berdebat. “ Sit, tubuh kamu kok cungkring banget sih. Kurang makan ya?! Badan kok gak ada dagingnya, hanya kulit sama tulang doang.” Iwan mengejek Siti. Siti yang mendengar dirinya di ejek, sedikit emosi. “ eh, ngejek orang kok gak liat badan sendiri. Lihat tuh ,,, badan kamu juga ketinggian. Noh ,,, kamu pantasnya jadi tiang listrik. Atau gak jadi bambu runcing tuh buat ambil jambu di pohon.” Ucap Siti dengan sarkas. “ Biarin, kalau aku jadi tiang listrik. Aku akan setrum kamu biar gosong. Kayak p****t panci. Ha ha ha.” Iwan tertawa terbahak bahak. Membayangkan tubuh Siti gosong dan rambut berdiri tegak kayak lidi akibat tersengat listrik. “ Berani kamu mau setrum aku?” ucap Siti yang tersirat nada ancaman. “ Memangnya kenapa gak berani? Kita sama - sama makan nasi kok.” Jawab Iwan dengan entengnya. Siti seketika tersenyum menang. “Baiklah, kalau begitu. Mulai saat ini kamu tidak boleh makan masakanku maupun masakan ibu. Kalau mau makan, masak saja sendiri.” Ucap Siti dengan tegas. Sontak kedua mata Iwan terbelalak. Iwan telah melupakan satu hal yang sangat penting. Yaitu Siti merupakan anak mbok Darmi. Yang selama ini memasak untuknya dan yang lain. “ Sit, kok gitu sih ,,,! Itu gak adil namanya.” Protes Iwan “ bodo” Siti tidak menghiraukan ucapan Iwan. “ Ayolah Sit, aku makan apa kalau aku tidak boleh makan masakanmu?” Iwan masih terus memohon. Setiap kali Iwan mendekat, maka Siti akan menjauh. “ Sit, hati hati ada ranjau!” Iwan memperingatkan Siti. Namun tidak di gubris oleh Siti. “ sit, ja ... “ belum sempat Iwan berucap, siti yang menghindari Iwan sudah berteriak. “ Aaaa” Siti jatuh ter duduk di rerumputan. Sebelah kakinya menginjak sebuah lubang yang tidak terlalau dalam, namun cukup membuat Siti hilang keseimbangan. “ Baru aja aku ingin bilang, jangan ke arah sini. Kena ranjau kan jadinya.”. Iwan menahan tawanya. Sedangkan Reza sudah terbahak bahak, “ Wan, apa ini Wan?” Siti mencium bau yang tidak sedap. “ itulah ranjau yang aku maksud. Ha ha ha ” Iwan tidak bisa menahan tawanya lagi. ” Ini seperti ko****n. Bau banget. WUEEK!” Siti serasa ingin muntah karena bau yang tidak sedap itu. “ Ehem, Wan bisa kamu ceritakan kepadaku? “ Tanya Adrian sambil menutup hidung dengan dua jari, begitu juga dengan Shafa. “ Maaf tuan, sebenarnya saya cimbirit crit di sana.” Ujar Iwan sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Shafa dan Adrian menatap cengo tidak mengerti maksud dari ucapan Iwan. Sedangkan Reza masih tertawa terbahak bahak. “Za,, tolong jelaskan kepada kami.” Titah Shafa kepada Reza. “ ehem, a. a.” Reza mencoba menetralkan rasa ingin tertawanya. “Begini tuan. Sebenarnya pagi pagi sekali kami (Reza dan Iwan) datang kesini untuk olah raga pagi. Flash Back Reza sudah bersiap akan olah raga lari di pagi buta. “ Za mau ke mana kamu? Ini masih sangat pagi untuk olah raga.” Kata Iwan yang masih rebahan di atas ranjang. “ Aku mau lari Wan, sekalian ingin melihat sunrise di gunung.” Kata Reza yang sedang mengikat tali sepatunya. “ikutan dong!, siapa tahu akan ada cewek yang mau sama aku.” Kata Iwan yang ingin ikut ke gunung. “ Kalau mau ikut, ayo buruan! Matahari sebentar lagi nongol!” teriak Reza sudah berada di halaman rumah. “Bentar dulu, aku masih memakai sepatu!” gerutu Iwan, yang sudah di tinggal pergi oleh Reza. Iwan segera menyusul Reza yang sudah lumayan jauh di depan. Saat melintas di tengah hutan, perut Iwan terasa sakit. “ Za tungguin dong! Perutku sakit ini!”  Iwan merengek kepada Reza. “ Sakit kenapa? Perasaan tadi baik - baik aja?” Reza berbalik badan untuk menunggu Iwan yang sudah tidak jauh darinya. “ Ini bukan karena penyakit Za, tapi sudah panggilan alam.” Kata Iwan sambil memegang perut dan pa***tnya. “ Nah, kamu mau buang di mana tuh k****an? Sungainya masih jauh lagi!” Reza merasa geli sendiri dengan tingkah Iwan. “ Aduh! Udah gak tahan ini. Kamu tunggu sini aja ya Za. Jagain kalo ada orang yang datang.” Iwan berlalu menuju rerumputan yang basah karena embun di pagi hari. Dengan berbekal kayu yang runcing untuk menggali lubang sebagai tempat pembuangan. Reza tertawa sendiri melihat tingkah konyol rekan kerjanya. “Ah ,,, lega.” Ucap Iwan dengan memegangi perutnya. “Ih ,,, jorok! Jangan pegang pegang. Itu tangan tadi di lap pake apaan?” Reza masih ragu dengan kebersihan tangan Iwan. “ sudah, kamu jangan Khawatir. Aku pake dedaunan yang masih basah. Di jamin bersih.” Kata Iwan meyakinkan Reza. “ Bagaimana kamu tahu? Mana gak pake air yang ngalir pula!” Gerutu Reza sambil bergidik jijik. “Ya tahulah, kalau gak percaya, sini aku pegang!” Iwan menggoda Reza dengan memegangnya. Tapi sebelum Iwan berhasil, Reza sudah berhasil melarikan diri dan menuju sungai. Flash Back end “Begitu ceritanya tuan.” Sontak membuat semua orang yang berada di sana tertawa terbahak bahak. Kecuali Siti yang merasa kesal dengan Iwan. “Iwaaaan kamu jorok banget! Cepat kamu tanggung jawab. Ini semua gara gara kamu.” Siti terlihat sangat marah kepada Iwan dengan mata yang sudah memerah. “Iya, sini aku bersihkan.” Iwan mendekat ke arah Siti dam mengambil kantong plastik yang ia bawa dari kontrakan dan beberapa bungkus tisu basah ukuran kecil.  “Aku sudah menduga kalau ini bakalan terjadi. ya aku siap siap aja! Aku gak tahu siapa yang bakalan terkena ranjau. Eh ternyata kamu he he he.” Iwan menjelaskan dengan menahan tawa. “BUGH” satu pukulan mendarat di kepala sampai punggung Iwan. “Aduh! Kenapa kamu pukul kepalaku?” protes Iwan yang di pukul oleh Siti dengan tas ransel yang ia bawa. “ itu hukuman buat kamu karena menertawakan aku! Dan lagi, hukuman kamu kamu tidak boleh makan masakanku dan ibu selama satu bulan, ngerti!” Siti menjabarkan hukuman Iwan dengan mata melotot. “Baik tuan putri. Tapi matanya jangan melotot seperti itu! Bola mata kamu hampir copot tuh!”  ucap Iwan yang masih sabar membersihkan ko***an pada kaki Siti. “BUGH” satu lagi pukulan di punggung Iwan. “Kenapa lagi Ti ,,, kenapa kamu suka sekali memukulku?” ucap Iwan dengan sabar. “itu hukuman karena kamu menyebalkan!” Siti mengepalkan kedua tangannya marah. Entah sejak keberangkatan mereka, Iwan selalu saja menggoda Siti. Dan membuat Siti kesal. “Kalian berdua sangat cocok. Pasangan yang unik hi hi hi!” ujar Shafa yang sedari tadi menyaksikan pertengkaran antara Iwan dan Siti. “Aku? Sama dia? OGAH!!” ucap Siti dan Iwan bersamaan dan saling menjunjuk satu sama lain. “Tuh! Udah kompak. Jawaban dan gerakan sama persis.” Shafa kembali menggoda Siti. “ini gara – gara kamu, ngapain kamu ikut ikut perkataan aku?” Siti tidak terima jika di sandingkan dengan Iwan. “Eh, kok aku lagi! Kan kamu yang menirukan ucapanku.” Iwan juga tidak terima di salahkan terus oleh Siti. “Sudah – sudah, ayo kita lanjutkan perjalanan. Keburu siang.” Titah Adrian, yang tidak ingin lagi mendengarkan pertengkaran Siti dan Iwan. Sepuluh menit perjalanan, akhirnya mereka sampai pada air terjun yang di tuju. Shafa meminta agar dirinya di dudukkan pada batu besar dekat air terjun. Tanpa sepengetahuan Shafa, Adrian mengambil gambar Shafa melalui ponselnya. Sedangkan Iwan dan Siti, sibuk membersihkan diri, akibat ranjau yang di tanam oleh Iwan. Hari ini merupakan hari yang menyenangkan untuk mereka berlima. Dari sinilah Adrian berubah menjadi pribadi yang lebih hangat, tapi sangat hati hati.        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD