KEMAJUAN

1207 Words
    Tiga minggu Shafa melakukan terapi akupunktur. Selama itu juga Shafa juga melakukan terapi modern di rumah sakit. Kini Shafa tengah melakukan terapi akupunktur di rumah kontrakan. “Coba anda gerakkan jari kaki anda, Nona.” Shafa menggerakkan jari kakinya dengan sekuat tenaga. Tapi masih sama, tidak bisa di gerakkan.     Dokter Ariel mengambil tas khusus untuk menyimpan  jarum, dan mengeluarkan beberapa jarum. Kemudian jarum terebut di tusuk ke beberapa titik di kedua kaki Shafa. Beberapa menit kemudian, terasa ada sesuatu yang hangat masuk ke dalam kulit kaki Shafa. Seperti tersengat oleh listrik.  Kulit kaki Shafa yang tadi putih mulus, kini berubah menjadi merah. Semakin lama semakin panas. “Apakah kulit anda terasa panas, Nona?” dokter bertanya sesaat setelah ia menacapkan jarum akupunktur. “Ini terasa panas, Dok.” Shafa menunjuk kakinya yang terasa panas. Keringat Shafa mulai bercucuran dengan deras diseluruh tubuhnya. “Sepertinya sel syaraf anda sudah mulai merespon jarum saya.” Dokter Ariel segera melepas semua jarum yang menancap di beberapa titik kaki Shafa. setelah semua jarum sudah tercabut, rasa panas yang tadi menjalar di seluruh kaki Shafa perlahan mulai mereda. Warna kulit Shafa juga perlahan kembali seperti semula. “Sekarang coba, anda menggerakkan jari kaki anda,” perintah dokter Ariel.     Dengan harap harap takut, Shafa menggerakkan jemari kakinya. Meski dengan susah payah, akhirnya Shafa dapat menggerakkan jari jempolnya. “Bisa bergerak, dok. Jari saya sudh bisa di gerakkan!” ucapnya dengan senang dan penuh rasa syukur.     Usaha Shafa selama tiga minggu ini telah membuahkan hasil. Shafa semakin semangat dan optimis untuk sembuh. Dan Shafa ingin kembali melakukan aktifitas di cafe sepeti sebelumnya.     Mulai dari menggerakkan jemari kaki, satu bulan setelahnya, Shafa mulai bisa menggerakakan pergelangan kakinya. Dalam dua bulan, perkembangan kaki Shafa semakin bagus. Hubungan Shafa dengan Adrian pun semakin dekat dan semakin intim. Tapi ada satu hal yang tidak berubah, yaitu trauma yang di alami Shafa masih saja menghantuinya.     Waktu terus berjalan, dan Shafa masih terus berusaha untuk segera sembuh. Dalam waktu lima bulan, Shafa kini sudah dapat berdiri. Meski hanya beberapa detik saja. Tanpa lelah, Shafa selalu terjatuh dan bangun di setiap hari. Shafa yakin, suatu saat ia pasti bisa kembali normal. Bahkan usahanya selama ini sudah membuahkan hasil.     Adrian meliha Shafa kembali terjatuh untuk yang kesekian kali, merasa kasihan dan jengkel bersamaan. Bukan tanpa sebab, itu semua karena Shafa sering kali melupakan waktu makannya apabila ia sudah belajar berdiri sendiri. “BRUUK” suara Shafa yang terjatuh. “Sayang, sudahlah. Besok kita lanjutkan lagi. Sekarang sudah malam dan kamu juga belum makan sejak tadi siang. Lebih baik kamu makan dulu. Agar mempunyai tenaga lebih untuk berlatih berdiri,” nasehat Adrian sembari membantu Shafa duduk di tepi ranjang. Kemudian berlalu untuk mengambil makan malam untuk Shafa.     Sejak kecelakaan yang menimpa Shafa, Adrian mulai berubah 180°.  Adrian kini tidak lagi mudah marah serta dapat mengontrol emosinya, dan segala kebutuhan sehari hari, akan ia lakukan sendiri selama ia bisa. Tidak lagi memerintahkan pelayan untuk melayaninya. Adrian juga mulai suka bercanda, meski candaanya terbilang sangat kaku. Tapi itu bisa membuat Shafa tertawa. “Sayang, ayo maka dulu. A ....” Adrian memegang sendok, bersiap untuk menyuapi Shafa. Shafa seketika membuka mulut lebar lebar dan melahap nasi yang berada di atas sendok. “Enyak, teima kasih ya!” ucap Shafa yang masih mengunyah makanannya di dalam mulut. Wajah Shafa semakin lucu dan imut. Pipi Shafa yang menggembung akibat banyaknya makanan yang berada di dalam mulut, membuat Adrian tertawa.     Usai menyantap makan malamnya, Shafa merasa sangat mengantuk. Mungkin karena terlalu lelah. Hanya dalam waktu sepuluh menit, Shafa sudah terlelap mengarungi dunia mimpi. Adrian melihat Shafa yang sudah terlelap di atas ranjang. Tersenyum senang, akhirnya Shafa mengistirahatkan tubuhnya.     Di pagi hari saat Shafa membuka pakaian hendak membersihkan diri, Shafa melihat banyak sekali tanda merah di tubuhnya. Shafa mengusap usap tanda merah tersebut berharap akan segera hilang. Tapi ternyata tidak bisa. “Ad ... kamu apakan tubuhku?” teriak Shafa dari dalam kamar mandi. Adrian yang merasa namanya di sebut, segera berdiri dan masuk ke dalam kamar mandi. “Ada apa, Sayang?” Shafa melotot saat melihat Adrian bertanya seperti tidak melakukan apa apa. “Kamu apakan tubuhku? Kenapa banyak sekali tandamu? Lihat ini, ini, ini, ini, ini, dan semua ini!” Tangannya bergerak menunjuk satu persatu pada tanda merah yang Adrian buat. Ada beberapa di leher, di lengan kanan dan kiri, di area tulang selangka, di punggung, perut, dan yang paling banyak berada di d**a dan paha. Hampir seluruh tubuh, penuh dengan tanda merah. “oh ... itu? Semalam aku khilaf, he he he,” ujarnya dengan muka tanpa dosa. Dalam hati Shafa tersentil dengan kalimat yang di ucapkan oleh Adrian, karena selama ini ia tidak dapat memberikan hak Adrian sebagai suami. Bukannya ia tidak mau memberikannya. Hanya saja, setiap kali mencoba, selalu saja nafas Shafa tiba tiba tersengal dan berakhir pingsan. Selalu saja seperti itu. “Kenapa banyak sekali, Ad?” Shafa memperhatikan seluruh tubuhnya. Sebenarnya, Shafa sama sekali tidak marah. Justru Shafa merasa sangat bersalah kepada Adrian. Shafa sadar dirinya tidak bisa menjadi istri yang baik untuk Adrian. “Maafkan aku Sayang, semalam aku sudah tidak tahan. Hanya itu yang bisa aku lakukan tanpa membuatmu tersiksa.” Mata Shafa mulai berkaca kaca, ia menahan agar air matanya tidak keluar. Hatinya sakit, sangat sakit. Bagaimana bisa Adrian menahannya selam ini. Shafa sangat mengerti, Adrian merupakan pria normal. Dan Shafa tidak dapat memenuhi kebutuhan biologisnya. “Ad, kenapa kamu menahannya selama ini?” “Aku sudah bosan bermain dengan para j***ng itu,” terang Adrian dengan santai. “Lantas bagaimana dengan Chatrine? Bukankah dia kekasihmu?” selidik Shafa. meski dalam hatinya terasa sesak. “Sayang, Chatrine bukanlah kekasihku. Dia hanya wanita penggila uang. Wanita itu merupakan wanita bayaran. Aku tidak akan sudi menjadikan dia sebagai kekasihku,”  Adrian menjelaskan. “Ad, maafkan atas segala kekuranganku. Jika Kamu membutuhkan pelampiasan, Kamu bisa memanggil Chat seperti waktu itu.” Shafa menahan sesak di dadanya. Air mata yang sedari di tahan, kini tak mampu lagi untuk membendungnya. “Apa yang Kamu bicarakan itu, Shafa?” Bentak Adrian. Adrian tidak mengerti dengan apa yang di katakan oleh Shafa. “Aku ... bukanlah istri yang baik untukmu ,Ad. Aku ... aku tidak bisa melayanimu layaknya seorang istri. Jadi ....” “Jadi? apa aku harus menikah dengan wanita lain, atau kamu ingin aku berselingkuh? Begitu!” Shafa hanya diam. Ia tidak mampu menjawab pertanyaan Adrian. “Asal Kamu tahu, Shafa. aku tidak dapat b*******h selain denganmu. Bahkan aku sudah mencoba berkali kali untuk berhubungan dengan wanita yang lebih cantik dan menarik dari Kamu. Tapi hasilnya ... nol besar. Aku sendiri juga tidak mengerti kenapa menjadi seperti ini. mungkin rasa cinta itu mulai bersemi di sini.” Tangannya menunjuk pada dadanya. “Jadi aku mohon, jangan pernah Kamu meminta aku untuk tidur dengan wanita lain. Itu akan percuma,” Mohon Adrian dengan duduk bersimpuh di depan Shafa. “Maafkan aku, Ad!” ucap Shafa dengan berlinangan air mata. Shafa benar benar tidak tahu dengan apa yang di alami oleh Adrian selama ini. Shafa merasa senang tapi juga merasa bersalah di lain sisi, Shafa sangat bahagia dan sedih secara bersamaan dengan apa yang ia dengar dari Adrian. Hingga Shafa melupakan satu hal, bahwa dirinya bukanlah bagian dari dunia yang di tinggalinya saat ini.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD