*ARKAN P.O.V*
Aku harus kuat, meski rasa sakit ini terus menggerogoti hatiku secara perlahan. Hidup segan mati tak mau. Mungkin itu peribahasa yang pas untuk keadaanku sekarang. tapi, aku percaya, Tuhan tidak tidur, dan Tuhan sudah merencanakan bagaimana kehidupan aku ke depan setelah Thalia benar-benar meninggalkanku dan menikah dengan Danish.
Aku bosan, mendengar tangisan Bibi Monic yang selalu saja menelfonku dan membujukku untuk merelakan Thalia untuk Danish. Seakan tidak memiliki rasa malu dan bersalah memaksa aku untuk mengikhlaskan semuanya. Dia sakit, aku lebih dari sakit. Lebih baik aku mati, daripada aku harus hidup dengan bergelumang rasa sakit yang dalam dai hatiku.
Urat syarafku seakan putus, hingga aku tidak bisa merasakan apa-apa lagi selain rasa sakit yang mendera hatiku dan menghujam jantungku. Aku sudah merasakan apa yang orang katakan dulu, bahwa lebih baik sakit gigi, daripada sakit hati ini. Tidak ada obat sakit hati menurutku. Tidak ada yang bisa mengobati sakit ini, kecuali bila Thalia tetap masih bersamaku.
Dua tahun aku rela menahan rindu. Menumpuk rindu di dalam rangkaian doa untuk kekasihku, tapi seperti ini yang aku dapatkan sekarang. Pertemuan nanti bukan pertemuan untuk melebur rindu, tapi membuang rindu. Ya, rinduku setelah pertemuan itu adalah rindu yang terlarang. Thalia bakal jadi milik orang, dan orang itu adalah sepupuku sendiri.
Aku mengalah. Memang aku mengalah, tapi bukan berarti aku kalah. Benar kata abah, orang yang mengalah, tidak akan selamanya kalah. Namun, kalah dalam b******a itu hal yang paling menyakitkan. Aku tidak tahu, bagaimana nanti setelah aku bertemu dengan Thalia. Haruskah aku meleburkan rinduku pada Thalia? Atau aku harus menumpahkan rasa sakit dan sedih ini pada Thalia?
Kemarin Thalia masuk rumah sakit, sudah tiga hari ini dia di rawat di rumah sakit. Aku bisa membayangkan betapa sakitnya hati dia saat ini, aku pun sama, kita sama-sama menanggung sakit yang teramat dalam. Tidak hanya kami berdua, orang tua kami pun sebenarnya sama-sama merasakan sakitnya hati kami berdua.
Sudah hampir sepuluh hari aku bolos kuliah. Aku memang beralasan sakit. Kenyataannya memang sakit, sakit hati lebih tepatnya.
“Kamu mau ke kampus?” tanya Bunda yang melihat aku sedang bersiap memakai jaketku.
“Iya, Bun, Arkan sudah hampir sepuluh hari izin,” jawabku dengan mendekati bunda yang sedang menyiapkan sarapan.
“Sarapan dulu kalau mau ke kampus,” tutur Bunda.
“Arkan tidak lapar,” jawabku.
“Kamu mau menyiksa dirimu sendiri? Jangan tumbang karena cinta!” tegas abah dengan menepuk pundakku.
“Kamu laki-laki, kamu tidak boleh seperti ini! Abah juga pernah merasakan hal yang sama, lebih parah abah, cinta abah dulu tidak terbalas oleh bundamu, kamu tahu sendiri lah,” ujar Abah dengan tersenyum menyemangatiku.
“Hmmm... baiklah, Arkan sarapan dulu,” ucapku dengan menaruh jaketku di kursi.
“Gitu dong, baru anak abah! Masa depan kamu masih panjang, jangan merasa kamu mati karena cinta yang kamu harap pupus di tengah jalan,” tutur abah.
Mungkin pagi ini, aku akan memulai hidupku seperti biasanya lagi sambil menunggu hari di mana aku menemui Thalia dan menerima keputusan yang pahit dalam hidupku.
^^^
Aku masih terdiam, duduk di atas sepeda motorku di tempat parkir sambil menunggu jam kuliah di mulai. Rasanya masih malas sekali untuk masuk kelas. Aku masih memikirkan keadaan Thalia sekarang, karena Tita pun tidak memberi kabar lagi dari kemarin.
“Permisi, Kak. Bisa geser sepeda motornya?” pinta seorang mahasiswi yang ingin menaruh sepeda motornya.
“Oh, iya, sebentar, Mbak,” jawabku sambil menggeser sepeda motorku.
Sepertinya dia mahasiswi baru, dia yang kemarin menabrak ku karena gugup. Aku hanya diam, dia pun mengucapkan terima kasih dan menunduk sopan padaku.
Aku melirik sepeda motornya yang terlihat klasik sekali. Baru kali ini aku melihat cewek berangkat kuliah dengan menggunakan sepeda motor yang seperti ini. Biasanya pakai mobil, atau dengan pacaranya.
^^^
Aku harus mulai hidupku lagi dengan semangat, meski hati mengajakku ingin meratapi nasib yang sangat buruk. Bagaimana tidak buruk, nasib percintaanku kandas di tengah jalan.
Aku langsung ke bengkel, aku rindu suasana bengkel. Sudah lama aku meninggalkan pekerjaanku. Sekarang aku akan mulai lagi, meski di bengkel banyak sekali kenangan bersama Thalia.
“Wih... dari mana saja kamu, Kan?” tanya Fajar.
“Dari kutub selatan!” jawabku dengan menaruh tasku di ruanganku.
Aku segera mengganti pakaian kerjaku. Aku melihat foto Thalia denganku di meja kerjaku. Terlintas bayangan Thalia lagi, aku segera menepiskan itu, karena aku tidak bisa lama-lama mengingatnya dan menanggung sakit yang lebih lagi.
“Arkan, ada yang mau tanya-tanya tuh di meja depan,” ucap Fajar.
“Iya, sebentar. Mau tanya apa? Kenapa tidak kamu saja?” ucapku dengan memakai topi favoritku saat aku bekerja di bengkel.
“Kamu kan yang lebih tahu, dari kemarin Mbak nya sudah ke sini, tapi kan tidak ada kamu, lagian dia ingin ketemu langsung sama pemiliknya,” jawab Fajar.
“Hmmm... sebentar,” ucapku dengan keluar dari ruanganku.
Aku menemui seorang wanita, lebih tepatnya gadis, karena yang mau menemuiku terlihat masih di bawahku umurnya.
“Selamat siang, Mbak, ada yang bisa saya bantu?” tanyaku.
Aku duduk di depannya dan menjelaskan apa yang dia minta. Dia ingin memodifikasi sepeda motornya. Dan memintaku yang menanganinya, karena ayahnya yang menyuruh agar aku yang memegang pekerjaannya.
“Ayahku sedang di luar kota, Mas. Beliau ingin sepeda motornya sedikit di modifikasi lagi, dan maunya Mas sendiri yang memegangnya,” ucapnya.
“Yang itu sepeda motornya?” tanya ku.
“Iya, Mas,” jawabnya.
“Apa ini milik Pak Akbar?” tanyaku lagi.
“Ya, betul sekali. Beliau ayahku, karena beliau sibuk, dan sedang berada di luar kota, jadi aku yang di suruh membawanya ke sini,” jawabnya.
“Mas yang tadi di kampus, ya?” tanya dia.
“Emmm... kampus mana?” aku balik bertanya dengannya dengan cuek dan dingin.
“Yang tadi di tempat parkir, dan aku meminta mas menggeser sepeda motor mas,” jawabnya.
“Oh, iya, Mbak,” jawabku singkat.
“Aku langsung cek sepeda motornya, ya?” Entah kenapa aku malas sekali basa-basi dengan cewek yang sok kenal sok dekat. Jadi, aku langsung mengecek sepeda motornyanya dan menjelaskan apa saja yang perlu di ganti, serta mengestimasi biaya dan waktu selesai perbaikan.
Aku langsung menyuruh bagian admin untuk mengurusnya setalah aku sudah selesai melihat keadaan sepeda motornya. Aku tidak basa-basi lagi dengan wanita itu dan langsung berpamitan untuk kembali mengerjakan pekerjaanku lagi.
Aku tidak suka dengan gadis yang cerewet banyak tanya dan sok kenal seperti dia. Aku saja enggan mendengarkan dia menyebutkan namanya. Biarlah, yang penting aku melayani dia yang mau memperbaiki sepeda motornya, bukan melayani dia mengobrol.
“Hei jutek amat kamu sama mbak itu?” tanya Fajar.
“Aku lagi malas basa-basi, Mas!” jawabku.
“Aku tahu perasaan kamu seperti apa, masa depanmu masih panjang, Arkan, kamu tidak boleh menyerah. Tatap ke depan, buktikan kalau kamu bisa. Bengkel ini butuh kamu, jadi jangan lemah seperti kemarin,” tutur Fajar.
“Iya, Mas, iya...,” jawabku dengan menyunggingkan senyuman yang sangat terpaksa.
^^^
Apa seperti ini rasanya sakit hati? Hingga aku merasakan waktu lambat sekali berputar. Dari tadi aku melirik jam dinding, masih saja jam dua siang. Mungkin hanya perasaanku saat ini saja.
Aku mengerjakan sepeda motor milik pelanggan tetapku. Pak Akbar, ayah dari gadis tadi. Entah namanya siapa, aku lupa. Dia mengenalkan dirinya, tapi aku tidak memerhatikan dan mendengarkan dia saat menyebut namanya.
Aku tidak boleh teledor mengerjakan sepeda motor Pak Akbar, karena beliau orang yang sangat teliti, dan berani membayar mahal untuk hasil yang sempurna. Pantas dia suka sepeda motor gaya retro, ternyata anaknya Pak Akbar, tidak heran dia gonta ganti sepeda motor yang klasik untuk ke kampus.
Aku harus profesional, aku tidak boleh egois karena hatiku sakit semuanya jadi berantakan. Meski di sini aku selalu teringat Thalia, saat bersama dulu, saat bercanda dengan Thalia, tapi aku harus bisa kerja dengan profesional.
Semua ini akan cepat berlalu, meski menyembuhkan luka itu teramat lama. Ya, aku hanya bisa berkata dalam hatiku seperti itu. Aku hanya bisa bersabar untuk masalah yang sedang aku hadapi, dan akan aku hadapi nanti jika Thalia benar akan menikah dengan Danish.
^^^
Aku sengaja pulang agak malam, aku sudah lama tidak ke cafe sepupuku, Kak Rana. Dia anak tanteku, harusnya dia yang memanggilku kakak kalau menurut silsilah keluarga. Namun, aku memanggilnya kakak, karena dia lebih tua dari aku.
Kata Almarhum Opa, Kak Rana gagal jadi cucu bungsunya opa, karena aku lahir. Tidak salah kalau Kak Rana cucu yang paling manja dengan opa setelah Kak Najwa. Tapi aku salut dengan apa yang Kak Rana lalui dalam rumah tangganya. Mungkin wanita lain tidak akan sanggup seperti Kak Rana. Semua itu sudah berlalu, Kak Rana sudah bahagia hidupnya.
Aku melajukan sepeda motorku menuju Cafe milik Kak Rana. Sebenarnya ini Cafe peninggalan Oma, tapi Kak Rana lah yang mengelola, setelah Tante Shita sudah tidak mau mengelolanya lagi.
Aku tidak melihat Kak Rana, mungkin sedang tidak di sini, karena dia punya banyak cabang cafe lagi.
“Arkan!” panggil seorang wanita.
“Kak Elin?” sapaku dengan mendekatinya.
“Kamu lama baru ke sini? Tumben tidak dengan Fajar?” tanyanya.
“Dia mau keluar sama temannya,” jawabku. “Kak, aku mau kopi hitam,” pintaku.
“Dengan sedikit gula, kan? Sama apa? Roti bakar kesukaannmu?” tanya Kak Elin.
“Sudah hafal ternyata,” ucapku. “Boleh deh,” imbuhku.
Aku duduk di dan membuka ponselku, belum ada pesan dari Tita, padahal ini sudah malam, harusnya dia memberik kabar padaku soal Thalia. Apa aku yang menanyakan kabarnya dulu, ya?
“Tita, bagaiman Kak Thalia?”
Aku mengirimkan pesan pada Tita. Tapi, belum ada tanda di baca olehnya. Aku tidak pernah menyangka, perjalanan cintaku dengan Thalia akan seperti ini.
“Hei, ngelamun!” tegur Kak Elin dengan menaruh kopi pesananku dan roti bakan favoritku di cafe ini.
“Siapa yang melamun? Kak Rana enggak di sini?” tanyaku.
“Baru pulang sama Pak Leo,” jawab Kak Elin.
“Kamu baru pulang dari bengkel?” tanya Kak Elin.
“Iya, pengin cuci mata saja, jadi ke sini,” jawabku.
Aku menyesap kopi yang ku pesan tadi sambil merasakan pahit yang di setiap tegukan. Namun, tidak ada yang mengalahkan kepahitan hati dan hidupku saat ini.
Aku sedikit mengobrol dengan Kak Elin. Dia di sini orang kepercayaan Kak Rana. Lumayan sedikit lega sih, bicara dengan Kak Elin yang enak di ajak ngobrol dan selalu memberikan solusi yang baik, seperti dengan Kak Raffi, tapi sayang, Kak Raffi sekarang tinggal di rumah eyang, orang tua Ummi Almira, jadi aku tidak bisa curhat dengan Kak Raffi lagi.