Chapter 10 - Bukan Permainan

1168 Words
Thalia masih duduk dengan bersandar di sandaran tempat tidurnya. Waktu terus berjalan, dia semakin pasrah dengan keadaannya saat ini. Thalia sudah bosan mendengar bujukan dan permohonan dari Monica, dirinya menyerah dan bersedia menerima Danish. Thalia menerima permintaan Monica tersebut, tapi dia meminta persyaratan pada Monica. Ya, Thalia mau menikah dengan Danish, tapi dia tidak akan melayani sebagai istrinya. Dia hanya menemani Danish hingga akhir Danish menutup mata. Tidak peduli Danish berapa bulan atau berapa tahun akan bertahan hidup. “Lia, kamu yakin dengan keputusanmu, Nak?” tanya Rere. “Iya, Ma. Lia sudah menyerah, sia-sia sudah harapan Lia di sini untuk mengejar cita-cita Lia, dan pulang ke Indonesia untuk menikah dengan Arkan,” jawab Lia. “Mama lihat, kemarin kamu menyodorkan satu lembar kertas yang baru saja kamu tanda tangani, dan kamu berikan pada Tante Monica, dan dia juga menandatanganinya?” Rere sedikit penasaran dengan apa yang kemarin Lia berikan pada Rere. Ya, selembar kertas yang berisi surat perjanjian yang Thalia buat. “Aku meminta persyaratan pada Tante Monica dan Danish juga,” jawab Thalia. “Maksud kamu?” tanya Rere dengan penasaran. “Lia mau menikah dengan Danish, asal Danish tidak menyentuhku sama sekali, Ma. Aku ingin aku utuh, hanya untuk Arkan, meski aku sudah menikah dengan Danish. Jika Danish melanggar itu, Thalia pergi dan Lia yang akan menceraikan Danish,” jawab Thalia yang berkata dengan tatapan kosong. “Lia, pernikahan bukan permainan, Sayang,” ujar Rere. “Perasaan juga bukan sebuah mainan, Ma. Berani mempermainkan perasaan Thalia, Thalia juga bisa mempermainkan pernikahan. Pilihannya mau atau tidak dengan perjanjian itu, kalau tidak ya Thalia tidak akan menikah dengan Danish!” ucap Thalia dengan tegas. Rere hanya diam saja mendengar penuturan Thalia. Dia tidak menyangka, akan seperti itu. “Mama tahu, kan? Bagaimana rasanya menikah tanpa cinta? Lia mau menolong Danish dengan menikah, tapi Lia tidak ingin melakukan hubungan suami istri, hingga waktunya Danish meninggal,” ucap Thalia dengan tersernyum tapi berlinang air mata. Dia merasa ingin membalas apa yang ia rasakan pada Danish, agar Danish merasakan sakitnya menikah tanpa menyentuh istrinya. “Andai tidak ada hukum, Thalia akan membunuh siapapun yang berani memisahkan Thalia dengan Arkan, Ma,” ucap Thalia yang masih menampakan senyuman dengan diiringi tangisan kepedihan. Batinnya sakit, jiwanya meronta, ingin sekali teriak dan meninggalkan semua orang yang sudah memaksanya menikah dengan Danish. Rere tidak tega melihat putrinya yang batinnya sangat tertekan seperti saat ini. Setelag pulang dari rumah sakit, Thalia tidak pernah mau keluar kamarnya. Dia hanya diam, dan menangis. Tubuhnya semakin kurus sekali. “Aku tidak mau, anakku jiwanya terganggu. Aku takut, batin dan jiwa Thalia tidak kuat menghadapi kenyataan ini,” gumam Rere dengan menatap sendu anaknya. Rere keluar dari kamar Thalia, dia menemui suaminya yang sedang melamun memikirkan masalah yang menimpa putrinya. Bukan dia memaksa, tapi memang keadaan yang mengharuskan seperti ini. “Pa,” panggil Rere pada Leon. “Iya, Ma,” sahut Leon dengan menoleh ke arah Rere. “Aku takut, Pa. Aku takut batin dan jiwa Lia terganggu karena masalah ini. Sorot mata Lia sudah seperti itu,  bicara pun sudah ngawur ke sana-sini,” jelas Rere dengan penuh kecemasan. “Mama, jangan bicara seperti itu,” ujar Leon. “Aku khawatir saja, Pa,” ucap Rere. “Papa tahu, soal Lia yang menuliskan perjanjian di atas materai dengan Monica?” tanya Rere. “Enggak, memang perjanjian apa, Ma?” tanya Leon. “Lia, dia mau menikah dengan Danish, tapi Lia tidak mau melayaninya sebagai seorang istri. Dia menikah dengan Danish hanya menunggu Danish tiada saja, katanya seperti itu. Dan, jika Monica dan Danish tidak mau menandatanganinya, dia tidak akan mau menikah dengan Danish, Pa,” jelas Rere. “Kenapa Lia seperti itu, Ma?” tanya Leon. “Papa harusnya tahu, bagaimana perasaan putri kita. Jadi, tidak usah bertanya kenapa Lia seperti itu. Dia seperti sekarang ini, karena keadaan yang seperti ini, Pa. Makanya mama takut, psikologis Lia terganggu karena ini,” jelas Rere. Leon hanya diam saja. Dia merasa bersalah, karena dirinya yang sedikit memaka Lia untuk menikah dengan Danish. Leon tidak enak dengan Zidane dan Monica yang terus membujuknya untuk menyetujui Danish dan Thalia menikah. ^^^ Sementara itu, Danish yang masih duduk di bed rumah sakit, di ruang perwatannya, sedang memikirkan surat perjanjian Lia kemarian. Danis memang hanya ingin Lia di sisinya dan menikah dengannya. Tidak peduli Lia mau melakukannya pada dirinya atau tidak. Itu tidak akan jadi masalah pada Danish. Yang terpenting bagi Danish, Thalia ada di sisinya hingga akhir menutup matanya. Vonis dokter kadang tepat kadang juga tidak. Danish tahu, kematian pasti akan terjadi. Orang sehat saja, tidak apa-apa akan dijemput dengan kematian, apalagi dirinya yang sakit-sakitan seperti ini, dan sakitnya adalah sakit yang tidak bisa di sembuhkan. Danish langsung menandatangani surat perjanjian yang Thalia buat. Dia menyetujuinya tanpa tapi. Dia akan melakukan apa yang Thalia mau, termasuk tidak ada hubungan suami istri setelah menikah nanti. Danish tidak peduli akan hal itu. Yang ia inginkan adalah bisa hidup dengan Thalia di sisinya, tanpa ada rasa tidak enak hati karena Thalia kekasih orang. Kalau Thalia tidak menikah dengannya, itu sama artinya dengan dirinya hidup bersama kekasih orang. Itu saja yang Danish mau, intinya dia ingin Thalia menemaninya sampai Tuhan menjemputnya. “Kamu tidak keberatan dengan perjanjian yang Lia tuliska ini?” tanya Monica dengan di dampingi Zidane. “Sama sekali tidak, aku malah lega Lia meminta syarat ini. Karena aku hanya butuh Lia dia sini, menemaniku hingga ujung waktuku nanti, Ma,” jelas Danish dengan tersenyum pada kedua orang tuanya. “Baiklah, kalau misal kamu setuju, mama akan bawa ini lagi pada Thalia,” ucap Rere. “Iya, Ma, bawa saja, bilang aku menyetujui surat perjanjiannya,” ucap Danish. “Oh, iya, Ma, kapan Arkan dan keluarganya ke sini?” tanya Danish. “Mungkin minggu depan atau depannya lagi,” jawab Monica. “Oh, ya sudah, Ma,” ucap Danish. Danish sudah terlihat sedikit membaik kedaannya. Apalagi mendengar Thalia bersedia menikah dengannya. Monica keluar dari ruangan Danish, dia duduk di depan, sambil merenungkan nasib anaknya nanti. Vonis dokter semakin membuat dirinya khawatir. Dokter bilang, Danish hanya mampu bertahan satu atau dua bulan saja. Dokter bilang, penyakitanya sudah bertambah parah, sel kankernya juga sudah menjalar di setiap pembuluh darahnya. “Mama tahu perasaan kamu, Danish. Kamu dari dulu mencintai Thalia, tapi mama juga kasihan dengan Thalia, mama merasa berdosa sekali, memaksa dia dan memisahkan dia dari Arkan,” gumam Monica dengan menyeka air matanya. Danish masih duduk di bednya. Dia  melihat papanya yang sedang duduk dengan memangku laptopnya. Danish menyadari kalau dia sangat menyakiti Thalia dan Arkan, tapi mau bagaimana lagi, dia ingin hidup dengan Thalia di sisa hidupnya yang tidak lama lagi, meski tanpa cinta dari Thalia. “Maafkan aku, Arkan, bukan aku merebut Thali dari dirimu, dan bukannya aku egois. Aku hanya pinjam Thalia, suatu saat dia akan aku kembalikan padamu, dan masih utuh. Aku hanya ingin dia menemaniku di sisa hidupuku yang tinggal sedikit ini. Bukan karena aku ingin yang lebih dari Thalia. Cinta Thalia hanya untukmu, Arkan, aku tahu itu,” gumam Danish.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD