Rasanya ingin mati saja jika dipaksa menikah dengan seseorang yang tidak di cintai. Apalagi orang itu adalah sepupu dari kekasih kita. Seperti Thalia saat ini, dia tidak mengerti mengapa nasibnya akan berubah seratus delapan puluh derajat setelah dia kembali ke Berlin.
Tujuan utamanya adalah kuliah, tapi Tuhan menghendaki Thalia harus melewati rintangan yang penuh liku dan luka seperti sekarang ini. Tujuan utamanya kandas di tengah jalan karena dirinya bertemu dengan masalah yang teramat pelik dalam hidupnya.
Ingin mencoba berlari dan menghindar, itu pasti. Namun, apalah daya Thalia yang lemah dan pasrah harus rela mengemban lara, dirinya harus menikah dengan lelaki yang sakit-sakitan, dan lelaki itu adalah sepupu kekasihnya.
Sudah satu minggu Thalia masih mengurung diri dalam kamarnya. Mimpinya seakan musnah, harapannya pupus karena keegoisan orang tua Danish. Orang tua Thalia pun tidak enak hati menolak orang tua Danish yang terus memohon pada mereka agar membujuk Thalia supaya mau menikah dengan Danish.
Tidak ada angan untuk mengabari Arkan. Dia hanya diam meratapi nasibnya yang sudah tak berbentuk lagi. Nasib hubungannya dengan Arkan, nasib kuliahnya, dan semua impiannya sudah tidak ada bentuknya lagi. Pengorbanan yang ia jalani selama dua tahun, berhubungan versi jarak jauh dengan kekasihnya, hanya mengandalkan kepercayaan saja, semua itu musnah, tidak berbebtuk lagi bagi Thalia.
Hancur sudah harapan Thalia untuk mewujudkan cita-citanya, dan untuk bersama Arkan. Semua mimpi yang ia rangkai, sudah tidak ada di dalam angannya. Seperti sebujur bangkai yang masih bernyawa, itu yang Thalia rasakan saat ini. Wajah yang pucat pasi, rambut yang berantakan, dan baju kusut melekat di tubuhnya. Dia mengurung diri kamarnya selama satu minggu dan tidak mau bicara dengan orang tuanya. Dia hanya menangis saja di dalam kamarnya.
“Aku tidak ingin hidup lagi! aku tidak mau menikah dengan Danish!” Thalia teriak dan menangis histeris di dalam kamarnya.
Seperti itu yang Thalia lalui selama satu minggu ini. Dia mematikan ponselnya, dia tidak mau Arkan tahu soal keadaannya saat ini. Thalia merasa sangat bersalah dengan Arkan, karena mama dan papanya menyetujui rencana orang tua Danish agar Thalia menikah dengan Danish, demi kesembuhan Danish.
“Lia, makan, ya? Kamu satu minggu belum makan, Nak,” ucap Rere. Thalia hanya menggelengkan kepalanya saja.
“Lia, maafkan mama, mama tidak bisa menolak semua ini, Papa juga tidak bisa, kamu tahu papa dan Om Zi seperti apa? Maafkan mama, Sayang. Maafkan mama.” Rere memeluk Thalia dan menciumnya.
“Ma, lebih baik Thalia mati saja. Hidup Thalia sudah hancur, Ma. Kuliah Thalia, masa depan Thalia, dan hubungan Thalia dengan Arkan, semua sudah hancur, untuk apa Thalia hidup.” Thalia menangis memeluk Rere.
“Nak, dokter memvonis umur Danish dua atau tiga bulan lagi. Mama tahu perasaan kamu, tapi melihat mereka yang seperti itu, mama pun tidak tega. Terlebih papa, papa juga tidak tega melihat anak sahabatnya seperti itu. Tiga bulan saja, Nak. Tolong penuhi permintaan Danish,” tutur Rere.
“Iya, kalau tiga bulan dia mati, kalau sampai satu tahun, bahkan bertahun-tahun? Thalia tidak mau, Ma. Thalia mau pulang ke rumah eyang!” Thalia mulai tersulut lagi emosinya.
“Ma, kenapa nasib Thalia seperti ini, Ma? Masa depan Thalia hancur, Ma.” Thalia menangis lagi dengan memeluk kakinya.
Rasanya sudah tidak ada harapan lagi untuk bahagia. Thalia mengambil ponselnya dan menghidupkannya, karena selama satu minggu dia mematikan ponselnya, tapi dia mengurungkannya, dia membuang ponselnya, karena meliohat itu dia selalu ingat Arkan yang mungkin nantinya tidak bisa untuk bersama lagi.
“Lia, mungkin minggu depan atau dua minggu lagi, keluarga Arkan akan ke sini,” ucap Rere.
“Maksud mama?” tanya Lia.
“Maafkan mama, Nak. Kemarin Arkan menghubungi mama, mama menjelaskan semua, sebelum itu pun kami semua sudah membicarakan ini dengan Abah dan bunda” jelas Rere.
“Ma, mama tega sekali! Jadi Mama tetap setuju aku menikah dengan Danish?” Thalia berkata dengan menghunuskan tatapan yang penuh dengan kekecewaan.
“Maafkan mama, Nak. Tidak ada jalan lain selain itu, dan Arkan juga sangat kecewa dengan semua ini,” ucap Rere.
“Mama jahat!” Thalia mendorong tubuh Rere yang sedang memeluknya. Thalia menangis histeris dan berteriak hingga dia hilang kesadaran.
Thalia pingsan di pelukan Rere. Rere pun tidak bisa berkata apa-apa selain patuh dengan keputusan suaminya yang menyetujui Thalia menikah dengan Danish.
“Papa...! Papa...!” Rere teriak memanggil Leon yang sedang di luar bersama Tita, anak bungsunya.
“Kenapa, Ma?!” Leon berdiri di ambang pintu kamar Thalia.
“Lia, pingsan, Pa!” Rere semakin cemas karena denyut nadi Thalia lemah.
“Pa, kita bawa Lia ke rumah sakit sekarang,” ucap Rere dengan penuh kecemasan.
Leon menggendong Thalia. Dia pun merasa sangat bersalah dengan semua ini, tapi dia juga tidak enak hati dengan keadaan Zidane yang terus memohon pada Leon, agar membujuk Thalia untuk menikah dengan Danish.
“Ma, Tita ikut.”
“Iya, ayo ikut.”
Tita tidak mengerti mengapa mama dan papanya menerima permintaan orang tua Danish. Tita tidak mau kakaknya seperti ini. Dia yang selalu bertukar kabar dengan Arkan, memberitahukan keadaan Thalia. Meski Arkan juga sedang dilema dengan perasaannya, dia tetap menanyakan keadaan Thalia.
Arkan tidak menyalahkan siapa-siapa dalam masalah ini. Dia sangat bijak menyikapinya meski rasa sakit dan kecewa terus menggerogoti hatinya perlahan. Arkan tahu, ini adalah cobaan terberat dalam hidupnya. Dia harus memilih antara cinta dan saudarnya.
Arkan sangat mencintai Thalia, namun di sisi lain, Danish saudara sepupunya juga sangat mencintai Thalia, dan ingin sekali menikah dengan Thalia di sisa umurnya.
Tita mengirim pesan pada Arkan, memberitahukan keadaan Thalia yang sekarang. Tita juga sangat membenci Danish dan orang tuanya. Tita tidak menyangka mereka membuat kakaknya semenderita ini karena keegoisannya.
“Kak Arkan, Kak Lia masuk rumah sakit.”
Tulis Tita di dalam pesannya untuk Arkan. Tita menemani Thalia yang terbaring lemah di rumah sakit. Dia berkali-kali mengusap air matanya.
^^^
Arkan sudah satu minggu tidak konsentrasi dengan pekerjaannya di bengkel, dan dirinya juga tidak berangkat kuliah. Pikirannya tidak menentu, hanya berdiam diri di rumah, dengan meratapi nasib hubungannya dengan Thalia.
“Ya Allah, sakit sekali rasanya,” gumam Arkan dengan meremas kepalanya.
Arkan tidak menyangka akan seperti ini kisah cintanya dengan Thalia. Dia tidak bisa menyalahkan keadaan, karena semua itu Tuhan yang telah mengatur jalannya.
“Arkan, kamu belum makan?” tanya Annisa.
“Sebentar Bunda,” jawab Arkan dengan merebahkan dirinya di sofa ruang keluarga.
“Nak, kamu dari kemarin tidak ke kampus, dan kamu makan pun jarang. Bunda tahu perasaan kamu, tapi kamu juga tidak boleh melupakan kesehatanmu,” tutur Annisa.
“Apa bunda pernah merasakan sakit seperti ini?” tanya Arkan.
“Arkan, setiap manusia pasti pernah merasakan sakit hati, Nak, tapi tergantung dengan porsinya dan bagaimana menyikapinya,” jawab Annisa.
“Bunda, sakit sekali rasanya. Arkan tidak ingin berpisah dengan Thalia,” ucap Arkan dengan menyeka air matanya yang akan jatuh dari sudut matanya.
“Tidak ada orang yang ingin berpisah dengan orang yang kita sayangi, Nak,” ucap Annisa.
“Apa Arkan benar-benar harus merelakan Thalia, Bun? Sakit sekali rasanya.” Arkan memeluk Annisa dan menangis dalam pelukan. Selama satu minggu dia menahan tangisnya. Dia berusaha kuat dengan keadaan yang menimpanya saat ini.
Annisa tidak tega melihat putranya yang seperti ini, semua sudah di tetapkan dengan keegoisan Leon dan Monica.
“Arkan, kamu laki-laki, kamu harus kuat, abah tau ini sangat berat untuk kamu jalani, jika memang kamu harus melepaskan Thalia, mungkin Allah punya rencana yang terbaik untuk kamu ke depannya. Abah yakin kamu laki-laki yang kuat,” tutur Arsyad.
“Abah, Arkan tidak pernah merasakan sakit seperti ini, Arkan sangat mencintai Thalia,” ucap Arkan dengan memeluk Arsyad.
“Iya, abah tahu, Nak. Kita akan bicarakan ini, kita ke Berlin minggu depan, setelah abah menyelesaikan pekerjaan abah di kantor. Kalau abah tidak ada proyek baru dengan perusahaan kakakmu, mungkin kita sekarang ke sana untuk menyelesaikan semua ini,” tutur Arsyad.
“Aku tidak tega melihat Lia, Bah. Lia sampai depresi memikirkan ini, dia tidak keluar kamar, tapi Arkan tidak bisa berbuat apa-apa. Arkan tidak bisa memaksakan keadaan. Arkan harus bagaimana, Arkan tidak tahu abah?” ucap Arkan dengan menangis di pelukan abahnya.
“Semua bisa dibicarakan baik-baik, Nak. Abah pun tidak ingin seperti ini,” ucap Arsyad.
“Apa kamu sudah bisa menghubungi Thalia?” tanya Annisa.
“Arkan hanya bertukar kabar dengan Tita, Bunda. Thalia sama sekali tidak mau bicara dengan Arkan, maupun dengan yang lain. Thalia juga mematikan ponselnya,” ucap Arkan.
Thalia merasa sangat bersalah dengan Arkan, dia memang sengaja mematikan ponselnya. Dia sangat menyesali keputusannya untuk kuliah di Berlin, dan hasilnya seperti ini, tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam angan-angannya.
Arkan mengambil ponselnya di meja yang dari tadi terdengar bergetar karena ada pesan masuk. Dia membuka ponselnya, banyak sekali pesan dari Tita yang masuk untuk memberitahukan kalau Thalia di rawat di rumah sakit.
“Kak Arkan, Kak Lia masuk rumah sakit.”
“Kak lihatlah, Kak Lia seperti ini, aku tidak tega sekali. Danish jahat sekali, mau mati saja membuat Kak Lia seperti ini.”
“Kak Arkan, cepat ke sini, Kak Lia butuh Kak Arkan. Kak, bawa pergi Kak Lia, biar Kak Lia bahagia dengan Kak Arkan.”
“Kak, Kak Lia nangis lagi, Kak Lia tidak mau makan.”
Banyak sekali pesan yang Tita kirimkan untuk Arkan, juga foto Thalia yang sedang terbaring di rumah sakit.
Arkan menangis melihat keadaan Lia yang seperti ini. Arkan tidak tahu harus bagaimana. Dia ingin mempertahankan Thalia, tapi dia juga tahu apa yang dirasakan orang tua Danish. Zidane dan Monica sudah menelfon Arkan dan memohon agar Arkan melepaskan Thalia. Arkan tidak menjawab apa-apa dan mengiyakan permintaan paman dan bibinya.
“Apa aku harus bawa Lia pergi jauh dari Danish? Agar aku dan Lia bisa bersama. Namun, apa kata orang tua Lia dan dan orang tua Danish, jika aku membawa kabur anak gadis orang? Dan, itu juga akan berpengaruh dengan keluarga besar abah. Pasti akan tercoreng nama baik abah. Aku tahu bagaiaman posisi abah di dunia bisnisnya. Semua orang mengenal Keluarga Besar Alfarizi serta jajarannya, dan jika aku melakukan kesalahan, aku akan mencoreng nama baik abah, seperti apa yang telah Kak Dio lakukan dulu, dia sudah membuat Abah malu dengan rekan kerjanya, karena terbongkar selingkuh dengan Kak Najwa,” gumam Arkan.
“Aku harus bisa menyelesaikan semuanya dengan cara kekeluargaan. Aku laki-laki, aku harus kuat, aku tidak boleh egois untuk sebuah perasaan. Aku juga tahu siapa papanya Thalia dan papanya Danish. Mereka pengusaha besar, dan beberapa proyek abah ada hubungannya dengan mereka. Om Leon, beliau adalah penguasa bisnis di Berlin, begitu juga Om Zi, mudah bagi mereka untuk menumbangkan bisnis abah. Bukan aku suudzon dengan mereka, tapi kata bunda Om Leon pun pernah akan menumbangkan perusahaan bunda. Aku tidak ingin itu terjadi. Meski om Leon sekarang berubah, tapi demi sahabatnya, bisa jadi itu akan terulang.” Arkan masih memikirkan dampak yang akan terjadi jika sampai membawa Thalia kabur seperti yang Tita inginkan.
Arkan hanya diam, tidak membalas pesan dari Tita. Dia menyeka air matanya lagi yang masih saja berjatuhan mewakili hatinya yang sakit.
“Nak, pesan dari siapa?” tanya Annisa.
“Tita, Bun. Katanya Lia masuk ke rumah sakit. Lihat, Bun, Lia seperti ini,” jawab Arkan dengan memperlihatkan foto Thalia pada bundanya.
“Kamu yang sabar, kamu jelaskan pada Thalia. Jika dia tidak mau berbicara, kirim Voice Note, agar dia tidak seperti itu. Bunda yakin, Lia akan menurut dengan kamu,” tutur Annisa.
“Tadi Tita bilang sama Arkan, dia menyuruh Arkan membawa kabur Lia. Bagaimana bisa aku membawa kabur anak gadis orang? Apalagi Thalia putrinya Om Leon,” ucap Arkan.
“Jangan gegabah, Nak. Kita selesaikan baik-baik dengan mereka, Abah yakin dibalik semua ini, Allah punya rencana yang baik untuk kamu. Kamu yang sabar, mengalah bukan berarti kalah,” tutur Arsyad.
Arsyad memang tidak ingin berurusan dengan masalah yang ujung-ujungnya akan menjadi permusuhan antar saudara. Dia lebih baik mengalah demi kebaikan semuanya. Tidak mungkin Arsyad dengan bersih keras melawan dan menolak keras soal apa yang sedang dialami oleh keluarga Zidane. Meski Alvin, adik dari Zidane tidak setuju dengan keputusan Zidane dan Leon.
“Abah, Bunda, jika memang Arkan tidak bisa dengan Lia, bolehkan Arkan menutup hati Arkan untuk wanita lain? Karena sampai kapanpun, cinta Arkan untuk Thalia tidak akan pernah berganti,” ucap Arkan.
“Nak, kamu boleh berkata seperti ini, tapi kamu harus ingat, Allah adalah Dzat yang mampu membolak balikan hati manusia. Mintalah petunjuk pada Allah, ikhlaskan semua, dan jangan pernah berkata seperti itu lagi,” tutur Arsyad.
Arkan hanya terdiam mencerna setiap apa yang abahnya tuturkan pada dirinya. Dia tahu, dulu abahnya pun pernah merasakan kehilangan sosok yang sangat beliau cintai. Arkan akan mencoba kuat dengan apa yang akan terjadi satu minggu lagi. Dia harus siap mendengarkan keputusan yang akan dibicarakan bersama dengan keluarga Danish dan Thalia.
“Aku tidak boleh lemah, mungkin aku sudah kehilangan cinta yang kujaga selama ini, tapi aku masih punya Tuhan, yang mungkin akan memberi kesempatan lagi untuk ku kembali dengan Thalia, entah itu kapan. Aku akan menutup pintu hatiku untuk perempuan lain, Lia. Aku hanya ingin kamu, dan kamu, tidak ada yang lain, aku janji itu. Aku percaya, jika suatu hari nanti aku akan bisa bersama dengan kamu, meski jalan menuju kebahagian untuk bersamamu penuh liku dan luka,” gumam Arkan.