“Apa kita harus membaritahukan Arsyad dan Annisa sekarang?” tanya Leon.
“Aku tidak tahu, Le. Aku bingung, aku akan menyakiti Annisa dan keponakanku,” jawab Zidane.
Zidane memijit keningnya. Kepalanya seakan tertindih beban beribu-ribu ton. Dia tidak bisa berpirkir jernih, dan terpaksa mengambil keputusan untuk menikahkan Thalia dengan Danish.
“Maaf, Zi. Aku sebenarnya kurang setuju dengan ini, kamu lihat Thalia tadi seperti apa? Dia sampai menangis histeris seperti itu,” ucap Rere.
“Tapi, mau bagaimana lagi, Re?” ucap Zidane.
“Kamu tahu, kan? Annisa sahabatku dari dulu, dan Arkan, dia sudah aku anggap seperti anak sendiri, jika aku melakukan ini, aku seperti menyakiti kedua anak ku,” ujar Rere.
“Aku berharap kalian memikirkan ini lagi,” imbuh Leon.
“Ayo Pa, kita pulang, susul Thalia pulang,” ajak Rere.
Rere masih memikirkan apa yang tadi di putuskan bersama Zidane dan Monica. Rere pun tidak tega sekali melihat Monica yang sampai memohon di depannya hingga bersujud di kakinya, memohon pada Rere agar Thalia menikah dengan Danish. Rere tahu bagaimana perasaannya seorang ibu yang hanya memiliki satu anak saja, dan dari kecil sudah diberi cobaan sakit-sakitan.
Rere merasa jika itu terjadi pada dirinya, dia pun tidak bisa sekuat Monica sampai sekarang. Namun, tetap saja, bagi Rere permintaan Monica tadi tidak bisa menempatkan situasinya. Thalia sekarang sudah memiliki kekasih, dan sudah bertunangan, meski belum resmi bertunangan.
Tidak ada ibu yang tidak ingin anaknya bahagia, dan tidak ada ibu yang tidak mau memenuhi permintaan anaknya. Sesulit apapun permintaan anaknya, pasti seorang ibu akan menurutinya.
“Aku harus bagaimana berbicara sama Annisa nanti. Aku pun sangat menyayangi Arkan, aku tidak bisa melihat Arkan dan Thalia menderita hatinya. Tapi, melihat Danish seperti itu, aku pun tidak tega, di tambah Monica yang dari tadi hanya menangis,” gumam Rere.
Leon pun sama, dia tidak ingin mengecewakan Arsyad dan Annisa, apalagi sampai membuat anak perempuannya sakit hati karena cinta. Leon bukan tidak ingin membantu Zidane dan Monica, Leon menolak karena dia tidak ingin Thalia dan Arkan menanggung sakit yang berkepanjangan, karena dia tahu dan pernah merasakan sakit hati dengan merelakan Annisa menikah dengan Arsyad.
Namun, Zidane dan Monica adalah sahabatnya, Leon pun tidak tega melihat Danish yang sekarang seperti itu keadaannya. Begitu juga keadaan Monica yang sangat lemah, dan terus memohon pada dirinya untuk membujuk Thalia agar mau menikah dengan Danish.
“Ini sungguh pelik sekali, kepalaku sampai sakit memikirkan masalah ini, aku tidak ingin Thalia dan Arkan sepertiku, mengemban rasa sakit karena tidak dapat memiliki seseorang yang sangat aku cintai dulu, meski aku berkata ikhlas. Dulu, iya, dulu, saat aku mencintai Annisa dan merelakan dia pergi lalu menikah dengan Arsyad. Tapi, sekarang, hanya Rere wanita yang aku cintai,” gumam Leon.
Leon langsung masuk ke dalam rumahnya. Dia mencari Thalia di kamarnya. Thalia sedang menangis dan duduk bersimpuh di lantai. Thalia melihat kedua orang tuanya yang masuk ke dalam kamarnya dengan tatapan penuh kebencian pada mereka.
“Lia....” Leon langsung memeluk putrinya yang sedang menangis.
“Papa tega! Papa tega sekali dengan Lia!” ucap Thalia dengan mendorong tubuh papanya yang memeluk dirinya. Namun, dia lemah, dan Leon terus memluknya.
“Maafkan papa, papa melakukan ini semua karena papa,”
“Karena apa?! Karena Om Zi dan Tante Monic sahabat papa?!” tukas Thalia.
“Nak, kita bicara baik-baik dulu, ya?” bujuk Rere.
“Tidak ada yang bisa dibicarakan baik-baik, Ma! Puas mama lihat aku seperti ini?! Melihat aku gagal kuliah dan gagal membuktikan pada Arkan kalau Lia akan setia! Kalian jahat!” Thalia semakin menangis histeris dan teriak hingga suaranya terdengar serak.
“Nak, mama tidak ingin semua ini terjadi, tapi mama pun tidak tega melihat Danish, terlebih Tante Monica dan Om Zidane,” jelas Rere.
“Lalu mama tega melihat aku dan Arkan sakit hati seumur hidup?! Mama katanya sayang Thalia? Papa katanya sayang Thalia? Tapi kenapa papa dan mama tega sekali melakukan ini?” ucap Thalia di sela-sela isak tangisnya.
Rere memeluk putrinya, dia tidak tega melihat putrinya seperti ini. Dia pun tidak tahu harus bagaimana mengatasi masalah ini.
“Kenapa orang mau mati saja masih menyusahkan hidup orang, sih?! Mati tinggal mati saja, kan? Kenapa harus merusak kebahagiannku, Ma, Pa? Toh kalaupun menikah dengan Thalia, Danish akan mati!” Thalia berkata dengan penuh emosi dan marah.
“Lia, jangan berkata seperti itu, Nak,” tutur Leon.
“Tapi memang kenyataannya kan, Pa? Mereka menyusahkan dan merusak kebahagiaan Thalia? Matipun sama saja tidak akan di tempatkan di surga, karena sudah merebut kebahagiaan Thalia,” ucap Lia yang sedikit ngawur karena dia sudah merasa kesal dan marah dengan Danish dan orang tuanya.
“Masalah surga dan neraka, itu hanya Tuhan yang tahu, Nak. Jangan bicara seperti itu,” tutur Rere.
“Apa tidak ada permintaan selain Lia menikah dengan Danish?” tanya Thalia.
“Maksud kamu?” tanya Leon.
“Kalaupun Danish meminta Lia menemaninya, tanpa menikah, mungkin Lia akan mempertimbangkannya, tapi kalau menikah, Lia tidak ingin itu terjadi, meski terjadi, selamanya Lia tidak akan mencintai Danish, meski dia menderita karena sakitnya. Dan, Lia tidak akan pernah menganggap dia suami Lia, juga tidak akan melayani layaknya istri untuk Danish,” jawab Lia dengan tatapan kosong yang menyiratkan kesedihannya.
Leon dan Rere tidak bisa berkata apa-apa lagi, karena apa yang dikatakan Thalia, pasti akan Thalia terapkan dalam hidupnya. Thalia memang memikirkan itu, dia akan menerima apapun permintaan Danish kecuali menikah. Jika memang permintaan terakhir Danish adalah ingin menikah dengan Thalia, dia tidak akan pernah mau di sentuh Danish dan tidak akan pernah mencintai Danish selamanya.
“Kamu istirahat, ya? Sudah malam, kita bicarakan ini lain waktu. Mama akan membujuk Tante Monica lagi,” ucap Rere dengan mencium kening Thalia.
“Ma, Pa, Lia berhenti kuliah saja, Lia mau ke rumah Eyang lagi, Lia tidak mau berurusan dengan mereka,” ucap Lia dengan terisak.
“Kita bicarakan nanti, ya? Kamu istirahat,” ucap Leon.
Thalia menutup tubuhnya dengan selimut tebal. Thalia memandangi wallpaper ponselnya yang menampakkan gambar dirinya dan Arkan.
“Arkan, aku ingin pulang, aku ingin kamu, hanya kamu. Maafkan aku, kalau saja aku tidak egois untuk kuliah di sini, kita pasti akan bersama. Arkan, aku takut, aku takut kita tidak bisa bersama lagi,” ucap Thalia dengan menanis memandangi foto Arkan.
Thalia ingin sekali menelfon Arkan, tapi dia tidak bisa menahan tangisnya. Dia tidak ingin Arkan juga kepikiran soal masalahnya, meski nantinya Arkan akan tahu kalau orang tua Danish memaksanya untuk menikah dengan Danish. Bagaimanapun, Arkan adalah saudara sepupu Danish.
^^^
Pagi harinya, Arkan sperti biasa terbangun pukul lima dini hari. Dia mengambil ponselnya dan melihat ponselnya.
“Thalia belum memberi kabar, ada apa dengan dia?” ucap Arkan lirih.
Arkan meletakan kembali ponselnya di meja kecil samping tempat tidurnya. Dia berniat mengubungi Thalia nanti seusai Sholat Subuh.
“Prang...!”
Arkan tidak sengaja menyenggol bingkai foto dirinya dengan Thalia hingga jatuh dan pecah.
“Kenapa bisa jatuh? Padahal aku tidak terlalu keras menyenggolnya?” gumam Arkan.
Arkan memunguti pecahan kaca pigura yang berserakan di lantai. Perasaan tidak enak muncul di hatinya. Dia semakin gelisah memikirkan Thalia. Apalagi dari kemarin siang Thalia tidak memberi kabar padanya.
“Thalia, apa kamu baik-baik saja?” Arkan berkata lirih dengan penuh kekhawatiran.
^^^
Arsyad dan Annisa masih tercenung setelah membaca pesan dari Zidane yang menjelaskan soal keadaan Danish dan permintaan Danish. Arsyad mengusap kasar wajahnya, dia sama sekali tidak mengerti apa yang ada di pikiran Zidane dan Monica. Rere dengan Leon pun mengirim pesan padanya, kalau akan membahas masalah Danish lebih lanjut.
“Ini kalau Arkan tahu bagaimana, Abah?” Annisa bertanya dengan mata yang berkaca-kaca, karena dia sangat khawatir dengan hubungan anaknya dengan Thalia.
“Abah tidak tahu, Bunda. Kita sholat dulu, yuk? Arkan pasti sudah menunggu kita di musholah,” jawab Arsyad dengan mengajak istrinya Sholat Subuh.
“Jangan tampakan wajah yang tidak mengenakan di depan Arkan, ya? Bunda yang sabar, pasti sebuah masalah ada solusinya,” tutur Arsyad.
“Iya, Abah, tapi bagaimana bunda bisa tenang, ini masalah soal anak kita. Abah tahu sendiri, Arkan sangat mencintai Thalia,” ucap Annisa. “Bunda tidak tega dengan Arkan, jika harus merelakan Thalia dengan Danish!” imbuh Annisa dengan penuh kekecewaan.
“Bunda, sudah kita bahas nanti, kita sholat dulu, biar hati kita tenang. Abah yakin semua akan baik-baik saja, ya meski nanti Arkan harus merelakan semuanya. Abah tahu, Arkan anak yang kuat,” ujar Arsyad.
“Iya, Abah,” ucap Annisa dengan memeluk Suaminya.
“Ambil air wudhu, lalu Sholat, jangan khawatir, ada Allah, Allah maha segalanya. Minta petunjuk pada Allah, pasti akan diberi petunjuk jalan yang terbaik, percaya dengan abah,” tutur Arsyad.
“Iya, Abah,” ucap Annisa.
Dua sosok laki-laki yang pernah singgah di hidup Annisa, adalah dua sosok laki-laki yang sabar dan selalu bertutur kata lembut. Mendinginkan suasana hati, serta selalu memberikan ketenangan saat hatinya bergejolak dan tidak tenang.
“Semoga semua ini tidak akan terjadi, bagaimana nasib putraku nanti, kalau dia harus melihat kekasihnya menikah dengan sepupunya? Zidane tidak berperasaan sekali, dia tega dengan aku dan keponakannya. Dan, Rere juga sepertinya menyetujui usul Monica dan Zidane, keterlaluan sekali,” gumam Annisa.
Arkan sudah menunggu abah dan bundanya di musholah. Setiap hari mereka selalu sholat berjamaan bersama di musholah. Sekarang hanya bertiga saja, semua kakak Arkan sudah tinggal di rumah masing-masing dengan suami dan istrinya. Rumah Arsyad akan rame setiap weekend saja, karena semua anaknya kumpul bersama dengan cucunya.
Seusai sholat bersama, Arkan mengajak berbicara dengan kedua orang tuanya. Dia merasa tidak enak sekali hatinya karena memecahkan pigura foto mereka dengan Thalia, terlebih Thalia dari kemarin tidak memberikan kabar padanya.
“Abah, Bunda, apa benar kalau pigura tiba-tiba jatuh dan pecah akan ada apa-apa dengan orang yang ada di dlam foto itu?” tanya Arkan.
“Itu mitos, Nak. Memang kenapa?” tanya Annisa.
“Bingkai fotoku yang bersama Thalia jatuh dan pecah, padahal Cuma kesenggol dikit, kok bisa jatuh ke bawah,” jawab Arkan. “Arkan khawatir dengan Lia, apalagi Lia dari kemarin tidak menghubungi Arkan,” imbuhnya.
Annisa menarik napasnya dengan berat, begitu juga Arsyad. Mereka tidak tahu harus menjelaskan dari mana pada Arkan. Dia baru saja Shocked dengan apa yang mereka lihat dan baca di ponselnya. Rere, Leon, Zidane, dan Monica tiba-tiba mengirim pesan padanya soal Danish.
“Nak, kamu jangan berpikiran macam-macam, mungkin Thalia sedang sibuk dengan kuliahnya, atau mungkin dia lelah, jadi tidak mengabari kamu,” ucap Arsyad.
“Enggak, Bah. Bukan itu. Arkan yakin Thalia ada masalah lagi soal Danish, apalagi Danish menyukai Thalia dan selalu berharap Thalia membalas cintanya,” ucap Arkan. Sebenarnya Arkan sudah ingin mengatakan hal ini pada kedua orang tuanya, tapi dia mengurungkannya karena dia tidak ingin dianggap seperti anak kecil yang tidak bisa menuntaskan masalahnya sendiri.
“Memang Lia mengatakan padamu, kalau Danish menyukainya?” tanya Arsyad.
“Iya, sudah lama Lia mengatakannya, dia selalu tidak nyaman dengan Danish, apalgai Danish selalu memaksa Thalia untuk berangkat kuliah bersama, dan kalau Thalia tidak menghampirinya ke rumah Danish, Danish tidak akan mau berangkat kuliah, Bah,” jelas Arkan.
“Thalia juga kemarin siang menelfon Arkan dengan menangis, katanya dia ingin pulang saja, dan kuliah di sini. Lia selalu merasa dirinya seperti baby sitternya Danish, Bah,” imbuh Arkan.
Arkan menumpahkan semua unek-uneknya di depan kedua orang tuanya. Dia memang khawatir dengan hubungannya karena ada Danish. Bukan dia cemburu, tapi dia juga tahu keadaan Danish bagaimana sekarang.
“Aku harus menjawab apa, Ya Allah. Apa aku harus menjelaskan apa yang tadi Leon dan Zidane katakan?” gumam Arsyad.
“Arkan, abah tahu kamu merasa khawatir akan hal ini. Abah yakin, Thalia di sana baik-baik saja. Jangan berpikiran macam-macam, positif thingking, Thalia pasti di sana baik-baik saja,” tutur Arsyad.
“Arkan selalu berpikiran positif tentang Lia, Bah. Karena Arkan percaya dengan Lia, tapi rasanya kali ini berbeda. Dua tahun lamanya Arkan ditinggal Thalia kuliah di berlin, tapi baru kali ini Arkan merasakan hal yang tidak nyaman seperti ini di hati Arkan,” jelas Arkan.
“Berdoalah, doakan Thalia di sana, dia pasti baik-baik saja, nanti agak siangan, hubungi Thalia,” ujar Arsyad.
“Iya, Bah. Arkan nanti akan mencoba menelfon Lia,” ucap Arkan.
Arkan meninggalkan musholah, dia kembali ke kamarnya. Arsyad dan Annisa saling memandang. Annisa memeluk suaminya dan menangis di pelukan suaminya, dia tidak bisa berkata apa-apa. Mendengar penuturan putranya yang sangat khawatir dengan hubungannya saja Annisa sudah ingin menangis memeluk putranya. Tapi, dia menahannya, agar Arkan tidak menanyakan apa yang terjadi sebenarnya.
“Bunda harus bagaimana, Abah? Lihat anak kita, belum di berithukan hal yang dibicarakan Leon dan Zidane saja sudah merasa hubungannya dengan Thalia sedang di ujung tanduk, apalagi kita menjelaskannya apa yang tadi Zi dan Leon katakan, juga Rere dan Monic?” ucap Annisa.
“Bunda, kita harus sabar, ya? Biar Arkan bicara baik-baik dengan Thalia, biar Arkan tahu dari Thalia, baru kita nanti menjelaskan pada Arkan. Abah yakin, Arkan akan mengerti,” ucap Arsyad dnegan menenangkan istrinya.
Arsyad sebenarnya sangat kecewa dengan Monica dan Zidane. Mereka sangat egois dengan hal ini. Merka hanya mementingkan kebahagiaan anaknya saja, tanpa memikirkan bagaimana hati keponakannya.