Chapter 6 - Aku ingin Kuliah, bukan Menikah!

1226 Words
Arkan masuk ke dalam kamarnya lagi, merebahkan tubuhnya dan mengmbil ponselnya untuk menghubungi Thalia. Namun, dia mengurungkannya, dan hanya memandang foto Thalia yang dijadikan wallpaper olehnya. “Lia, kenapa aku merasakan ada sesuatu dengan kamu. Apa ini soal Danish? Apa Danish memaksa kamu lagi dan meminta kamu menemaninya lagi? Jam segini biasanya kamu sudah memberi kabar padaku, Lia. Tapi, kenapa kamu tidak memberi kabar sama sekali?” gumam Arkan. Arkan kembali meletakan ponselnya lagi, dia tidak ingin tahu keadaan Thalia sekarang yang mungkin sedang bersama Danish dan semakin membuatnya cemburu dan sakit hati. Danish memang sepupunya, tapi Arkan selalu cemburu saat Thalia dengannya, apalagi Thalia selalu bilang kalau Danish ingin selalu di temani. Bagi Arkan, tidak mungkin laki-laki yang sering meminta wanita menemaninya tidak suka, dan sudah pasti Danish menyukai bahkan mencintai Thalia. Arkan mematikan ponselnya, dia tidak ingin berpikiran negatif pada Thalia, karena dia percaya dan selalu percaya pada Thalia, jika Thalia tidak menghubunginya, Thalia sedang sibuk dengan tugas kuliahnya. Arkan mencoba menenangkan hatinya, dan berusaha memejamkan matanya. ^^^ Thalia masih duduk di depan ruang ICU bersama mama dan papanya. Dia mendapat kabar dari Monica kalau Danish anfal lagi dan di bawa ke rumah sakit. Thalia semakin tidak mengerti, kenapa jalan hidupnya menjadi makin rumit seperti ini. “Lia, tante mohon, menikahlah dengan Danish,” mohon Monica pada Thalia. “Tante tahu, tujuan Thalia ke sini bukan untuk menikah, bukan untuk seperti ini, melainkan Thalia kembali ke Berlin untuk belajar. Tolong tante mengerti bagaimana perasaan Thalia,” jawab Thalia. “Danish sangat mencintaimu, Nak. Dari dulu, hanya kamu yang selalu Danish sanjung-sanjung. Dia menyukaimu, dan mencintaimu sebelum kamu Ke Indonesia, saat kamu masih sekolah di sini dengan Danish. Dia rela melepas kamu ke Indonesia, meski dia lemah, dia sakit, dan menyerah untuk hidup. Setelah kamu kembali, Danish seperti ada semangat hidup lagi. Lia, umur Danish tidak lama lagi, tante mohon, pertimbangkan permintaan tante.” Monica menjelaskan semua apa yang dulu Danish bicarakan pada dirinya, kalau Danish menyukai Thalia sejak Thalia SMP dan sekolah bersama dirinya. Thalia flashback ke masa lalu saat dulu dia sekolah dengan Danish. Memang mereka sangat akrab, tapi bukan berarti Thalia suka dengan Danish. Thalia hanya menganggap Danish teman biasa, dan dia pun tidak menyangka kalau Danish menyembunyikan perasaannya dari dulu pada dirinya. Thalia gadis yang cuek, meski dulu remaja seusianya sudah berpacaran, tapi dirinya tidak pernah merasa ingin seperti teman-temannya. Dia fokus dengan apa yang ingin ia capai. Ya, dia ingin prestasinya semakin baik, dan saat ke Indonesia pun dia terpaksa, karena eyangnya ingin sekali Thalia dan Tita sekolah di sana juga Leon ada proyek pekerjaan di Indonesia. Thalia tidak tahu, kalau Danish menyukainya, karena Danish tidak pernah menunjukan kalau dirinya menyukai Thalia. Hanya sebatas teman sekolah yang kadang mengerjakan tugas bersama saat sepulang sekolah di perpustakaan. “Maaf tante, Lia tidak ingin memikirkan ini. Lia belum mau menikah, Lia ingin kuliah Lia selesai. Lia mencintai Arkan, sangat mencintainya. Dari dulu Lia hanya menganggap Danish adalah teman biasa, tidak lebih dari itu,” ucap Thalia. “Lia, tapi sekarang keadaannya seperti ini, Nak? Kamu tega melihat Danish yang seperti itu? Danish sangat mencintaimu, Lia,” ucap Monica. “Monic, jangan paksa putriku, dia sudah memiliki tunangan, dan kekasihnya itu keponakan kamu, sepupu Danish,” ucap Rere. “Rere, coba kamu rasakan kalau kamu di posisi aku? Melihat putra semata wayangnya sakit, dan umurnya tidak lama lagi. Dia hanya ingin satu, menikah dengan Thalia, sebelum Tuhan mengambilnya,” ucap Monic dengan berderai air mata. “Monica, coba kamu rasakan juga menjadi aku, jika anak perempuanku menikah dengan orang yang tidak dicintainya, bagaimana rasanya?” balas Rere. “Kalian jangan ribut, tidak ada yang menginginkan keadaan ini terjadi!” seru Leon. “Le, maafkan aku, aku tidak bermaksud membuat putrimu terluka, tapi memang seperti ini kenyataannya, aku juga tidak bisa apa-apa,” ucap Zidane. “Kita pasti ada solusi yang terbaik untuk ini, Zi. Kamu yang sabar.” Leon menepuk punggung Zidane, menguatkan hatinya yang rapuh karena melihat putra semata wayangnya terbaring lemah di ICU. Thalia masuk ke dalam ICU. Dia duduk di samping Danish yang sedang terbaring lemah. Thalia tidak menyangka kalau Danish menyembunyikan perasaannya padanya dari dulu. “Nish, kamu jangan lemah seperti ini. Tolong jangan memaksakan kehendakmu, jangan egois, Nish, aku mencintai Arkan, tidak mungkin aku menikah dengan kamu,” ucap Thalia lirih. Thalia menemani Danish, dia melupakan Arkan. Padahal dia setiap malam pasti memberi kabar Arkan. Bagaimana mau menghubungi Arkan, dia saja sedang tidak bisa berpikir jernih, dia masih merasakan kemelut di hatinya karena masalah Danish. “Bagaimana perasaan Arkan, kalau dia tahu soal ini? Aku seperti mengkhianati janjiku sendiri jika aku  menuruti Tante Monic,” gumam Thalia. Rere masu ke dalam menemui putrinya. Rere pun bingung harus bagaimana. Dia juga tidak ingin melihat Monic seperti itu, karena dia merasakan rasanya menjadi Monica sekarang. “Lia,” panggil Rere dengan tatapan sendu pada putrinya. “Ma, Lia harus bagaimana? Lia tidak ingin seperti ini, Lia mencintai Arkan, kalau Lia menuruti apa yang Tante Monic inginkan, bagaimana dengan Arkan? Lia akan menyakiti Arkan, Ma. Lia tidak sanggup itu. Tujuan Lia di sini hanya satu, mama. Aku ingin kuliah, bukan menikah!” ucap Lia dengan menangis di pelukan mamanya. “Mama tahu itu, Nak. Mama juga tidak tahu harus bagaimana? Maafkan mama, menikahlah dengan Danish,” ucap Rere. “Mama jahat! Lia tidak mau!” tegas Lia. “Nak, kamu tidak lihat tante Monica sangat memohon pada kamu? Kamu tidak lihat Danish seperti ini. Mama pun tidak mau ini semua terjadi, Nak,” ucap Rere. “Lia tidak mau, Ma!” Thalia merasa kecewa dengan mamanya dan keluar dari ruang ICU. “Kalian jahat!” teriak Thalia pada mereka yang sedang membicarakan soal Danish dan Thalia. “Lia... Lia... kamu yang tenang, Nak.” Leon memeluk putrinya. “Papa jahat! kalian jahat! tidak pernah mengerti perasaan Thalia. Kalian bibi dan paman macam apa, hah?! Tega sekali mengambil tunangan keponakannya hanya karena anak kalian!” Thalia semakin tersulut emosi. Rasanya sia-sia sekali dia sudah hampir dua tahun meninggalkan Arkan untuk kuliah di berlin. “Lia, kalau tidak seperti ini, kami tidak akan memaksa kamu menikah dengan Danish, Nak,” ucap Zidane. “Lia tidak mau, dan tidak akan pernah mau! Papa, mama, Lia lebihi baik berhenti kuliah dan kembali ke rumah eyang. Lia mau Arkan, Ma, Pa! Lia ke sini karena Lia kuliah, bukan untuk menikaah,” isak Thalia dengan terduduk di lantai. Kaki Thalia lemas, tidak dapat berdiri lagi. Dia seperti kehilangan tenaga dan kehilangan separuh raganya, karena kejadian yang menimpa dirinya saat ini. “Lia mencintai Arkan, Lia tidak ingin menikah dengan Danish, Lia mohon, jangan lakukan ini. Hati Lia sakit, Pa...,” ucap Thalia yang semakin melemah dan berlinang air mata. “Lia, papa tahu ini sakit, tapi papa juga merasakan apa yang Om Zi rasakan. Kita bicara di rumah, ya? Papa minta pengertian kamu, Nak,” tutur Leon. “Papa yang harusnya mengerti Lia,” ucap Thalia. “Lia benci papa!” Thalia mendorong Leon yang sedang memeluknya dan berlari untuk pulang. Thalia sudah berada di dalam taksi. Malam ini adalah malam kehancuran hati Thalia, dia merasa dikhianati oleh kedua orang tuanya dan kedua orang tua Danish. Dia tidak mengerti mengapa mereka melakukan hal seperti ini pada dirinya. “Papa, Mama, Lia tidak bisa menikah dengan Danish, kenapa mama dan papa berubah pikiran seperti ini,” gumam Thalia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD