Alrico terlempar ke depan dan sabuk pengamannya menahan tubuhnya. Orang itu kemudian jatuh pingsan dan membuatnya panik. Tanpa pikir panjang ia segera membawanya ke rumah sakit. Di depan ruang dokter, ia berjalan mondar-mandir tidak sabar untuk menunggu hasil pemeriksaan.
"Bagaimana keadaannya?"tanyanya setelah melihat dokter keluar dari ruangan.
"Sekarang dia sudah tidak apa-apa hanya kelelahan saja, tapi sekarang dia baik-baik saja dan besok boleh pulang.
Alrico mendesah lega. "Syukurlah. Boleh saya menemuinya?"
"Sebaiknya untuk saat ini Anda tidak menemuinya. Besok saja. Biarkan pasien istirahat."
"Baiklah. Terima kasih."
Dokter dan perawat pergi. Alrico mendesah lega, lalu pergi. Keesokan siangnya Masumi kembali pergi kerumah sakit. Ketika sampai di sana dia kebingungan untuk mencari pria yang hampir ditabraknya kemarin karena dia tidak tahu namanya. Setelah bertanya kesana kemari akhirnya dia tahu di kamar mana pria itu dirawat.
"Permisi!"
Pria itu menatapnya heran sekaligus bingung dengan kedatangan Alrico.
"Saya Alrico del Castellar. Kemarin malam saya hampir menabrak Anda, lalu Anda pingsan dan saya membawa Anda ke sini."
"Jadi Anda yang telah membawa saya ke sini,"kata pria itu.
"Benar. Saya juga ingin minta maaf, karena kemarin sore saya hampir menabrak Anda."
"Anda tidak perlu minta maaf karena saya sendiri kurang berhati-hati dan saat itu tiba-tiba tubuh saya merasa lemas. Saya ucapkan terima kasih, karena Anda sudah menolong saya."
Alrico mengangguk, lalu memperhatikan pria yang ada di depannya selama beberapa saat. Dia seorang pria tampan seumuran dengan dirinya dan dia juga tinggi.
"Boleh saya tahu siapa nama Anda?"
"Saya Silas Aaron." Pria itu tersenyum.
"Senang bisa berkenalan dengan Anda. Saya merasa lega Anda baik-baik saja. Ini kartu nama saya, jika Anda membutuhkan bantuan saya sebisa mungkin saya akan membantu Anda."
"Terima kasih, Mr. del Castellar?"
"Maaf sepertinya saya harus segera pergi lagi masih ada hal yang harus aku lakukan. Permisi!"
Alrico kemudian menghilang di balik pintu. Silas kembali melihat kartu nama Alrico sekali lagi.
"Alrico B. del Castellar, CEO Starlight Entertaiment. Sepertinya aku pernah mendengar namanya, tapi di mana ya?"
Silas berusaha untuk mengingatnya dan tidak lama kemudian wajahnya menegang.
"Dia kan kalau tidak salah tunangannya Rhea dan beritanya ada di TV, tapi kenapa aku tidak mengenali wajahnya."
Kedua tangannya dikepalkan dengan kuat. "Rhea, akhirnya aku bisa menemukanmu. Kamu tidak akan bisa lari lagi dariku."
Selama 10 tahun Silas mencari Rhea. Pencariannya selama ini tidaklah sia-sia. Ia akan memberitahu siapa Rhea sebenarnya. Wanita itu tidak lebih dari seorang penipu.
***
Marinela dan Flora, bibi angkatnya yang telah selesai berbelanja di mini market menenteng banyak belanjaan dan tiba-tiba kantong plastik yang Marinela pegang robek. Isinya berhamburan kemana-mana.
"Kenapa kantong plastiknya bisa robek?’’tanya Flora sambil memunguti wortel dan jeruk lemon.
"Mana aku tahu. Mungkin isinya terlalu banyak dan juga berat."
"Marinela, tolong ambil jeruk lemon yang ada di dekat tong sampah."
Matinela mendekati tong sampah dan tiba-tiba dihadapannya ada sepasang kaki mengenakan sepatu coklat hitam mengkilat. Kepalanya menengadah dan dia terkejut melihat siapa yang ada di hadapannya.
"Mr. del Castellar,"serunya terkejut.
"Halo Marinela, sudah lama kita tidak bertemu!"sapa pria itu dan tersenyum lembut pada gadis itu.
Seketika jantung Marinela berlompatan tidak karuan saat tatapan pria itu menusuk tajam kepadanya. Keduanya terdiam tidak mampu berkata apa pun yang mereka lakukan hanyalah saling memandang satu sama lain. Alrico berjalan mendekati Marinela dan mengembalikan jeruk lemon ke tangan gadis itu.
"Aku tidak menyangka akan kembali bertemu denganmu di sini."
Alrico berusaha untuk bersikap tenang.
"Aku juga tidak menyangka akan bertemu dengan Anda di sini."
Marinela terlihat gugup. Mereka berdua kembali terdiam. Keduanya tidak berbicara, tapi bahasa tatapan mereka telah berbicara. Hati mereka telah bertemu dan getaran sukma mereka berdua merupakan kesan yang tidak terlupakan.
Flora yang sejak dari tadi memperhatikan mereka berdua dengan tatapan heran dan dia yakin telah telah terjadi sesuatu diantara mereka berdua. Sejak Marinela pulang dari pelayarannya, ia sedikit bersikap aneh dan terlihat gugup setiap kali mereka membicarakan Alrico.
"Hari ini kamu terlihat cantik,"puji Alrico.
Wajah Marinela langsung merona merah dan wajahnya menghangat. "Apa kamu sudah pergi berbelanja?"
"Iya."
"Sendirian?"
"Tidak. Aku pergi dengan Bibi Flora."
Alrico akhirnya melihat Flora yang sedang memperhatikannya.
"Sudah makan siang?"
"Belum." Marinela mengelengkan kepalanya.
"Bagaimana kalau kita makan bersama-sama?:
"Eh, tapi...."
"Apa kamu tidak suka makan bersamaku?"
"Bukan begitu. Baiklah."
Alrico tersenyum lembut, lalu mengajak mereka ke sebuah restoran. Marinela dan Flora duduk berhadapan dengan Alrico. Marinela menatap Alrico yang sedang membaca daftar menu. Selama beberapa hari tidak bertemu dengannya, Alrico terlihat semakin tampan pikirnya. Jantung Marinela pun kembali berdetak kencang. Tidak lama seorang pelayan menghampirinya dan mencatat semua pesanannya.
"Bagaimana latihanmu? Aku harap latihanmu baik-baik saja."
"Latihanku baik-baik saja."
"Aku sudah tidak sabar untuk melihat pertunjukkan musikmu lagi."
"Aku tidak akan mengecewakan Anda."
"Aku tahu itu."
Flora sejak dari tadi hanya terdiam memperhatikan mereka berdua. Setelah makan datang, mereka makan dengan tenang.
"Kalian berdua akan pergi kemana lagi? Aku dengan senang hati aku akan mengantar kalian."
"Kami tidak akan pergi kemana-mana lagi. Kami akan pulang saja,"jawab bibi Flora.
"Baiklah. Aku akan mengantar kalian pulang."
Mereka bertiga meninggalkan restoran dan tidak lama kemudian mereka telah tiba di apartemen.
"Terima kasih untuk makan siangnya dan juga sudah mengantarkan kami,"kata bibi Flora.
Ketika mereka hendak masuk, Alrico menahan tangan Marinela tiba-tiba. "Aku ingin bicara denganmu sebentar."
"Bibi masuk duluan saja. Aku dan Pak Alrico mau bicara sebentar."
"Baiklah."
Bibi Flora sudah menaiki tangga dan hanya tinggal mereka berdua di bawah.
"Marinela, aku mengerti maksud tindakanmu itu saat kita berada di kapal pesiar."
"Eh...."
Marinela merasakan suhu di wajahnya meningkat. Tatapan mata Alrico menghujam jantungnya yang membuat debaran jantungnya semakin kencang. Alrico meletakkan satu tangannya di wajah Marinela. Sentuhan tangan pria itu di wajahnya kembali membuat hati Marinela berdesir dan kehangatan menyelimuti dirinya. Alrico masih terus menatap gadis itu. Gadis yang sudah 10 tahun dicintainya sekarang sudah hampir berada dalam genggamannya.
"Aku akan segera menjemputmu sampai saat itu tiba tunggulah aku dan percayalah padaku!"
"Pak Alrico."
"Berjanjilah padaku kamu akan menungguku."
Marinela menganggukan kepalanya dan Alrico terlihat sangat senang.
"Sekarang masuklah!"
Setelah Marinela hilang dari pandangannya, ia kembali masuk ke mobilnya.
Tangan Marinela langsung ditarik oleh bibi Flora ketika ia sudah masuk. "Bisa kamu jelaskan apa yang terjadi diantara kalian?"
"Memangnya apa yang telah terjadi diantara kami?"
Marinela balik bertanya pada bibi Flora.
"Aku bisa melihat semuanya, meskipun kamu tidak mengatakannya. Caramu memandang Pak Alrico ada cinta di sana."
"Bibi Flora."
"Apa benar yang aku katakan? Kamu mencintai Pak Alrico? Sejak kamu pulang dari kapal pesiar, sikapmu memang sedikit aneh. Kamu lebih sering melamun dan tidak konsentrasi pada pekerjaanmu. Sudah lama aku ingin menanyakan hal ini padamu. Pasti telah terjadi sesuatu antara dirimu dan Pak Alrico di kapal itu."
Mata Marinela mulai memerah. "Itu benar. Memang telah terjadi sesuatu di kapal itu."
Air mata yang sejak dari ditahannya mulai mengalir keluar.
"Marinela."
"Aku mencintainya, Bibi Flora."
"Kamu jangan bercanda itu tidak lucu."
"Aku tidak bercanda. Ini serius."
Bibi Flora menatap Marinela dalam-dalam. "Pak Alrico tidak mungkin mencintaimu, jadi lupakan saja dia."
"Tapi tadi dia mengatakan kalau dia mengerti apa yang aku lakukan waktu ketika berada di kapal pesiar."
"Memangnya kamu melakukan apa padanya?"
"Menciumnya."
Bibi Flora mengerjap-ngerjapkan matanya tak percaya dan shock Marinela berani melakukan itu.
"Apa kamu sudah gila? Lalu dia bilang dia mengerti maksud ciumanmu itu.
"Sepertinya begitu. Dia juga menyuruhku untuk menunggunya."
"Entalah Marinela. Rasanya aku hampir tidak percaya, jika Pak Alrico mencintaimu juga. Kamu tahu kan saat ini dia masih memiliki tunangan yang sangat cantik."
Bibi Flora memperhatikan tubuh Marinela yang terlihat biasa saja.
"Aku tahu yang Bibi Flora pikirkan. Aku ini tidak secantik Nona Rhea."
"Kita lihat saja, apa dia benar-benar mencintaimu atau tidak. Mungkin saja dia mendekatimu hanya karena kamu aset berharga untuk perusahaannya.
"Apakah dia menganggapku seperti itu?"
"Itu bisa saja."
Marinela menjadi tidak yakin kalau Alrico tidak tulus mencintainya.
"Sudah jangan sedih. Aku sarankan kamu jangan menaruh harapan yang terlalu tinggi pada Pak Alrico kalau dia mencintaimu juga."
"Bibi Flora benar."
Bibi Flora mengubah topik pembicaraan supaya Marinela tidak bersedih lagi.
"Apa kamu sudah menemukan orang yang selama ini membantumu?"
Marinela menggelengkan kepalanya. "Aku belum menemukannya. Aku bahkan tidak tahu siapa dia?"
Bibi Flora melihat ke arah vas yang berada di atas meja. Bunga tulip merah yang masih segar berada di dalam vas itu.
"Aku rasa penolongmu itu seorang pria."
"Kenapa berpikiran itu seorang pria bisa saja wanita kan?"
"Penolongmu itu selalu memberikan bunga tulip merah padamu, bukan?"
"Iya. Memangnya ada apa dengan bunga itu?"
"Apa kamu tahu makna arti bunga tulip?"
"Aku tidak tahu. Apa artinya?"
"Kesempurnaan dan cinta abadi, kasih sayang tak terhingga, penghargaan serta keagungan, kelimpahan dan kemakmuran. Bunga tulip yang berwarna merah memiliki arti sebuah kecintaan yang mendalam serta kasih sayang yang sempurna."
"Wow. Selama ini aku tidak pernah tahu artinya apa."
"Sudah sangat jelas orang yang selalu memberikanmu bunga tulip adalah orang yang benar-benar peduli dan menghargai dirimu. Aku rasa orang itu adalah pria kalau dilihat dari arti bunga tulip merah."
"Bisa saja itu wanita juga kan?"
"Aku yakin itu pria."
"Terserah Bibi Flora saja, karena aku tidak peduli mau pria atau wanita. Bagiku yang terpenting bisa bertemu dengannya walaupun hanya sekali saja untuk mengucapkan terima kasih."
"Semoga saja kamu bisa bertemu dengannya suatu hari nanti."
Marinela tersenyum. "Aku selalu menunggu hari itu tiba."
Suara di luar membuat mereka terkejut.
"Apa itu?"tanya Marinela.
Bibi Flora segera membuka pintu dan tidak menemukan apa-apa. Ia hanya melihat ada beberapa majalah terjatuh dari atas lemari tua dan berdebu.
"Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa hanya beberapa majalah terjatuh dari atas lemari."
Mereka berdua saling berpandangan heran.
***
Rhea dengan tergesa-gesa keluar dari apartemen Marinela, lalu masuk ke mobilnya. Ia pergi kesana untuk berbicara dengan Marinela, tapi ia melihat Marinela keluar dari mobil Alrico dan ia pun bersembunyi dan mendengarkan pembicaraan mereka. Rhea yakin sekarang Marinela sudah jatuh cinta pada Alrico dan tidak membenci pria itu lagi. Kebohongan yang ia lakukan pada Marinela untuk membenci Alrico di masa lalu sekarang terasa sia-sia saja.
"Nona tidak apa-apa?"
"Aku tidak apa-apa. Kita pergi dari sini."
Sebelum pergi, Rhea menatap apartemen Marina dengan pandangan marah dan benci. Ia meremas-remas tangannya yang terlihat pucat. Sejak dulu Marinela selalu mendapatkan apa yang ia inginkan selama ini. Cinta Alrico dan juga kekayaan keluarganya yang sekarang sudah ia ambil darinya. Mobil yang membawa Rhea terus melaju sampai pada akhirnya melewati sebuah taman.
"Berhenti!"teriaknya.
Sopir mengerem mendadak untungnya jalanan sedang sepi dan membukakan pintu untuk Rhea.
"Aku akan jalan-jalan di sini sebentar."
"Baik Nona Rhea."
Rhea duduk disebuah bangku taman yang mengarah ke kolam air mancur. "Aku harus mencari cara untuk memisahkan mereka berdua,"ujarnya dalam hati. Berkali-kali ia menghapus air matanya yang menetes.
"Anda tidak apa-apa, Nona?"tanya seorang pria dari belakang.
Rhea langsung menoleh dan pandangannya terlihat kabur oleh genangan air mata, sekali lagi dia menghapus air matanya dan terlihatlah dengan jelas seorang pria berdiri di depannya. Matanya membelalak lebar. "Kamu?"
"Rhea."
Rhea hendak pergi, tapi pria itu menahan tangannya.
"Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu lagi di sini."
"Lepaskan aku!"
"Tidak. Setelah kamu pergi begitu saja dariku."
"Apa yang kamu inginkan dariku?"
"Aku ingin kamu menjadi istriku."
"Jangan mimpi!"
"Jadi kamu lebih memilih Alrico del Castellar daripada aku?"
"Dari mana kamu tahu tentang Alrico?"
"Semua orang juga tahu siapa dia dan secara tidak sengaja aku bertemu dengannya. Dia hampir menabrakku."
"Jadi kamu sudah bertemu dengannya?"
"Iya. Jika kamu tidak kembali bersamaku, aku akan memberitahu Alrico siapa kamu sebenarnya."
"Kamu tidak akan memberitahunya."
"Aku akan memeberitahunya. Sekarang tentukan pilihanmu. Ikut kembali denganku ke Nevervale, Canada dan rahasiamu tetap aman bersamaku atau kamu tetap di sini dan mereka akan tahu siapa kamu sebenarnya?"
Rhea memandang pria itu dengan penuh kebencian dan kemarahan. Ia sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengannya lagi setelah sekian tahun. Setelah ia bersusah payah kabur darinya. Ia tidak ingin terperangkap lagi dengan pria itu.
"Aku tidak akan kembali padamu. Apa yang sudah aku dapatkan sekarang tidak mungkin aku lepas begitu saja."
"Jadi itu keputusanmu?"
"Iya."
"Baiklah. Aku akan segera memberitahu Alrico tentang dirimu."
"Kamu tidak akan bisa melakukannya."
"Apa maksudmu?"
"Karena kamu akan mati di sini."
Rhea mengambil pisau dari tasnya dan langsung menusukkannya pada Silas tanpa memberi kesempatan padanya untuk melawan. Pria itu tersungkur ke tanah.