Galen tidak bisa menyembunyikan kepanikannya saat berlari sambil membopong Lova yang masih tidak sadarkan diri dalam gendongannya.
Wajahnya yang sejak tadi mengeras karena emosi dengan tatapan yang selalu nyalang pada wanita dalam gendongannya kini telah sirna, berubah menjadi kepanikan yang tidak disembunyikan.
Dokter datang dengan dua orang perawat untuk mengecek keadaan Lova sebelum memberikan tindakan.
"Dia tiba-tiba saja tidak sadarkan diri, Dok. Tadi padahal masih baik-baik saja. Mungkin .. Mungkin dia mengonsumsi pil untuk bunuh diri." Bisik Galen dengan napas yang tersengal.
Dokter itu menatap sekilas pada Galen setelah Galen memberikan penjelasannya lalu lanjut memeriksa Lova. Tidak lama setelahnya Dokter tersenyum dan mengangguk.
"Tidak ada yang terjadi, Mas. Dia hanya tidur dengan mengonsumsi obat tidur. Anda bisa kembali membawanya pulang atau membiarkannya di sini sampai sadar."
Itu ucapan dokter setelah memeriksa kondisi Lova, yang membuat Galen langsung mengumpat keras karena merasa dipermainkan oleh Lova.
"Mungkin Anda harus menanyakan lebih lanjut apakah memang itu konsumsi rutin karen dia seorang pasien, atau saat-saat tertentu saja? Apakah diresepkan oleh Dokter atau hanya obat tanpa resep yang dijual bebas di apotik."
Dokter itu kembali melanjutkan dengan nada yang kini terdengar lebih serius, Galen hanya mengulum senyum tipis dan mengangguk.
Tangan pria itu terkepal kuat, helaan napasnya terus terdengar kasar dan memburu setelah mendengar sendiri dari dokter tentang apa yang terjadi pada Lova.
Wanita itu, setelah sembilan tahun menghilang, kini benar-benar berubah, menjadi sosok yang selalu mengacaukan hidup dan hari-harinya. Padahal dulu, wanita itu sangat manis, penuh pengertian dan kelembutan juga terkadang manja, yang membuatnya jatuh hati.
Wanita itu benar-benar pandai memporak-porandakan emosinya!
Pada akhirnya Galen menunggu Lova sampai bangun, rasanya ingin menyeret wanita itu untuk kembali ke hotel dan mengumpat juga berteriak untuk mengungkapkan kekesalannya karena Lova mengerjainya.
Empat jam kemudian, Lova pelan-pelan bangun perlahan. Di sampingnya Galen menatapnya tajam, masih penuh intimidasi dan seolah siap untuk meluapkan kekesalannya pada Lova.
Lova justru mengernyitkan keningnya bingung, bangun di tempat yang asing dengan bau obat-obatan menyengat.
“Apa-apaan ini?!” Desis Lova menatap Galen tanpa keramahan sama sekali.
“Kamu yang apa-apaan?! Sinting kamu!” Galen menunjuk Lova dengan kekesalan yang memuncak, namun Lova justru tertawa setelah menyimpulkan sesuatu.
“Oh, kaka pikir aku benar-benar bunuh diri? Bodoh sekali! Aku tidak mungkin bunuh diri! Dosaku masih banyak, apalagi dosa yang terakhir. Aku juga masih mengharapkan masuk surga walau kebanyakan yang kupunya dosa! Aku muak terus berada di dekat kamu, Kak. Jadi lebih baik aku tidur!”
Lova menjawabnya dengan santai, wanita itu lalu beranjak dan turun begitu saja dari ranjang, sekali lagi mengabaikan Galen yang masih mengolah emosinya sebelum benar-benar meledakkannya pada wanita yang sudah melenggang keluar dari UGD itu.
Cekalan di tangan dari seseorang rasanya semakin sering Lova rasakan, dia menarik napasnya panjang dan membalikkan badannya.
“Apa lagi?! Pulang sana! Berhenti mengusikku dan cukup bertemu di hari pernikahan sialan kita!” Ucap Lova menyentak cengkraman Galen lalu kembali melanjutkan langkahnya.
“Dari mana kamu dapat obat tidur itu?!” Tanya Galen kembali mencengkram tangan Lova, kini berdiri di depan Lova dan menghadangnya.
“Apa, si?! Konyol pertanyaan kamu, Kak! Ya dari apotik lah! Minggir!”
Tapi kenyataannya Galen masih belum mau melepaskan Lova. Dia meremas pelan lengan wanita itu.
“Siapa dokter yang meresepkannya?!”
“Berisik! Tidak semua obat tidur harus menggunakan resep Dokter, ya! Googling saja obat tidur tanpa resep Dokter! Kamu tidak berubah jadi bodoh dan konyol kan?! Dibilang minggir!”
Kini Lova menginjak kaki Galen hingga cengkraman tangan pria itu melonggar. Lova langsung berjalan tergesa-gesa dan masuk ke taksi yang baru saja menurunkan penumpang di lobi rumah sakit.
Dia melirik jam yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam, susah sekali mendapatkan ketenangan yang telah menemaninya bertahun-tahun silam.
Benar saja, pikirannya yang dia kira akan sedikit tenang setelah meninggalkan Galen dan bisa pulang kembali ke hotel sirna sudah. Galen justru ikut masuk ke taksi yang ditumpanginya, membuat Lova langsung memilih untuk kembali turun, namun Galen kembali mencengkram tangannya.
“Jalan, Pak!” Ucap Galen menguatkan genggaman tangannya pada Lova hingga membuat wanita itu meringis tanpa suara dan memilih kembali mengabaikan Galen dengan terus menatap ke jendela dan membuang muka ke pria itu.
“Kaka itu maunya apa, si?! Kenapa datang ke sini, hah?! Kenapa terus menggangguku?! Kita tidak memiliki urusan apapun lagi! Pulang sana!”
Lova menatapnya jengah begitu turun di lobi hotel, namun Galen tetap mengikutinya masuk, yang membuat Lova kembali menghela napas keras.
“Oke! Aku tidak akan masuk ke kamar jika Kaka masih mengikutiku! Sana jika Kaka mau masuk ke kamar!” Dengan begitu aku bisa kabur ke hotel lain, setidaknya sampai besok pagi kamu tidak akan menemukanmu!
“Aku pulang! Cepat masuk ke kamar dulu!” Galen kembali menarik lengannya, memaksa Lova dan memastikan wanita itu kembali ke kamar hotelnya.
Tepat saat tiba di kamar hotelnya, Lova melepaskan genggaman tangan Galen, oh tidak itu lebih mirip cengkraman.
Dia masuk dan langsung membanting pintunya tepat di depan Galen, tidak peduli jika hidung mancung idaman semua wanita milik pria itu tergores.
Lova lalu kembali merebahkan tubuhnya, tidak akan bisa tidur sampai pagi jika sudah begini. Pada akhirnya dia melirik makanan yang sempat dibawa oleh Galen, membukanya dan memilih memanaskannya sebentar di microwave lalu menikmatinya dalam hening malam yang sunyi itu dengan perasaan yang tetap kacau.
Setelahnya, Lova memilih mencari-cari apartemen yang bisa ia tinggali untuk sementara ini selama dirinya tinggal di Jakarta.
Ponselnya berkedip, sebuah pesan masuk dari papanya membuat dia menahan napas.
-Lova … Pulanglah, Nak. Banyak yang harus kita diskusikan. Bukan Papa tidak tau kamu ada di mana. Tapi Papa menghargai keputusanmu. Pernikahanmu banyak yang harus kita diskusikan, kamu masih putri Papa dan pernikahan ini menyatukan dua keluarga besar. Papa tidak ingin terjadi kesalahan yang bisa merusak reputasi keluarga kita atau pun keluarga Alastair.-
Membaca pesan itu membuat Lova mendesis keras, menyadari jika papanya hanya memikirkan reputasinya, kekayaannya dan kekuasaannya, yang bisa semakin kuat jika berbesanan dengan keluarga Alastair.
-Papa dengar kamu enggan dinikahi oleh Galen, Nak? Jika begitu, bisakah kamu membujuk Galen dan keluarganya untuk menikah saja dengan Vanya? Kasihan jika Kaka kamu harus dilangkahi, dia juga sudah jatuh hati pada Galen sejak lama. Dari pada kamu menikah dengan pria yang tidak diinginkan, Papa pikir ini solusi terbaik untuk kamu dan Vanya. Kamu tidak akan terjebak dengan pernikahan yang tidak kamu inginkan, dan Vina bisa menggantikan kamu sebagai mempelai Galen. Papa pikir, Vanya juga lebih tepat untuk Galen.-
Pesan kedua yang justru membuat Lova semakin menahan napasnya saat merasa ada sesuatu yang meremas-remas dadanya hingga terkoyak dan hancur berkeping-keping. Pria yang menyebut dirinya Papa itu, bahkan tidak layak dan tidak pantas sedikit pun memanggil dirinya Papa!
“b******k!”
-Lakukan saja apa yang Papa inginkan. Lova akan sangat berterima kasih jika Papa bisa menggagalkan rencana pernikahan Lova. Lova tunggu kabar baiknya!-
-Ah, satu lagi. Lova sudah tidak punya tempat yang disebut rumah. Kita tidak perlu mendiskusikan apa pun, dan Papa tidak berhak ikut campur dengan hidup Lova. Selain itu, Lova lebih senang menganggap Papa sudah mati dan menikah dengan wali hakim!-
Setelahnya Lova memblokir nomor itu dengan hati yang bergemuruh karena amarah yang akhir-akhir ini semakin sering menyapanya.
Dia tidak lagi mengenal kata sopan dan menganggap pria yang menyebut dirinya papa itu sebagai papanya. Semuanya sudah hancur sejak lama.
Tidak ada kasih sayang yang nyata yang diberikan oleh papanya juga mamanya, semuanya selalu tercurah untuk Vanya yang penyakitan, lalu semakin terbagi lagi sejak sang papa membawa madu dan anak haramnya itu.
Orang tuanya memang masih lengkap, tapi Lova merasa sudah menjadi yatim piatu sejak lama.
Bukannya merasa menyesal dan meminta maaf padanya karena tidak bisa memberikan kasih sayang yang utuh, pria tua itu justru semakin membuatnya meradang dengan terus memanjakan Vanya juga Vina dengan menggunakan alibi sialan itu.
Saat dulu Lova selalu protes ingin disayang dan diperhatikan juga diajak bermain oleh papanya, papanya selalu menolak karena ingin terus menemani Vanya yang begitu lemah dan butuh perhatian penuhnya.
Lalu saat Vina datang, papanya itu juga semakin tak acuh padanya, mengatakan jika selama ini Vina tidak mendapatkan fasilitas dan kenikmatan sepertinya karena harus hidup terasing sebagai putri dari istri simpanan. Jadi Lova harus mengalah, lagi dan lagi.
Hei! Yang salah itu wanita yang mau jadi istri simpanan hingga membuat anaknya sengsara! Kenapa justru mengorbankan anak sahnya yang lain! Memang b******k pria tua itu!
***
“Kak Galen! Apa yang sebenarnya Kaka rencanakan?! Kenapa Kaka harus menikahi wanita jahat itu?! Dia bahkan sudah melepaskan Kaka dari tanggung jawab! Kenapa Kaka tetap bersikeras bertanggung jawab! Elodie tidak mengerti!”
Elodie menangis terisak-isak setelah memaksa masuk ke ruangan Galen. Tatapannya nanar dan menyakitkan, wanita itu bahkan sudah berlutut dan memukul-mukul dadanya dengan kuat.
Galen yang melihatnya panik dan langsung mendekat membawa Elodie dalam pelukannya.
“Tenanglah, El. Kita akan baik-baik saja. Tidak akan ada yang terjadi. Kaka harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi di antara kami. Kaka tidak ingin hal buruk yang Kaka lakukan menuai karma dan karma itu jatuh pada adik-adik Kaka. Tolong mengerti ya? Kita akan baik-baik saja dan hal-hal di masa lalu tidak akan pernah terjadi lagi.” Bisik Galen berusaha menenangkan, namun isakan Elodie justru semakin keras dan tak terkendali.
“Tapi dia jahat, Kak! Dia licik dan manipulatif! Dia mencelakai kita dulu, membuatku hampir cacat dan membuat Kaka hampir meregang nyawa! Elodie tidak ingin Kaka berakhir dengan hidup bersama monster itu! Dia hampir membunuh kita dulu!”
Elodie melepaskan pelukannya pada Galen dan menatapnya dengan tajam namun juga nanar. Dia menangkup kedua tangannya di depan d**a.
“Elodie mohon, Kak! Elodie mohon! Jangan menikah dengannya! Jangan membahayakan diri Kaka! Jangan habiskan hidup Kaka untuk monster sepertinya! Lepaskan dan tinggalkan dia, Kak! Elodie sangat menyayangi Kaka dan tidak bisa membiarkan Kaka hidup dengan wanita rubah itu yang bisa membunuh Kaka kapan saja!”
Elodie semakin histeris, dia terus memohon pada Galen untuk menarik keputusannya, namun Galen tetap bungkam dan itu membuat Elodie semakin histeris.
“Jangan seperti ini, Elodie. Kamu berlebihan. Jika dulu kita masih remaja dan tidak memiliki kekuatan. Namun kali ini keadaannya berbeda. Kaka tidak akan membiarkan Lova menyentuh kamu atau keluarga kita sedikit pun. Jadi tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, ya? Jangan seperti ini, kamu menyakiti diri kamu seperti ini. Just trust me, okay?”
“Tapi dia bukan hanya melukaimu dan membuat Kaka celaka! Dia mengkhianati Kaka, mengkhianati cinta tulus Kaka dengan berselingkuh. Dia menyelingkuhi Kaka dengan sahabat Kaka sendiri! Apakah Kaka masih mencintainya setelah semua pengkhianatan dan kejahatan yang dia lakukan?!”
Elodie tetap terlihat histeris, seolah tidak mampu menerima fakta jika Galen tetap menikahi Lova setelah begitu banyak masa lalu menyakitkan di antara mereka.
“Kaka menikahinya sebatas tanggung jawab, El! Tidak akan ada cinta sehingga Kaka tidak akan terluka! Kaka juga tidak akan membiarkan dia menyakitimu lagi atau pun keluarga kita! Tenanglah. Hanya menghadapinya tentu menjadi hal yang mudah.”
Nyatanya tangisan histeris dan meraung-raung Elodie tidak bisa membuat Galen luluh untuk menuruti keinginannya dan itu membuat hatinya sangat sakit dan penuh kebencian pada wanita yang dengan berani kembali lagi ke kehidupan mereka setelah membuat kekacauan sembilan tahun yang lalu.
“Apa artinya Kaka akan menceraikannya? Kapan? Apa kalian membuat perjanjian pernikahan?”
Alih-alih menjawab pertanyaan Elodie, Galen menuntun Elodie untuk duduk di sofa, mengusap lembut air mata di wajah adik sepupunya itu dan berusaha merapikan penampilannya.
“Jangan khawatir berlebihan. Kaka bisa menjaga diri dan bisa menjaga keluarga kita. Lova kini bukan apa-apa, dia tidak mungkin melakukan hal yang buruk pada kita. Kamu tenang ya? Apa yang harus Kaka lakukan supaya bisa membuat kamu lebih baik?” Tanya Galen dengan nada yang lembut dan juga sabar.
Sesekali masih terdengar isakan yang tersengal-sengal dari Elodie.
“Mau apa, El? Mau makan siang dengan Kaka?”
“Kaka tidak sibuk?”
“Tidak pernah sibuk jika untuk kamu.”
Galen tersenyum dan mengusap lembut rambut Elodie, membuat Elodie ikut tersenyum dan tanpa ragu memeluk Galen dengan manja.
“Elodie sangat menyayangi Kaka dan tidak ingin Kaka terluka sedikit pun. Apalagi kembali terluka seperti dulu karena wanita itu. Elodie tidak mau.” Elodie mengatakannya dengan napas yang sesekali tersengal, membuat Galen mengusap lembut punggung wanita itu untuk menenangkannya.
“Makan padang favorit kita, yuk?”
“Mau, Kak. Ayo. Elodie juga lapar. Mau rendang, ayam pop, gulai ayam, semuanya. Aduh nikmat deh!”
“Memang bisa menghabiskannya?”
“Bisa dong!” Ucap Elodie dengan nada yakin, suaranya terdengar lebih ceria.
Galen yang melihat Elodie sudah selesai dengan kesedihannya langsung menarik tangan wanita itu untuk memberikan penghiburan pada sang adik.