“Lova sudah mengatakan pada Kak Galen sejak awal, jika Lova tidak ingin tanggung jawabnya. Lova tidak membutuhkan tanggung jawabnya. Kita cukup lupakan kejadian malam itu dan jalani hidup masing-masing. Lova tidak ingin terikat pernikahan dengan Kak Galen, Tante. Namun Kak Galen terus mendesak dan memaksa Lova. Bisakah … bisakah Tante membantu Lova untuk membatalkan pernikahan ini? Lova buntu, Tante.”
Nada suara Lova tetap terdengar tenang, namun ekspresinya tidak berbohong, sama seperti hatinya yang bergemuruh riuh mengungkapkan semua yang mengganggunya.
Ivanka semakin terkejut dengan ucapan Lova, wanita muda itu terlihat frustasi dengan pernikahan yang tidak diinginkannya.
“Sayang … Tidak seperti ini, bukan seperti ini cara kerjanya, even if you got your period, Galen still have to take a responsibility. Mama tidak bisa membantu kamu melakukan hal gila ini. Bagaimana bisa Mama membiarkan putra Mama untuk lari dari tanggung jawab setelah merusak anak gadis orang? Mama akan menjadi ibu yang dzalim.” Ucap Ivanka yang kini menggenggam erat tangan Lova.
Tentu saja Lova tau, setelah dia mendengar ucapan calon mama mertuanya, tidak ada lagi jalan keluar yang bisa dia ambil selain terjebak dengan Galen.
“Anak-anak Tante semuanya membenci Lova. Sepupu-sepupu Kak Galen yang dulu satu sekolah dengan Lova pun membenci Lova. Pun Kak Galen yang sangat membenci Lova, bagaimana Lova berada di tengah-tengah orang yang terus membenci Lova? Itu sama saja dengan mati pelan-pelan, Tante.” Walau Lova juga sudah perlahan-lahan mati sejak bertahun-tahun lalu.
“Sayang, jangan takut. Anak-anak Mama akan menjadi urusan Mama dan Mama pastikan mereka tidak akan mengganggu kamu, pun keponakan-keponakan Mama yang lain. Galen tidak membencimu, sayang. Mama orang yang melahirkan dan membesarkannya, Mama yang paling tau putra Mama itu. Dia tidak membenci kamu, percayalah.”
Lova hanya menyungging senyum miris dengan tawa yang sumbang mendengar ucapan Ivanka, sangat jelas pria itu membencinya sampai ke ubun-ubun dan dirinya tidak termaafkan.
“Apakah … apakah Tante masih merasa berhutang budi pada Lova atas apa yang Lova lakukan untuk Kak Galen dulu? Sehingga Tante berpikir dengan menjadikan Lova bagian dari menantu Alastair maka Tante bisa membalas hutang budi itu?” Tanya Lova lagi, kini wajahnya menunjukkan sedikit perubahan emosi yang membuat Ivanka menahan napasnya.
Belum juga dia membalas ucapan Lova, wanita muda itu justru sudah kembali bersuara.
“Jika hati Tante masih terasa berat atas apa yang Lova lakukan dulu, tolong lepaskan, Tante. Bebaskan perasaan Tante dari rasa iba dan hutang budi itu. Lova melakukannya ikhlas dan tidak mengharapkan apa pun, apalagi sampai menganggapnya hutang yang harus Tante bayar.”
“Bukan, sayang. Bukan … Sungguh bukan seperti itu, Galen harus bertanggung jawab pada kamu. Dia merenggut apa yang paling berharga dari seorang wanita. Mungkin kalian memang berjodoh, bahkan setelah sembilan tahun kamu memilih pergi menjauh, pada akhirnya kamu kembali pada Galen.”
“Apa jika Tante tidak mengetahui kebenarannya Tante juga akan membenciku seperti anak-anak Tante yang lain juga keponakan Tante?”
Sekali lagi Lova menanyakan pertanyaan yang membuat lidah Ivanka kelu untuk menjawabnya. Namun lagi-lagi, Lova kembali menyudahi pertanyaannya tanpa dijawab.
“Oke. Itu tidak penting. Bagaimana pun perasaan Tante bukanlah urusanku. Yang jelas pernikahan ini tetap harus terjadi kan, Tante? Bisakah Lova meminta satu hal, Lova ingin intimate wedding saja, tidak ada pesta mewah apalagi ribuan undangan. Please, Tante. Hanya itu yang Lova inginkan dari pernikahan yang entah seperti apa ujungnya ini.”
Tatapan Lova yang penuh harap membuat Ivanka akhirnya menghela napasnya panjang, walau dia memperhatikan setiap detail ekspresi Lova namun dia tidak mampu menelaahnya, wanita itu terlalu tenang, walau gurat kelelahan dan tatapan matanya menyesakkan untuk dipahami.
“Baiklah, kita akan melakukan intimate wedding saja. Besok Tante jemput untuk fitting baju pengantin, ya?”
“Baik, Tante. Ya sudah, boleh Lova kembali ke kamar? Terima kasih atas sarapannya, Tante.”
Lova lalu bangkit tanpa menunggu respon Ivanka lagi, membuat Ivanka tersentak dengan bibirnya yang menganga, bahkan wanita itu belum menyentuh sedikit pun sarapannya, lalu untuk apa berterima kasih?
“Restu…” Panggil Ivanka pada asistennya yang setia menemaninya dan mengurus semua jadwalnya.
“Cari tahu nomor kamar Lova dan kirim sarapan ke kamarnya.”
“Baik, Bu.”
Padahal masih banyak yang ingin Ivanka tanyakan, tentang kenapa wanita itu memilih pergi ke hotel dari pada pulang ke rumah dan bagaimana hubungannya dengan keluarganya selama ini?
***
Lova baru saja bisa beranjak dari ranjang saat jam makan malam. Perutnya nyeri hebat, dan membuatnya hanya bisa meringkuk di ranjang seharian ini. Bangun hanya untuk makan dan ke toilet.
Langkahnya masih terlihat lemah, namun dia memilih beranjak ke balkon sekedar untuk melihat dunia luar yang kadang terlalu menakutkan untuk dia hadapi sendirian.
Setelah pertemuannya dengan Ivanka, dia kembali mematikan ponselnya dan membiarkannya tergeletak begitu saja di atas nakas. Lamunannya buyar saat mendengar pintu kamarnya diketuk, itu pasti layanan delivery untuk makan malamnya.
Namun yang mengejutkan juga mengesalkan, ternyata Galen yang datang, menatapnya dengan tatapan memicing dan membuat Lova jengah, dengan sekuat tenaga dia menutup kembali pintunya, namun mudah bagi Galen untuk menghalaunya.
Pria itu melenggang duduk di sofa dan meletakkan makanan yang dibawanya di atas meja. Lova tidak mengatakan sepatah kata pun, namun langkahnya mantap menuju ke kamar mandi dan mengabaikan Galen seolah pria itu tidak kasat mata.
Dia memilih mengisi bath up dengan air hangat, kembali melamun sambil menunggu bath up-nya penuh, bukannya mendapat ketenangan dalam lamunannya, dia justru teringat adegan malam panasnya dengan Galen kemarin, saat Galen tiba-tiba saja masuk ke kamar mandi dan menyerangnya hingga mereka berakhir di ranjang untuk sama-sama mengejar kenikmatan karena obat sialan itu.
Siapa yang sengaja menjebaknya? Lova tidak bisa menebaknya, terlalu banyak kemungkinan, karena begitu banyak yang membencinya di tahun terakhir SMA-nya.
Lova lalu menanggalkan semua pakaiannya, berharap bisa mendapat ketenangan dengan berendam di air hangat dan relaksasi untuk tubuhnya.
Pelan-pelan Lova memejamkan matanya, menikmati kehangatan dan kenyamanan di tengah gemuruh hati yang dipenuhi ketakutan dan kelelahan atas apa yang terjadi.
Lelah yang tidak ada obatnya, lelah yang membuatnya bertemu jalan buntu ke mana pun dia melangkah, lelah yang membuatnya kembali terjebak bersama orang-orang dari masa lalunya.
Ketukan pintu yang pelan-pelan berubah menjadi gedoran tidak sabaran sambil memanggil namanya penuh emosi menyentak Lova yang hampir terlelap di air yang telah berubah menjadi dingin itu. Dia beranjak dengan mengumpat, membilas tubuhnya sejenak dan memakai bathrobe sebelum keluar.
Galen tidak akan pergi sekali pun dia mengusirnya dengan berbagai cara, kecuali pria itu sendiri yang ingin pergi seperti semalam. Sehingga Lova memilih mengabaikannya dan menganggapnya tidak ada, berharap dengan begitu Galen cepat pergi.
“Kalau mau bunuh diri jangan menyusahkan orang! Cari tempat yang sepi dan tidak diketahui siapa pun!”
Semprot Galen begitu Lova membuka pintunya, tatapannya nyalang dan penuh intimidasi pada Lova, namun Lova tetap terlihat tenang dan tidak terpancing emosinya. Dia mendorong d**a Galen supaya bisa jalan. Memilih mengambil baju di lemari dan kembali masuk ke kamar mandi.
Galen tidak mengatakan apapun lagi, namun tatapannya tetap sama, seperti ingin menguliti Lova hidup-hidup. Memperhatikan setiap gerak-gerik Lova.
Saat Lova sudah berganti pakaian dan keluar dari kamar mandi, wanita itu langsung naik ke ranjang, menyelimuti seluruh tubuhnya dan kembali mengabaikan Galen.
Hal itu membuat Galen mendecak keras karena diabaikan oleh wanita itu. Namun dia tetap menunggu untuk beberapa saat, ingin melihat sejauh apa Lova tahan mengabaikannya seperti ini.
Tangannya bersidekap dengan menahan emosi dan tatapan yang angkuh, melihat wanita yang berbaring menutupi seluruh tubuhnya itu tetap tidak bergerak setelah menit demi menit berlalu.
Wanita itu! Benar-benar mengoyak kesabarannya sampai habis!
Tangannya dengan kasar langsung menyibak selimut Lova, namun wanita itu terlihat tetap tenang dengan mata yang terpejam.
“Bangun, Lova! Kita perlu membicarakan banyak hal” Decak Galen keras, meremas lengan Lova agar wanita itu membuka matanya, namun Lova terlalu tenang untuk orang yang baru saja terlelap, tidak terusik sama sekali.
Kemudian, dia menarik lengan Lovala cukup keras dalam sekali sentak untuk membuat wanita itu membuka mata.
Galen menarik tangannya hingga Lova bangun dalam posisi duduk, namun Lova tetap memejamkan matanya, dengan tubuh yang tidak bertenaga.
“Lova!” Panggil Galen lagi masih dengan nada yang keras, namun Lova tetap tidak bergeming. Membuat pria itu langsung memangku kepala Lova dengan tatapan yang pelan-pelan berubah panik.
“Lova! Bangun! s**t!”
Dengan kepanikan yang semakin mencekiknya juga pikiran-pikiran negatif jika Lova benar-benar merealisasikan ucapannya tadi tentang bunuh diri, Galen membawa Lova yang masih tidak bergerak menuju ke rumah sakit terdekat.