Enam

1561 Words
Icha merasa sikap Andre belakangan ini lebih hangat padanya sejak kejadian di kantor dua yang tak pernah bisa terlupakan olehnya. Untuk pertama kalinya dia melakukan itu, terkadang dia merasa malu namun sering ingin mengulangnya lagi. Meskipun Andre tak pernah lagi membahas hal itu di tempat kerja namun melihat Andre yang lebih sabar menghadapinya membuatnya yakin bahwa kejadian hari itu tentu berkesan juga di benak Andre. Hari ini genap sebulan Icha kerja bersama Andre, selain sikap Andre yang menghangat padanya, diapun mulai mengerti apa saja yang diinginkan bos nya, karenanya dia selalu mengerjakan sesuatu tepat waktu dan dengan baik. Buku agenda Icha penuh dengan catatan-catatan penting, hal yang harus diingatnya jadi Andre tak perlu lagi mengulangi instruksi yang sama. Hari ini Icha senang sekali karena dia telah menerima gaji yang masuk ke rekening, rencananya sore ini dia segera ke tempat kost yang diincarnya. Tak jauh dari kantor, bahkan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Andre masuk ke ruangan dan meletakkan tasnya di meja, "Pagi Om," sapa Icha, Andre mengangguk dan tersenyum. Icha menyodorkan berkas urgent yang harus ditandatangani pagi ini, aroma parfum Icha menusuk hidung Andre dan jarak mereka yang terlalu dekat membuat Andre ingin merasakan bibir wanita itu lagi. Diapun memegang pinggang Icha, hingga wanita itu menoleh kepadanya. "Morning kiss?" ucap Andre, setelah kejadian  tiga minggu lalu, mereka bahkan tak berciuman lagi, Andre sejujurnya takut pada dirinya sendiri, takut tak bisa menahan dan ingin melakukan lebih pada Icha. Icha memajukan wajahnya dan mengecup Andre sekilas lalu melepasnya. "Bukan gitu," Andre menarik Icha ke pangkuannya dan mencumbu bibir wanita itu, Icha yang dalam posisi miring itu melingkarkan tangan ke leher Andre dan membalas ciuman Andre, menghirup aroma harum mulut lelaki itu dalam-dalam, Icha sangat menikmatinya bahkan dia memejamkan mata  merasakan lidahnya yang dibelai oleh Andre. Tangan Andre mengusap paha Icha yang masih tertutup rok. Hingga sebuah ketukan pintu membuatnya terperanjat. Icha segera berdiri dan merapikan kemejanya, Andre berdehem dan berkata, "Masuk," sementara Icha berjalan ke arah keluar, lebih baik dia menyeduh kopi daripada gugup di dekat Andre dan karyawan itu. Salah seorang karyawan pria berkacamata masuk dan membungkuk hormat pada Andre, menanyakan dokumen penting yang harus ditandatangani Andre, staf bagian keuangan itu perlu mencairkan dana untuk membayar beberapa penulis hari ini. Andre menatap pria itu kesal, meskipun laki-laki itu tak tahu letak kesalahannya dimana? Setelah mendatangani dokumen tersebut pria itu undur diri yang hanya diangguki Andre dengan wajahnya yang mengeras, berpapasan lagi dengan Icha yang mencoba menyamarkan gugup dengan senyumnya, ditangan Icha telah tersedia kopi panas sekarang. Dia membawanya pada Andre dan melihat raut wajah Andre yang berubah jadi keras. "Kenapa Om? Ada masalah?" tanya Icha, Andre menggeleng. Icha mulai berani mengusap punggung bossnya itu hingga Andre mendongak dan menatapnya, Icha tersenyum riang dan memajukan wajah mengecup bibir Andre lalu mengecup pipi lelaki itu kiri dan kanan, Andre masih terdiam sampai Icha berbisik padanya. "Aku mulai ngekost hari ini, kapan-kapan main ke kostan aku ya Om," Andre menatapnya tak percaya, setan kecil ini benar-benar berani menggodanya. "Lebih aman di apartmen saya sepertinya," ucap Andre sambil meremas kecil b****g Icha membuat wanita itu tertawa. "Boleh, mau malam ini Om?" ledek Icha. "Boleh aja, awas kalau sampai kabur?" ancam Andre, Icha mengangguk dan tersenyum riang, meninggalkan Andre karena harus mengerjakan beberapa hal. Sepeninggal Icha, Andre masih terus tersenyum, tak habis pikir kenapa dia bisa tertarik pada wanita muda itu. Seolah jarak usia yang jauh bukan penghalang baginya. *** Dengan bantuan Andre, Icha bisa membawa beberapa barang dan bajunya untuk pindah ke kostan setelah memasukkan barang itu ke mobil Andre, Icha kembali masuk dan merasa perlu pamit pada ibunya, meskipun dia tahu tak akan mendapatkan sambutan apa-apa dari wanita yang pernah melahirkannya itu. Icha ke kamar ibunya, melihat wanita yang semakin lama semakin terlihat ringkih itu masih berbaring di kasur dan memejamkan matanya. "Mih, Icha mau pindah ngekost ke deket kantor, soalnya lebih deket dari kantor, jadi Icha gak perlu desak-desakkan di bus lagi, Icha pamit ya Mi, jaga diri mamih," Icha mengecup kening ibunya, dia tahu ibunya tak tidur karena kelopak matanya yang bergerak. Icha keluar dari kamar ibunya dan menutup pintu. Bersandar pada daun pintu itu dan mencoba menghubungi nomor telepon ayahnya. Deringan kedua diangkat oleh ayahnya. "Pi, Icha jadi pindah kost sekarang, Papi besok pulang kan? Iya Pi udah pamit sama mami tapi maminya masih belum mau bangun, Papi besok kalau bisa cari pembantu baru yaa, jadi kalau Papi keluar kota, ada yang nemani mami, dah Papi." Icha mematikan panggilan itu dan meletakkan handphone di dadanya. Tak pernah menyangka dalam hidupnya yang terasa sempurna akan jadi berantakan seperti ini setelah ditinggal Dinda. Pasti wanita itu sangat sedih di atas sana menyaksikan keluarganya yang tercerai berai. Icha yang biasa dimanja dirumah, didekap hangat kedua orang tuanya, kini hanya bisa meratapi nasib seolah menjadi yang terbuang. Icha menyusut air mata di sudut matanya dan berjalan ke mobil Andre membawa satu paper bag berisi alat make up nya. Andre memperhatikan mata Icha yang basah, dia tahu wanita itu pasti habis menangis. "Kamu menangis?" tanya Andre hanya untuk memastikan, "Enggak Om, ini kelilipan pas ambil barang diatas lemari," ucap Icha sambil mengusap matanya. Andre mengelus pipi Icha dengan punggung jarinya membuat Icha menoleh karena merasakan lembutnya tangan Andre saat menyentuh pipi wanita itu, tak hanya pipi namun Andre seolah menyentuh hati Icha. Tak banyak bicara, sentuhan Andre turun ke bahu Icha dan menepuknya beberapa kali seolah menguatkan Icha, hampir saja Icha menangis kalau saja tangan Andre tak dengan kurang ajarnya sudah turun ke paha wanita itu dan mengusap-usapnya. "Geli Om." Icha berusaha menjauhi tangan Andre, lelaki itu hanya terkekeh dan kembali memegang kemudi dengan dua tangannya. "Makasih ya Om mau bantuin aku hari ini." "Iya sama-sama," Andre melirik ke arah Icha yang sudah menatapnya, Icha mencoba mengangkat tubuh dan mengecup pipi Andre sekilas. Tangan Andre terulur dan mengacak rambut Icha hingga wanita itu protes karena rambutnya yang berantakan. Sudah cukup malam sehingga jalanan agak lenggang. Tak butuh waktu lama mereka sampai di kost Icha, Andre membawa satu kardus milik Icha yang paling besar. Namun dia harus menepiskan senyumnya ketika dengan jelas-jelas ada tulisan peraturan kost di ruang yang tampak seperti ruang tamu itu. Tertulis dengan jelas mengenai larangan mengajak pria ke dalam kamar dan batas pria hanya sampai ruang tamu ini. Icha ikut terpaku melihat tulisan besar - besar itu. "Maaf Om, pas aku bayar tadi enggak ngeuh ada tulisan itu", tutur Icha merasa bersalah, bahkan ada kamera CCTV di ruangan tersebut. Ruangan yang berisi dari sofa panjang dan dua sofa tunggal, karpet beludru dan televisi tiga puluh dua inci itu berada tepat di depan yang seperti lorong, karena kamar kost berada di dalamnya. Jadi memang seolah hanya itulah akses keluar masuk anak kost, tentu tak akan terasa nyaman berlama-lama disana. Mungkin karena peraturan ketat itu yang membuat harga kostnya cukup terjangkau. "Sini Om, biar kardusnya aku yang bawa," ucap Icha, Andre menyerahkan kardus itu ke tangan Icha. "Enggak niat pindah kost Cha, yang lebih bebas gitu?" Icha menggeleng, "Ini yang paling murah Om disekitaran sini." Bahkan ada peraturan bahwa gerbang akan ditutup pukul dua belas malam. "Ya sudah saya pulang dulu ya." Andre melihat jam dinding sudah hampir jam sebelas malam itu berarti tak lama lagi gerbang akan ditutup. "Sekali lagi makasih ya Om, hati-hati di jalan." Andre hanya mengangguk lemah, gagal bermesraan dengan sekretaris mungilnya yang yang lebih sering dipanggil setan cilik. Seorang wanita muda sepantar Icha tampak baru masuk dan berpapasan dengan Andre. Wanita yang terlihat agak tomboy karena potongan rambut pendek nya itu pun tersenyum pada Icha. "Penghuni baru? Kamar nomor berapa?" tanya nya ramah, Icha tersenyum dan berjalan beriringan dengan wanita yang memakai jaket, celana jeans robek-robek dan tas punggung berwarna hitam itu. "Dua belas," ucap Icha, "Sini gue bantuin." "Enggak Mbak enggak perlu, makasih," tolak Icha sopan namun wanita itu seolah memaksa dan mengambil kardus besar tadi dari tangan Icha. "Gue Andara panggil aja Dara," Dara mengulurkan tangannya yang dibalas oleh Icha, "Icha," "Kamar gue nomor tiga belas, samping kamar lo klo ada apa-apa kabarin gue, oiya umur lo berapa kayaknya kita sepantar?" "Dua puluh dua," "Nah bener kan sepantar, gue dua tiga, yang tadi siapa?" tanya Dara lagi, Icha tak merasa terganggu, justru dia senang jika ada yang bisa diajak berbicara disini. Karena ini untuk pertama kalinya dia tinggal jauh dari orangtuanya. "Oh, Om itu boss aku," jawab Icha, "Dikira pacar hehe," cengir Dara, "Maunya sih gitu," balas Icha, "Yeeah pepet terus jangan kasih kendor," ucap Dara sambil tertawa, "Wah siap itu sih." Icha setuju dengan ucapan Dara, dia merasa akan cepat akrab dengan wanita ramah itu. Karena hanya dalam waktu singkat saja mereka sudah tertawa bersama dan membahas hal lain. *** Di mobil, Andre menyalakan musik dan mengalun lagu-lagu Barat hits saat ini. Tak terasa dia telah sampai di apartmennya. Naik ke lantai paling atas. Sama seperti di seluruh kantornya dia selalu suka pemandangan dari ketinggian, dengan begitu dia bisa mengawasi segalanya. Sampai apartmen dia mengedarkan pandangan, banyak sekali foto-fotonya bersama Olivia, diapun memutuskan untuk mencopot foto-foto itu dan mulai menata hidup yang baru. Diambilnya kardus besar yang tersedia di apartmen dua kamar tersebut. Mencopot beberapa bingkai foto dirinya bersama Olivia, lalu meletakkannya di dalam kardus, bersamaan dengan beberapa barang yang akan mengingatkan nya dengan wanita itu. Lalu dia pindah ke kamar, mengambil bingkai paling besar seukuran tubuhnya, ukuran bingkai yang sama dengan yang ada di kantornya, lalu dia mencopot foto itu dan menggulungnya. Dimasukkan juga dalam kardus. Foto-foto diatas nakas pun tak luput. Setelah merasa semua benda kenangan tentang Olivia tak ada yang tertinggal dia pun segera membawa kardus itu ke gudang dan meletakkannya di sudut ruangan. Dia perlu menata hati dan maju melangkah menyambut harinya yang baru, bersama Icha mungkin? Namun siapapun itu, Andre merasa sepuluh tahun sudah cukup baginya berkutat dengan kesedihan dan kenangan akan masa lalu yang tak akan bisa diraihnya kembali. *** bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD