7. Sifat Serupa

1085 Words
Saska hanya melirik Ara lewat ekor matanya. Hampir setengah jam dan Ara hanya diam tak mengatakan sepatah katapun. "Mulai besok kau bisa bekerja," ucap Saska membuka pembicaraan. Melihat wajah wanitanya terlihat lesu justru membuatnya tidak tahu harus berbuat seperti apa. "Bukankah kau bilang akan melepasku?" tanya Ara tanpa menoleh. Ia masih melihat ke luar jendela mobil. Walau hanya pelukan yang menenangkan dari ibu Saska, namun seakan mampu mengobati luka hatinya karena keadaan. "Apa kau lupa? Selama belum pasti kau hamil atau tidak, aku akan terus mengawasimu," jawab Saska yang membelokkan setir ke kanan. Tujuannya adalah pusat perbelanjaan. "Aku tidak mau bekerja padamu," balas Ara dengan menoleh pada Saska yang tetap fokus pada kemudi. "Bukankah sudah kukatakan? Tidak akan ada perusahaan manapun yang mau menerimamu. Aku bisa memblacklist namamu dengan mudah," ujar Saska memberitahu. Ara hanya bisa menggertakkan gigi mendengar apa yang Saska katakan. Hidupnya benar-benar akan hancur di tangan pria itu. Ia tidak punya pilihan lain, tidak mungkin ia merepotkan Tian selamanya, dan tidak mungkin juga ia kembali ke kampung halaman. Ia tidak ingin bertemu tante juga mantan kekasihnya yang b******n. Ara menghela nafas berat dan berusaha sabar menerima keadaan. "Antarkan aku pulang," ucapnya bernada perintah. Rasanya kesal juga berbicara dengan lembut dengan Saska karena Itu percuma. Ckit … Mobil berhenti di parkiran sebuah pusat perbelanjaan. Ara mengernyit, untuk apa Saska membawanya ke sini? "Kenapa membawaku kesini?" tanyanya. "Mungkin ada yang ingin kau beli," jawab Saska dengan semburat kemerahan tipis menghiasi wajahnya. Ini kali pertama ia akan membelanjakan seorang wanita. Lagipula ia sengaja, siapa tahu Ara terpancing dan menginginkan barang-barang mahal nan mewah juga sesuatu yang berkilauan. "Tidak. Aku ingin pulang, tidak ingin membeli apapun," jawab Ara dengan nada suara sedikit rendah. "Tunjukkan dimana apartemenmu," tanpa berniat memperpanjang pembicaraan, Saska meminta Ara menunjukkan apartemennya yang baru. Ternyata pikirannya tidak pernah meleset. Ara sama sekali tidak memanfaatkannya meski ia telah memberinya suatu tawaran yang menggiurkan. Ara pun menunjukkan arah apartemennya. Dan hanya butuh waktu 15 menit mereka telah sampai di sebuah apartemen sederhana. "Kau tinggal disini?" Saska melihat keluar jendela mobil pada apartemen sederhana Ara yang lebih mirip dengan rumah susun. "Hm." Ara segera keluar dari mobil dan segera melangkahkan kaki berjalan menuju apartemennya. "Apa yang kau lakukan?" herannya saat Saska mengikutinya dari belakang. "Tentu saja mengikutimu ke apartemenmu dan istirahat. Kau tak lihat ini jam berapa?" ujar Saska dengan menunjuk jam tangannya. Ara melihat jam tangannya dan benar saja, sudah jam sembilan malam. "Apa kau terlalu takut pulang ke apartemenmu yang besar, sendiri?" cibir Ara dengan kata sindiran yang terdengar jelas. "Tidak. Mulai sekarang kita harus tinggal bersama," jawab Saska. Seketika itu juga Ara menghentikan langkahnya. "Apa kau gila?! Kita tidak menikah!" teriaknya tak terima akan keputusan sepihak yang tak masuk akal yang Saska berikan. "Harus berapa kali kukatakan, aku tidak ingin mengambil resiko kau menggugurkan calon anakku," ujar Saska yang juga berhenti dan menatap Ara dengan pandangan sulit diartikan. "Ya Tuhan … salah apa hambamu ini …." teriak Ara dalam hati. Ia mencoba menekan emosinya dan berbicara dengan lebih tenang. Ia cukup trauma berbicara keras dan melawan Saska, ia tidak mau pria itu kembali menggerayangi tubuhnya. "Aku tanya, apa kau begitu terobsesi dengan bayi?" "Bisa jadi," jawab Saska. "Kalau begitu hamili wanita lain saja," ucap Ara dengan memijit kecil kepalanya. "Tidak, kecuali kau tidak hamil." "Sudah kukatakan! Aku tidak hamil dan tidak akan hamil!" teriak Ara yang mulai emosi. Demi apapun, kepalanya terasa berat kembali setelah sebelumnya sedikit lebih ringan karena ibu Saska. "Kalau begitu buktikan saja. Cepatlah, dimana apartemenmu, aku lelah," ucap Saska dan kembali melangkah. Ara menghentakkan kakinya kesal. Tapi apalah daya, ia bisa apa? Jika ia kabur, ia mau kabur kemana? Tidak mungkin ke rumah Tian dan semakin merepotkannya. Apartemen ini saja sudah Tian sewakan selama setahun, dan ia tidak mau merepotkan lebih banyak lagi. Ditambah uang tabungannya kian menipis. *** Ara berhenti di depan sebuah pintu bercat putih. Mengambil kunci dari dalam tas dan mulai membuka pintu. "Apa kau seirus akan tinggal?" tanyanya saat Saska mengikutinya masuk ke dalam apartemennya. "Tentu saja, besok kau sudah bekerja. Aku tak mau sekretarisku terlambat karena alasan apapun," jawab Saska yang meneliti setiap sudut ruangan. Ruangannya cukup bersih dan nyaman walau tak sebesar apartemennya. "Jika kau tahu, kamarku hanya satu," beritahu Ara agar Saska bersiap tidur di sofa jika tetap ingin tinggal. "Kita bisa tidur bersama," seru Saska dengan menatap Ara yang berdiri di depan pintu, bersedekap d**a dan menatapnya kesal. "Dan kau pikir aku sudi seranjang bahkan sekamar denganmu?" "Kau harus terbiasa, saat kita menikah aku justru akan menidurimu." "A-- apa! Singkirkan mulut kotormu! Lagipula siapa yang akan menikah denganmu!" teriak Ara hingga tangannya terkepal erat di kedua sisi tubuhnya. "Kau, karena kau akan mengandung anakku," jawab Saska dengan setengah mengedikkan bahu dan berbalik melihat kembali sederhananya apartemen Ara. "Sudah kukatakan, selama kesepakatan kita berjalan kita harus tinggal bersama. Aku tak mau tiba-tiba kau kabur atau melakukan aborsi saat tak bersamaku," ucap Saska kembali tanpa menoleh. Kemudian ia berbalik dan melangkah menuju Ara yang tengah menggigit bibir bawahnya kuat. Tap! Saska berdiri tepat di hadapan Ara bahkan ujung sepatu mereka bertemu. Saska setengah menunduk, mencondongkan tubuhnya dan berbisik di telinga Ara. "Kau tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu kecuali kau yang memintaku," bisiknya dengan hembusan kecil di telinga Ara. Wajah Ara seketika memerah, apa ia bunuh saja Saska sekarang? Tapi akan sangat jelas jika ia pelakunya dan pasti berakhir dalam penjara. Saska tersenyum tipis, namun dapat ditangkap Ara hingga membuat Ara terperangah selama beberapa detik. "Sial!" gumam Ara dengan segera memalingkan muka. Bahkan Saska baru bersamanya selama beberapa menit dan ia sudah mencium bau bahaya. Saska segera mengambil jarak dan mencari kamar mandi. Ia butuh air dingin sekarang. Menggoda Ara sangat menyenangkan, namun menyiksa juga saat sesuatu di bawah sana merespon godaannya hingga membuatnya mengeras. "Apa kamar mandinya cuma satu dalam kamar?" tanyanya memastikan karena tak mendapati pintu kamar mandi yang tertangkap oniks hitamnya. "Sudah kukatakan, apartemen ini kecil. Sebaiknya pulanglah ke apartemenmu yang besar," cibir Ara yang mulai berjalan ke arah kamarnya. "Kurasa tidak buruk, jadi kita bisa mandi bersama." "Pervert!" teriak Ara yang segera berlalu menuju kamar. Ia tidak tahu, Saska bisa berucap m***m namun bisa begitu menyeramkan jika memasang wajah serius hingga mampu membuatnya tak berkutik. Saska tersenyum tipis, ia seperti bisa melihat seperti apa Ara yang sesungguhnya. Tebakannya benar, Ara tak lebih hanya wanita biasa yang berusaha kuat. Namun sifat wanita itu tetaplah seperti wanita keras kepala pada umumnya. Dan ia tidak tahu, kenapa bibirnya ingin menyunggingkan senyum saat melihat Ara menunjukkan sifat aslinya. Rupanya, mereka memiliki sifat serupa. TBC ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD