"Bagaimana?" tanya ibu Saska saat Saska turun dari kamarnya dan menyusulnya di ruang keluarga bersama sang ayah.
"Mungkin ibu benar, Ara belum siap memiliki bayi," jawab Saska seraya menarik kursi dan duduk.
"Kalau belum siap kenapa bisa hamil? Bukankah bisa minum obat pencegah kehamilan?" ujar Bisma, ayah Saska yang tetap fokus pada bacaan koran di tangannya.
"Pil pencegah kehamilan tidak baik jika dikonsumsi dalam waktu yang lama, Suamiku," tutur Aindra menimpali, kemudian mengalihkan pandangannya pada Saska. "Kau kan bisa menggunakan kondom, Saska. Sebagai seorang wanita muda wajar saja ia belum siap punya anak. Atau, apa kau memperkosanya?" Aindra menatap Saska penuh selidik.
Dan Saska hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Apa?! Berapa kali hingga bisa membuatnya hamil!" teriak Aindra sampai berdiri dan menggebrak meja.
"Cuma sekali dan itu yang pertama bagi kami," jawab Saska dengan jujur.
"Apa kau yakin dia hamil?" tanya Aindra meyakinkan.
"Tentu saja. Cepat atau lambat. Dan aku sangat yakin," jawab Saska dengan tersenyum tipis.
"Lihat Suamiku! Apa yang telah dilakukan anakmu." Aindra berharap suaminya itu memberi respon mengenai ucapan anak bungsunya yang telah menghamili anak orang.
"Kenapa? Bukankah dia hebat jika gadis itu langsung hamil di ronde pertama mereka?" ucap Bisma santai sambil meminum ocha hangatnya.
Saska yang mendengarnya tersenyum dalam hati, ayahnya selalu mengerti apa yang ia pikir.
"Ya Tuhan. Anakmu ini menghamili anak orang dan kau santai-santai saja?" teriaknya pada sang suami seraya memijit kepalanya yang terasa pening.
"Yang penting anak kita bertanggung jawab, Aindra," tutur Bisma dan membuat Aindra hanya bisa diam mendengar ucapan sang suami.
Saska bukan tipikal anak yang bisa menutup-nutupi apapun dari orang tuanya. Meski ia bersifat dingin di depan orang lain, di rumah ia berbeda. Begitu juga dengan image yang ia bangun diluar dengan sifat aslinya yang sesungguhnya. Sementara kedua orangtuanya tak ambil pusing wanita mana yang akan menjadi pendamping Saska kelak. Saska membawa wanita ke rumah saja sudah sangat membuat kedua orang tuanya bahagia. Karena selama ini banyak desas desus dan gosip yang menyatakan bahwa anak mereka adalah seorang gay.
"Lalu apa rencanamu setelah ini? Dia belum siap punya bayi," tanya Bisma. Ia kira wanita pilihan Saska sudah menerima semua bahkan siap menikah. Tapi jika tidak siap memiliki anak, apa yang akan Saska lakukan?
"Dia akan jadi sekertaris pribadiku," jawab Saska dengan suaranya yang tenang.
"Sekretaris? Kau yakin dia tidak hanya ingin mengambil keuntungan? Atau, apa kau dijebak?" tanya Bisma dengan sorot matanya yang tajam. Ia kira Ara adalah teman Saska dan mereka melakukan kesalahan. Mendengar Saska mengatakan demikian membuatnya berpikir luas. Mungkin anaknya telah dijebak hanya untuk bekerja di perusahaannya dan menggoda Saska.
"Tidak. Dia melamar setelah kami melakukannya dan ia tidak tahu jika tempatnya melamar adalah perusahaanku," jawab Saska dengan serius.
"Kau yakin dia wanita baik-baik? Bukan hanya ingin mendapat gaji dengan cara mudah?" tanya Bisma sekali lagi. Ia hanya tidak ingin anaknya masuk ke lubang hitam jebakan wanita.
"Tentu saja. Dia berbeda. Dan itu yang membuatku semakin tertarik," jawab Saska diiringi senyum miring.
Bisma hanya menghela nafas, ia percaya dan memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan Saska. Bukan ia memanjakan Saska dengan menuruti keinginan dan membiarkan apa yang putra bungsunya lakukan. Namun semua karena sebagai bentuk apresiasinya. Saska telah menjadi anak yang membanggakan, memiliki perusahaannya sendiri juga bisa menghandle perusahaan pemberiannya menjadi lebih sukses dari sebelumnya.
Sementara Aindra memijit kepalanya dan mendesah berat. "Ayah dan anak sama saja," gumamnya.
Ia memilih meninggalkan keduanya menuju kamar Saska. Ia membuka pintu perlahan dan menemukan Ara tertidur lelap di tempat tidur Saska. Ia berjalan mendekat dan duduk di tepian ranjang. Diusapnya pucuk kepala Ara lembut dan seketika ia tertegun menatap wajah damai Ara yang tertidur pulas.
"Ibu …." gumam Ara dalam tidurnya.
Entah kenapa hati Aindra terasa hangat. Diusapnya wajah Ara yang begitu tenang dalam tidurnya.
Perlahan Ara membuka mata dan yang ia lihat adalah wajah ayu ibu Saska yang menatapnya.
"Ibu …." gumamnya kembali seraya meraih wajah Aindra.
"Kau bangun? Maaf mengganggu tidurmu," ucap Aindra dengan rasa bersalah.
Seketika Ara tersadar dan segera menarik tangannya. Ia kira Aindra adalah ibunya. Ia bermimpi, dimana dalam mimpinya itu sang ibu tengah mengusap kepalanya penuh kasih sayang.
"Maaf," cicit Ara dengan segera menarik tangannya. Ia bangun dan menunduk melihat tangannya yang berani menyentuh wajah ibu Saska.
"Seharusnya ibu yang minta maaf, Sayang?" ucap Aindra dengan menangkap wajah Ara.
Seketika Ara terhenyak, minta maaf? Untuk apa?
"Karena anak ibu sudah menghamilimu. Saska sudah mengatakan semuanya. Kau tahu, aku sangat senang, ini pertama kalinya ia membawa seorang gadis ke rumah, dan juga telah menghamilimu. Ibu sangat senang karena artinya ia benar-benar bukan seorang gay."
"Apa? Gay?"
Aindra tersenyumm dan kembali mengusap wajah Ara. "Ibu sangat senang saat ia bilang kau hamil. Ibu sangat menyukai anak-anak terutama anak perempuan karena anak-anakku keduanya memiliki testis. Dan ibu ingin sekali rumah ini ramai dengan cucu-cucuku yang berlarian di rumah. Namun sayang sampai saat ini belum ada kabar bahagia dari anak sulungku bahwa aku akan menjadi seorang nenek. Jadi ibu sangat berharap padamu saat Saska bilang kau hamil," ungkap Aindra dengan senyum manis tersungging di bibirnya. Seakan menunjukkan betapa ia jujur dengan kata bahagia yang ia ucapkan.
Wajah Ara memerah, ibu Saska ini terlalu vulgar saat menyampaikan kata yang seharusnya masih bisa diganti dengan kata yang lebih formal.
"Jadi, bisakah ibu berharap padamu?"
Deg!
Jantung Ara berdegup cepat. Kata-kata ini sama seperti yang diucapkan ibunya bertahun-tahun lalu saat ia masih belum mengerti apapun.
"Jadi Ara, bisakah ibu berharap padamu?"
Ingatan saat sang ibu mengucapkan kalimat itu kembali berputar.
"I-- ibu …." gumam Ara yang masih terbayang akan masa lalunya dulu. Saat ini dimatanya, Aindra adalah ibunya yang sudah lama pergi meninggalkannya. "Ibu … bisakah aku memelukmu?" tanya Ara yang masih dalam keadaan setengah sadar. Seakan di matanya saat ini yang ia lihat adalah ibunya. Mungkin karena terlalu frustasi dengan beban beratnya. Dikhianati tantenya, kekasihnya, kehilangan amanat yang orang tuanya titipkan, dan sekarang harus terjebak dengan Saska.
Aindra cukup terkejut namun ia melakukan apa yang Ara minta.
"Aku merindukanmu, Bu, sangat," lirih Ara dalam pelukan Aindra. Dipeluknya Aindra erat, sangat erat seakan Aindra benar-benar ibu kandungnya.
Diusapnya lembut punggung Ara memberinya pelukan hangat yang menenangkan. "Iya, Sayang. Panggil aku ibu," ucap Aindra.
Seketika Ara seperti tersadar, ia melepas pelukan dan mengusap setitik air mata di ujung matanya.
"Kau merindukan ibumu? Selama kau di sini anggaplah aku sebagai ibu kandungmu," perintah Aindra dan kembali mengusap pucuk kepala Ara.
Ara hanya diam. Ia masih berkutat pada ingatan dan pikirannya. Rasanya nyaman sekali, tenang sekali saat memeluk ibu Saska seakan itu pelukan dari ibunya sendiri.
"Wanita sudah ditakdirkan untuk hamil dan memiliki anak. Siap atau belum siap jika sudah saatnya tiba sebagai seorang wanita kita harus siap. Mungkin saat ini kau belum menerima keadaan, tapi percayalah kau akan sangat bahagia saat ia mulai tumbuh dan besar," tutur Aindra memberi nasehat.
"Tapi, aku tidak--" Ara tak sampai menjelaskan karena Aindra sudah memotong ucapannya.
"Panggil aku ibu," perintahnya mutlak.
"I-- ibu … tapi aku sungguh tidak, aku tak mau ibu kecewa jika berharap terlalu banyak," cicit Ara.
"Aku percaya pada anakku," jawab Aindra dengan tersenyum lembut.
"Kenapa? Kenapa I-- ibu baik padaku? Maksudku, kita tak saling mengenal sebelumnya. Tapi ...." Ya, Ara heran kenapa ibu Saska ini langsung menerimanya. Bukan menolak seperti di film-film yang pernah ia tonton bahwa calon ibu mertua akan sangat selektif pada pilihan anak mereka.
"Karena ibu percaya pada pilihan anakku." Meski sebenarnya ada alasan lain yang sesungguhnya yang menjadi alasan paling utamanya.
"Jika bukan aku, apa I-- ibu juga akan melakukan hal yang sama?" Ara memberanikan diri bertanya meski tak berani menatap langsung pada netra kelam Aindra.
"Um …." Aindra tampak berfikir. "Mungkin, tapi sudahlah. Mari kita makan, kau tadi tidak sempat makan bukan?" Aindra mengajak Ara bangun, kemudian menuntunnya untuk mengikutinya menuju ruang makan.
Ara hanya menurut dan ia tidak tahu kenapa. Ditatapnya punggung Aindra dengan pandangan sulit diartikan. Ia tidak tahu seperti apa ibu Saska yang sebenarnya. Wanita itu bisa terlihat lemah lembut, tapi juga ceria dan banyak bicara, tapi Ara justru nyaman dengan sikapnya itu. Bolehkah ia memanfaatkannya? Izinkan ia menikmati kasih sayang ibu Saska, kasih sayang yang ia rindukan dari ibunya.
"I-- ibu ...." panggil Ara dengan suaranya yang kecil.
"Iya, Sayang?" Aindra menoleh dan tersenyum manis padanya.
"Boleh aku ... memelukmu kembali?" cicit Ara penuh harap.
Aindra tersenyum, berbalik dan kembali memeluk Ara. "Tentu, Sayang. Kapanpun kau mau, ibu akan selalu ada untuk memelukmu," ucapnya dengan memberi Ara pelukan hangat.
"Terimakasih, terimakasih," ucap Ara dibalik punggung Aindra.
Tanpa keduanya sadari, seseorang berdiri dengan menatap mereka dalam diam. Ia tersenyum tipis melihat pemandangan manis di depan matanya. Sepertinya, saatnya menunjukkan sifat aslinya, setidaknya mungkin bisa menghibur Ara dan membuat wanita itu tertawa.
TBC ....