Sudah beberapa menit yang lalu dan Ara tak beranjak dari depan cermin meski telah menggosok gigi. Ia sesekali mendesah lelah mengingat ia akan tidur sekamar dengan pria sinting, Saska. Apa yang harus ia lakukan agar Saska pergi? Ia sudah memutar otak namun tak menemukan cara apapun atau ide apapun. Ia kembali membasuh muka dan menatap pantulan dirinya di cermin. Meski ia tengah berada dalam keadaan sulit seperti ini, ia tidak akan menyerah. Mungkin ia akan bekerja sementara di perusahaan Saska. Walau ia sangat jengah, tapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Jikalau ia bekerja di tempat lain dan bukan basic yang ia cari, tentu percuma ia jauh-jauh datang ke ibu kota.
"Kau bisa, Ra! Kau wanita yang kuat!" ucapnya pada dirinya sendiri hingga mengangkat tangan penuh semangat karena bersedih yang berlarut-larut tak akan membantu menyelesaikan masalah.
Tanpa ia sadari, Saska bersandar pada pintu dan memperhatikannya dengan seulas senyum tipis. Menurutnya Ara sangat lucu, menyemangati diri sendiri? Aneh sekali.
"Apa kau butuh seseorang untuk menyemangatimu?" ujar Saska tanpa mengalihkan pandangan dari Ara yang terkejut melihatnya.
Ara hanya diam tak menjawab dengan berdecak kesal. Ia berniat segera keluar dari kamar mandi namun saat melewati pintu, Saska menahan tangannya. "Lepaskan!" perintahnya dengan suara lantang.
"Tidakkah kau ingin membantuku?" ucap Saska sarat akan nada godaan.
Alis Ara mengernyit, menatap Saska seakan mengatakan, "Apa?"
"Adikku bangun, mungkin kau bisa menidurkannya," ujar Saska diiringi senyuman tipis.
Alis Ara kian mengernyit. "Adik?" batinnya tak mengerti.
Bibir Saska kian mengukir senyum sedikit lebih lebar. Ia yakin, Ara tak mengerti apa maksud dari ucapannya.
"Bukankah kau anak terakhir?" ucap Ara dengan tampang polosnya.
Dan apa yang Ara katakan benar-benar membuat Saska terbengong ria. Setidak berpengalamannya Ara, apa wanitanya itu tidak tahu arti kata adik yang ia maksud?
Saska menutup wajahnya dengan sebelah tangan dan senyum kecil terukir di baliknya. "Lupakan," ucapnya kemudian.
"Nanti kau tidur di luar. Aku akan menyiapkan tikar," ujar Ara dengan nada perintah.
"Tikar? Kau pikir aku camping? Sudah kukatakan, aku tidur denganmu," balas Saska.
"Tidak! Tempat tidurku sempit!" potong Ara segera.
"Kulihat tempat tidurmu ukuran nomor 2. Seharusnya lebih dari nyaman untuk ditiduri berdua," sanggah Saska dengan arah pandang pada tempat tidur Ara dari tempatnya berdiri.
"Tidak! Kita bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, jadi jangan berharap kau bisa tidur di tempat tidurku!" sungut Ara dengan wajahnya yang terlihat kesal.
"Kalau begitu kita menikah saja agar kau sah jadi istriku," balas Saska dengan mudah. Ia melepas genggaman tangannya dan bersedekap d**a menatap Ara. Bibirnya kembali menyunggingkan senyum tipis.
"Sinting!" ucap Ara yang kemudian melangkah menuju lemari. Ia benar-benar mengambil tikar dari dalam lemari.
Saska mengamati setiap gerakan yang Ara buat dan ia kembali ingin tersenyum saat melihat Ara mengumpat terbukti dari mulutnya yang komat-kamit. Lama-lama ia bisa menjadi maniak bercinta jika terus menyanding Ara yang mampu membuatnya menjadi orang lain. Memilih mengabaikan pikiran anehnya, ia segera menggunakan kamar mandi.
Saska mendengus melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. Menurutnya ia tampan, tubuhnya juga proporsional, tinggi, dan kulitnya bersih tanpa gores, kenapa Ara menolak menikah dengan pria setampan dirinya? Ia juga memiliki segalanya, punya dua perusahaan dan beberapa perusahaan kecil, juga aset lain yang menyumbang seperempat kekayaannya. Apa karena Ara punya kekasih? Ia lupa, dan sama sekali tak memikirkan itu. Tapi melihat Ara masih perawan, sepertinya tidak mungkin. Ia kembali mendengus saat siksaan itu kembali mendesak. Ia segera menanggalkan pakaiannya dan berendam air dingin.
Hampir 30 menit dan ia baru keluar dari dalam kamar mandi dengan rambutnya yang basah. Ia juga hanya mengenakan handuk kecil yang tak mampu membungkus tubuh bagian bawahnya dengan sempurna. Diedarkannya pandangan ke penjuru kamar dan tak mendapati Ara di sana. Ia mencoba mencari Ara keluar dan benar saja, Ara tertidur di tikar berbulu yang digelar di depan ruang tamu. Ia semakin melangkah mendekati Ara yang telah tertidur lelap, berjongkok di depannya dan menyibak helaian rambut Ara yang menutupi wajahnya kemudian seulas senyum terpatri di bibirnya.
"Ngh~~" Ara melenguh dalam tidurnya. Satu tangannya tiba-tiba bergerak ke depan dan tepat menyentuh sesuatu yang telah berhasil Saska tidurkan. Tidur Ara mulai terusik, ia membuka mata dan hal pertama yang ia lihat adalah wajah Saska juga tubuhnya yang setengah telanjang. Namun bukan itu yang menjadi perhatiannya, melainkan ia sesuatu yang berada dalam genggamanya.
"Aku sudah susah payah menidurkannya, jadi kau harus bertanggung jawab karena kembali membangunkannya," ucap Saska dengan ekspresi wajahnya yang horor.
Keringat mulai mengucur di pelipis Ara saat dengan gerakan cepat ia menarik tangannya. "Tanganku ternoda!" teriaknya dalam hati dengan menatap horor tangannya yang sedikit bergetar.
Saska menunduk, kemudian kembali menegakkan kepala, dan dengan gerakan cepat menindih wanitanya.
"Apa yang kau lakukan, hah! Pria m***m!" teriak Ara yang mulai panik.
"Bukankah kau yang m***m? Pura-pura tidur dan saat aku mendekat, kau menyerangku, benar-benar strategi yang bagus," ujar Saska dengan pandangannya yang hampir menggelap.
*
*
*
Tak!
Ara meletakkan piring berisi omelette dengan kasar di depan Saska. Ia masih kesal, sangat. Karena kejadian semalam membuatnya tak bisa tidur semalaman. Ia mantan perawan minggu lalu, dan artinya belum berpengalaman dengan sesuatu yang berbau m***m. Dan Saska telah mengajarinya hingga membuatnya tak bisa tidur.
Saska mulai menikmati sarapan buatan Ara dengan tenang. Namun saat suapan pertama, ia menghentikan kunyahnya dan menatap Ara.
"Apa!" bentak Ara hingga melotot.
Saska kembali memakan sarapannya dalam diam. Sementara Ara tak berniat sekedar menatapnya, seharusnya Saska bersyukur ia memberinya makan.
"Maaf untuk semalam, aku kehilangan kendali," ucap Saska setelah menelan kunyahan terakhirnya.
Ara hanya diam tak berniat menjawab atau menimpali. Ia masih kesal dengan wajahnya yang merah jika mengingat apa yang Saska lakukan semalam.
"Setidaknya aku masih bisa menahan diri agar kita tidak bercinta sungguhan," ujar Saska kembali.
"Diam!" teriak Ara dengan meremas sendok di tangannya.
Saska mendesah berat, semua juga salah Ara bukan. Ia segera meminum segelas air putih dan berdiri dari duduknya.
"Kau harus bergegas, ini hari pertamamu bekerja," ingat Saska, "dan kau harus ingat, mulai hari ini aku adalah bosmu," tutur Saska kembali.
Ara menunduk dengan semakin meremas sendok dan membantingnya ke atas meja. Jika bukan karena hanya ini satu-satunya jalan yang bisa ia pilih, tentu ia tak akan sudi menjadi anak buah Saska.
"Ayo," ajak Saska.
"Aku naik taksi," jawab Ara ketus.
"Jika kau terlambat di hari pertama, gajimu kupotong separuh," ujar Saska yang mulai melangkah keluar dapur. Membenarkan dasinya, ia melirik Ara lewat ekor mata. Wajahnya memerah mengingat apa yang telah ia lakukan semalam. Meski ia mantan perjaka minggu lalu, tapi ia pernah menonton film dewasa. Bukan sengaja, melainkan karena Tian yang sengaja mencekokinya. "Memalukan sekali," gumamnya dengan menutup wajahnya menggunakan sebelah tangan.
TBC ...