Tidak mau memiliki Anak

1112 Words
Raisa terjingkrak kaget sontak menjauhkan telepon dari telingannya. Saat Raisa hendak membuka mulut. Dokter pun membuka pintu ruang operasi dengan wajah di tekuk. "Maaf" Ucap dokter Angga Deg, Raisa langsung was-was, ia meremas kuat telepon genggamnya, ia tidak sadar kalau panggilannya belum terputus. "Bagaimana hasilnya, Dokter?" Tanya Raisa dengan cemas. Sungguh jantungnya berdetak cepat saat ini. "Bagaimana dengan ibu saya dokter?" Andin berdiri memdekati dokter Angga. Ia tidak kalah cemasnya dari Raisa. Dokter Angga menghela napas berat, ia membuka masker dan kaca mata yang ia gunakan. "Selamat Raisa, operasinya berhasil. Namun Ibu Yanti belum bisa di temui karena masih tidak sadarkan diri. Kamu bisa menemuinya sekitar satu atau dua jam lagi setelah obat biusnya habis. Ujar Dokter Angga. "Syukurlah, Terima kasih dokter Angga atas kerja kerasnya." Ucap Raisa dengan senang. Tidak lupa senyum mengembang di bibir tipisnya. "Kita tidak boleh senang dulu, Raisa! Kami dari tim dokter masih memantau keadaan Ibu Yanti selama empat belas hari kedepan. Kita harus memastikan apakah tubuh Bu Yanti menerima dengan baik jantung baru tersebut atau malah menolaknya. Jadi segala kemungkinan bisa saja terjadi" Ucap dokter Angga. Senyum merekah yang tadinya menghiasi wajah cantik Raisa sekita memudar. Ia kembali terlihat sedih, Bagaimana jika Tubuh ibunya menolak jantung tersebut? Tiba-tiba saja berpikiran buruk, 'Tidak! ini tidak boleh terjadi' Pikir Raisa. Raisa berjalan mengikis jarak dengan dokter Angga, lalu meraih tangan dokter tampan tersebut. "Aku mohon dokter, lakukan yang terbaik buat ibu! aku akan membayar berapapun asal ibuku sembuh" Ucap Raisa memohon dengan mata yang mengembun. "Kak! Kakak" Ucap Andin. Ia mengguncang bahu Raisa. "Kakak tenanglah, dokter pasti akan melakukan yang terbaik buat ibu kita" Ucap Andin berusaha menenangkan Raisa, sebanarnya ia sendiri juga cemas kalau Tubuh ibunya tidak mampu menerima jantung baru tersebut. Raisa yang tersadar langsung melepaskan tangan dokter Angga. "Ma-maaf dokter, saya terlalu cemas!" Jawab Raisa karena merasa bersalah telah menggenggam tangan pria itu tanpa izin. Tanpa Raisa sadari, dokter Angga sedang beperang dingin dengan batinnya, karena ia tidak pernah disentuh oleh wanita manapun kecuali Ibunya. Entah mengapa jantungnya merasa berdegup kencang. Dokter Angga segera menggeleng, mungkin ini reaksi karena Raisa yang menggenggam tangannya secara tiba-tiba. "Kalian tidak usah khawatir, saya dan tim dokter lainnya akan berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik untuk Ibu Yanti" Sela dokter Angga degan tersenyum. Raisa mengangguk lemah, ia mendekati ruang operasi tersebut dan mencoba mengintip ibunya dari celah pintu yang tertutup rapat. "Sebentar lagi Ibu yanti akan di pindahkan. lebih baik kalian makan dulu, ini sudah lewat makan siang. Jangan sampai salah satu dari kalian jatuh sakit. Karena untuk menjaga pasien membutuhkan tenaga ekstra." Ucap dokter Angga mengingatkan. Setelah mengatakan itu Pria tampan tersebut pergi meninggalkan Raisa dan Andin. Tanpa Raisa sadari ternyata Bara masih setia mendengarkan obrolan mereka. Hati Bara merasa panas karena mendengarkan ada pria lain yang perhatian pada istrinya. Bara mengepalkan tangannya dengan rahang yang sudah mengeras, Sungguh ia sangat ingin memukul orang yang bernama Angga itu. "Awas saja kamu Raisa, kalau kamu macam-macam di luar sana, aku akan menghukummu!" Gumam bara dengan tatapan dingin. Ia sangat tidak suka ada orang lain yang tertarik dengan miliknya. Bara mematikan panggilannya dan meletakkan telepon genggamnya dengan kasar ke atas meja. Hari ini moodnya benar-benar buruk, punya istri tapi seperti tidak punya istri, ia malah mementingkan karirnya dari pada rumah tangganya sendiri. *** Malam harinya, Bara bersiap-siap untuk pergi ke Mansion Smith, sebelumnya ia mendapatkan telepon dari sang papi untuk makan malam bersama. Mau tidak mau Bara terpaksa mengikuti sang papi, meskipun terjadi drama antara dirinya dan Erlin yang bersikeras tidak mau ikut kesana. "Kamu sudah siap, Erlin?" Tanya Bara untuk yang kesekian kalinya. Pria tampan itu melirik jam mahalanya. Lalu kembali melihat sang istri yang masih berkutat di depan cermin. "Kamu sabar dong, Aku juga sudah berusaha cepat nih! Aku paling tidak suka yang namanya buru-buru" Jawab Erlin dengan raut wajah masam. Pasalnya ia paling malas pergi ke mansion itu, apalagi bertemu sang mertua yang menurutnya sangat cerewet sekali. "Ini sudah hampir jam delapan, Erlin! Kamu sengaja ya biar kita terlambat?" Ujar Bara yang menahan amarah. Entah kenapa akhir-akhir ini Erlin tidak seperti dulu yang penerut. "Kamu kalau tidak bisa menungguku silahkan pergi duluan, Aku akan pergi sendiri!" Sergah Erlin dengan suara lantang. Bara membuang napasnya dengan kasar, ia lebih memilih diam. Berdebat pun tidak akan menyelasaikan masalah, malahan akan mematik api pertengkaran di antara mereka. "Ayolah, Sayang! Mami sudah lama menunggu!" Ucap Bara berusaha lembut dan menekan keras egonya. "Aku sudah siap!" Erlin keluar dari kamarnya di ikuti oleh Bara di belakang. Mereka berdua memasuki mobil, hari ini Bara akan menyetir sendiri ke Mansion mewah keluarganya. Tiga puluh menit kemudian, Bara dan Erlin tiba di mansion keluarga Smith. Bara turun di ikuti oleh Erlin. Mereka memasuki mansion tersebut dengan bergandeng tangan bak sepasang suami istri yang sangat romantis, padahal baru tadi mereka masih cekcok masalah ajakan makan malam. "Sayang, kamu sudah sampai!" Ucap Mami Gina menyambut kedatang Anak semata wayang. Mereka bertiga saling berpelukan. "Mami, apa kabar?" Tanya Erlin basa basi. Ia menggenggam tangan wanita paruh baya itu. "Kabar mami sangat baik. Kamu bagai mana, Er? Apa sudah ada tanda-tandanya? Mami sudah tidak sabar mau menimang cucu dari kalian berdua." Jawab Mami Gina sambil duduk di meja makan. Senyum yang merekah di bibir Erlin berubah menjadi masam. Ia paling benci jika sang mertua sudah membahas topik yang satu ini. Menurutnya bahagia rumah tangga tidak harus memiliki anak. Karena sangat merepotkan. "Tidak Mami. Aku belum berencana memiliki anak! Lagian kontrak kerjaku masih panjang, sayang sekali kalau di batalkan, apalagi ini impianku sejak kecil," Jawab Erlin dengan tegas. Ia sudah tidak mau di tekan lagi, Erlin berharap dengan mengatakan ini mertuanya tidka lagi menuntutnya untuk memberikan cucu. "Apa maksud kamu, Erlin?" Tanya Mami Gina. Ia menatap Erlin dengan sorot mata tajam. "Bukankah sudah jelas, Mom! Aku belum mau memiliki anak dan aku mohon Mami jangan egois untuk menuntutku untuk hamil. Karena itu tidak mungkin, aku masih mempunyai karir yang bagus" Jawab Erlin tegas. Bara memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri melihat perdebatan Maminya dengan Erlin. Setiap kali bertemu ada saja yang menjadi perdebatan mereka berdua. "Sudah-sudah! Jangan membuat perdebatan yang tidak penting di meja makan! Kita berkumpul untuk makan malam bukan untuk membicarakan hal-hal yang akan membuat hubungan keluarga kita menjadi renggang," Sela Papi Wiliam menjadi penengah antara istri dan menantunya. "Apa maksud papi perdebatan tidak penting?" Tanya Mami Gina yang tidak terima dengan ucalan suaminya. "Aku bilang sudah ya sudah! Jangan ada lagi yang membahas hal ini lagi" Ucap Papi William dengan suara beratnya. "Sekarang cepatlah makan!" Lanjut Papi William Tanpa mereka sadari, Erlin tersenyum penuh kemenangan karena sudah menjatuhkan harga diri mertua perempuanya. "Rasakan, ini belum seberapa dengan sakit hatiku! Lihat saja aku akan membuatmu terus saja disalahkan!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD