Chapter 37 ngidam yang meresahkan

1670 Words
Tomi memesan makanan dan membawanya ke ruangan Amanda. Wanita itu tampak lemah dan pucat. Damian membawakannya teh hangat dan meletakkannya diatas meja. Tak lupa, lelaki itu memberikann Amanda minyak angin. “Minumlah tehnya, agar mual mu berkurang,” titah Damian. Amanda hanya melirik cangkir itu. “Terimakasih. Simpan saja di sana.” Tomi memperhatikan keduanya. “Apa kalian sudah makan siang?” tanya Tomi. Lelaki itu meletakkan makanan di atas meja, dan berpura-pura tidak tahu dengan apa yang baru saja telah dilalui Amanda. “Belum, aku tidak tahu bisa makan siang atau tidak.” “Kenapa begitu? Kau harus makan walau tak memiliki uang.” Kode Tomi pada Amanda. Ya, wanita itu telah berjanji akan menceritakan semuanya soal Daniel saat waktu makan siang. “Ehm, ya aku makan. Tapi, bisakah kalian diam. Hari ini aku merasa pusing.” Amanda menyentuh kepalanya. Damian dan Tomi saling memandang. “Hey, disini akulah bosnya. Jangan berani memerintahku.” Tomi memesan nasi dan sup sehat, juga ayam geprek kesukaan Amanda sebagai pelengkapnya. “Makanlah sebelum karyawan lain cemburu,” ucapnya lalu bersandar di sofa. Damian mendekat dan membuka bungkusan itu, dengan telaten menyajikan semuanya. Dia tak banyak bicara, hanya fokus pada makanan. “Kau harus menjaga kesehatanmu, Man. Ingat, ada sesuatu yang tumbuh di dalam sana yang memerlukan gizi seimbang.” Amanda tersenyum mendengar ucapan Tomi. “Gue rasa lo lebih cocok jadi Bapak ketimbang Damian,” bisiknya. Tomi melotot, memperingatkan Amanda agar berhati-hati. Damian sangat sensitif beberapa hari belakangan ini. “Aku telah memisahkan sambalnya, sebaiknya hindari makan pedas selama kau mual,” Damian begitu perhatian dan meletakkan segelas air putih di samping Amanda. “Ya, dia benar. Makanlah sekarang.” Amanda menatap kedua lelaki itu bergantian, perlahan dia menikmati makan siangnya, baru dua kali suap. Amanda berhenti saat rasa eneg mengganjal di tenggorokan. “Ada apa? Jangan bilang kau ingin muntah?” Dengan cepat Damian membawakannya wadah kosong. Amanda termenung di tempatnya. “Apa yang kau lakukan? Aku tak bisa mengambil bau masakan ini, tolong singkirkan semuanya.” "Ta-pi," Amanda memilih keluar dan berlari ke toilet. Damian dan Tomi tampak cemas melihat keadaannya. “Tom, aku rasa kita harus menyingkirkan semua makanan ini," ucap Damian. “Lalu, dia akan makan apa? Dia harus tetap makan agar staminanya cukup.” Damian memilih menyingkirkan semuanya, dan meminta OB membawa makanan itu pergi. “Sorry, tapi tak ada yang lebih penting dari Amanda. Dia tak bisa mencium aroma masakan itu." "Wajar aja, dia kan lagi hamil." Damian tak ingin berdebat, dia memilih keluar meninggalkan ruangan, untuk menyusul Amanda. Hingga jam istrahat berakhir, Amanda baru bisa tenang. Damian menyemprotkan pengharum ruangan dan membuka jendela. Lelaki itu jadi extra siaga. Bahkan Tomi pun ketar-ketir melihat cara Damian melindungi Amanda. “Sebaiknya, besok kau tidak usah masuk kantor, istrahatlah di rumah sampai keadaanmu membaik," pinta lelaki itu saat Amanda memasuki ruang kerja mereka. Amanda menggeleng, menolak permintaannya dengan tegas. “Tidak, aku butuh pekerjaan ini.” Wanita itu bersandar pada sofa. Tubuhnya semakin lemah. Damian menggapai minyak angin yang ada di atas meja, perlahan dia mengankat kaki Amanda dan memijitnya. “Aku akan mengirimkan gajiku ke rekeningmu.” Amanda terpaku mendengarnya. “Tidak perlu, aku bukan tanggung jawabmu lagi." “Bayi yang ada di perutmu adalah tanggung jawabku, kau menerima nafkah dariku untuk itu.” Amanda tidak dapat membantahnya. “Lihat, kau tak boleh memakai sepatu seperti ini lagi. Pakailah sepatu yang nyaman.” Damian memijitnya pelan, hingga Amanda jatuh terlena. Wanita itu tertidur pulas dengan posisi duduk bersandar. Damian menghela napas, perlahan dia mengatur posisi istrinya dengan hati-hati agar Amanda merasa nyaman. "Kau sungguh keras kepala, Sayang. Aku hanya khawatir, kau dan bayi kita akan kelelahan," bisiknya. ** Damian kembali mengerjakan laporannya, hingga waktu jam pulang kantor. Semua laporan hampir selesai. Sesekali Damian menoleh ke arah Amanda berharap wanita itu segera bangun. Ponsel Amanda mulai berdenting, panggilan datang dari Rama- papa Amanda. Sayangnya, tidur Amanda begitu pulas hingga tak mendengarkan apa-apa. Panggilan itu berlalu begitu saja, Damian pun tak beranjak dari tempatnya. Hingga panggilan kedua dan ketiga. Damian akhirnya berdiri dan meraih ponsel itu. “Hallo,” ucapnya. Rama yang berada di ujung sana langsung mengenali suara Damian. “Apa Amanda bersamamu? Papa sudah ada di depan untuk menjemputnya.” Damian tertunduk dalam. “Dia sedang tidur, Pa. Sepertinya kelelahan. Aku akan segera membangunkannya untuk papa.” “Tidak perlu, biarkan dia tidur. Dia mengalami kesulitan beberapa hari belakangan ini. Aku akan menunggunya di depan.” “Baik, Pa.” “Atau, kau bisa menelpon papa jika dia sudah bangun. Papa baru saja mendapatkan pekerjaan tak jauh dari sini. Jam pulangnya sekitar jam sepuluh malam.” Damian terkejut mendengar itu. “Baik, Pa. Aku akan mengantarkannya ke tempat kerja papa jika dia bangun. Kirimkan alamatnya.” “Terimakasih, Damian.” “Sama-sama.” Telepon terputus, setelah berpisah dengan Amanda. Hubungan Damian dan papa mertuanya semakin dekat. Ponsel Amanda kembali berdenting, pesan masuk datang dari Rama. Damian menatap pesan itu lama. Dia bertanya-tanya, pekerjaan apa yang telah di dapatkan mantan mertuanya itu di galeri lukisan. Mengetahui Rama mulai bekerja, Damian teringat ucapan Tomi tentang hutang keluarga Amanda pada Daniel. Semuanya semakin jelas, Damian kembali ke mejanya dan menyelesaikan pekerjaannya. Kantor mulai sepi, dan semua pekerjaan Damian sudah beres. Jam 09; 25 Amanda terbangun. Wajah Damian tepat di sampingnya. “Aku ketiduran?” tanyanya dan menatap ke arah jendela. Wajah Amanda lalu berubah pias. “Sudah gelap, papa pasti mencariku.” Amanda segera mencari ponselnya dan melihat jam di sana. Kepanikannya semakin menjadi dan segera mencari sepatunya. “Sepatuku dimana? Aku tidak berani pulang jika mama menyadari ini.” Damian mengeluarkan sepasang sepatu flat berwarna cokelat tua. Dia membelinya saat Amanda masih terlelap. “Pakai ini, sepatu yang tadi telah aku buang.” Amanda melotot mendengar itu. “Di buang? Kamua buang kemana?” Damian mengabaikan pertanyaan Amanda dan memakaikan sepatu yang baru di belinya. “Aku menyimpannya, untuk sekarang sampai bayi kita lahir kau tidak boleh memakainya.” Amanda melipat kedua tangan di dadanya. “Sepatu itu kesukaanku, jangan berani membuangnya atau aku akan marah!” Damian tersenyum samar. “Aku akan mengantarmu ke tempat papa, lokasinya sangat dekat bisa berjalan kaki.” Amanda tersenyum mendengarnya. “Kau bicara dengan papa?” “Ya, tadi dia menelponmu.” Amanda sangat senang. Dia lalu melirik berkas-berkas yang telah hilang di atas meja Damian. “Baiklah, aku janji akan bekerja lebih keras esok hari.” Mereka melangkah keluar dari kantor, hanya ada security yang tersisa, bertugas mengambil jaga malam. Amanda sedikit kagok memakai sepatu yang di berikan Damian. Bahannya ringan, seperti tak memakai apapun. “Selamat malam, Pak Damian dan Bu Amanda,” sapa security itu. “Malam, Pak. Maaf membuat menunggu lama.” Security itu mengangguk hormat. “Nggak apa-apa, Pak.” Perut Amanda keroncongan, Damian dan security itu menyadarinya. “Maaf,” ucapnya cengengesan. “Baiklah, aku akan mengantarmu dengan mobil, kita cari makan dulu,” Amanda menikmati perhatian Damian saat ini. “Aku mau berjalan kaki, kau bilang lokasi papa nggak jauh dari sini kan?” Tanpa persetujuan Damian, Amanda melangkah lebih dulu keluar ke jalan raya. Mau tidak mau, Damian mengikutinya dari belakang. “Hey, tunggu aku.” Damian segera menyusul, hanya hitungan detik dan dia tak menemukan keberadaan pujaan hatinya. “Dimana dia?” Damian mencari sepanjang jalan, dia mulai gelisah. “Bang, saus kacangnya di banyakin. Buruan saya laper,” Damian menoleh dan mendapati Amanda sedang memesan cilok di seberang jalan. Seketika hatinya merasa lega dan menyusul ke seberang. “Damian, kau mau juga? Ini sangat enak.” Amanda tersenyum bahagia, dia menikmati makanannya sambil memperhatikan orang yang berlalu lalang. “Kau tidak berubah,” ucap Damian dan mengeluarkan uang untuk membayar penjual tadi. “Kenapa? Apa kau mengira aku hilang?” godanya. “Ya tentu saja, kau selalu berlebihan saat kita keluar jalan. Lagi pula siapa yang mau menculik wanita hamil sepertiku.” “Makanlah, jangan banyak bicara.” “Kau bisa pergi jika kau mau, aku bisa ke tempat papa sendiri. Aku sudah tahu alamatnya, kulihat di pesan masuk tadi.” “Aku tidak akan meninggalkanmu, kau adalah tanggung jawabku sebelum kita bertemu papa.” Amanda asyik memakan cilok, entah kenapa makanan itu dapat di terima oleh perutnya. “Sepertinya aku menemukan makanan yang cocok. Kau hanya perlu belikan aku ini saat mualku kumat.” “Apa se enak itu?” Amanda mengangguk dan menyerahkan satu tusuk cilok pada Damian. “Ayo coba!” ucapnya dengan mulut penuh dengan makanan. Baru saja, Damian mencium bau saus kacang itu, perutnya mendadak seperti di kocok. Hueek! Amanda tertegun begitupun dengan pedagangnya. “Kenapa? Ini sangat enak, percayalah.” Damian tak kuasa menahan rasa mualnya. Bukannya prihatin, Amanda malah tertawa. “Dih, aku yang hamil kenapa kamu yang mual!” Damian bergidik, rasa eneg mengganjal di tenggorokannya. “Suaminya ya, Mba?” tanya sang pedagang. Amanda belum sempat menjelaskan dan pedagang itu kembali bicara. “Wah, beruntung banget anaknya, orangtuanya ngidamnya bergantian.” Amanda terkesiap. “Emang ada, Pak. Yang seperti itu?” “Ada, Mba? Katanya hanya pasangan yang saling mengasihi yang merasakan hal itu. Mba ini beruntung sekali, suaminya sudah ganteng, mapan, perhatian lagi.” Damian merasa lemas, setelah mengeluarkan semua isi perutnya. “Wah, saya beruntung banget kalau gitu, Pak. Terimakasih, ya.” “Sama-sama.” Amanda selesai dengan ciloknya dan menggapai tangan Damian dan memapahnya sepanjang jalan. “Kau dengar, kata bapak-bapak tadi anak kita beruntung.” Damian hanya diam, Amanda terus berbicara seolah lupa bahwa kini mereka tak lagi bersama. “Kita akan bergantian ngidamnya, wah sepertinya seru.” “Aku akan makan apa saja saat ngidamku berhenti, begitupun dengan kau, bagaimana?” Damian mengangguk lemah. “Ya, terserah kau saja. Ternyata ngidam itu begitu menyiksa.” Amanda tersenyum mendengarnya. “Ha, anak kita memang pintar, dalam hal inipun dia mau aku membanginya denganmu.” “Ya, sepertinya dia sangat menyanyangi ibunya,” ucap Damian. “Dia juga menyayangimu. Aku akan memintanya jadi bersikap baiklah padaku.” Mau tidak mau Damian tertawa mendengarnya. “Ya, ya, terserah kau saja.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD