Damian membuka pintu ruangan Tomi setelah mengetuk pintu tiga kali.
“Masuk,” ucap sang atasan.
“Bisakah kita bicara, aku menunggu di atap.”
Tomi tertegun, Damian pergi setelahnya membuat Tomi melonggarkan ikatan dasinya.
“Wah, lama-lama dia terlihat begitu menakjubkan. Kenapa aku mau saja menurutinya. Aku boss di sini,” keluh Tomi.
Mau tidak mau dia menuju ke lantai lima gedung itu dan menuju ke atap. Damian sedang berdiri melihat pemandangan gedung di bawah sana.
“Ada apa? Apa kau mau membahas masalah pribadi di jam kantor?”
Damian tertunduk merasa bersalah.
“Ya, maaf Pak. Aku hanya tak bisa.”
Tomi menepuk pundak Damian dan berkata.
“Aku dengar, Daniel membantu keluarga Amanda membayar hutang ibunya. Jika Amanda bekerja untuk itu. Di tengah hamil muda, menurutmu apa yang harus aku lakukan?”
Damian terdiam. Tomi tahu lelaki itu ingin berkorban, Tapi bukan seperti ini caranya.
“Jika kalian bersama, kau bisa mengontrol pekerjaan untuknya. Kau bisa mengingatkannya untuk makan. Kau bisa menjaganya. Aku bisa saja memperkerjakannya menjadi sekertarisku, Dam. Tapi, aku sadar. Dia tidak akan mau mendengarkan aku.”
Damian tersentuh mendengarnya. Angin berhembus menerpah wajah lelaki itu.
“Anggap saja, ini keberuntungan. Kau bisa menjaga asupan makannya, dia tengah hamil anakmu bukan. Kau bisa mengantarnya control tanpa harus kucing-kucingan sama tante Soya.”
“Tapi, Daniel?”
Tomi menatapnya lekat.
“Dia bukan siapa-siapa, kenapa kau begitu takut? Dam, keputusan akhir tetap di tangan Amanda. Kita akan membantunya saat dia butuh.”
Damian merasa sangat malu pada Tomi, bahkan lelaki itu lebih mengerti Amanda dari pada dirinya.
“Kembalilah bekerja, sama seperti biasa. Jangan menyakiti hatinya, itu juga sebagai bentuk pekerjaan untukmu dariku. Dia sahabatku, Dam. Aku menjaganya dari dulu. Melihat rumah tangga kalian yang berantakan, aku pun merasa ikut bersalah.”
Tomi meninggalkan atap sebelum Amanda menyadari dia tidak ada di ruangannya.
Damian berada di sana cukup lama, dia sungguh dilema, Amanda adalah hidupnya, bayi mereka adalah priorotas keduanya. Ucapan Tomi terus tergiang membuat Damian mengikuti saran lelaki itu.
**
Saat Damian turun dari lantai Empat, dia bertemu dengan Amanda yang baru saja mengisi botol air minum. Pandangan mereka bertemu, Damian menatap Amanda lama.
“Apa kau lapar?”
Amanda menggeleng, Damian menggapai air minum itu dan menuntun Amanda kembali ke ruangan mereka.
Sikap itu kembali, Damian kembali hangat membuat Amanda tenang.
“Aku mungkin tidak sempat keluar nanti, kau bisa pesan makanan untuk makan siang atau keluar dengan Tomi. Ada banyak pekerjaan yang menumpuk.”
“Aku mengerti, aku sudah melihat beberapa berkas di atas meja kerjamu.”
Langkah Damian terhenti mendengarnya.
“Syukurlah jika kau paham. Masuklah, aku akan keluar sebentar.”
Amanda tersenyum, teringat bagaimana dia dan Damian pertama kali bertemu. Amanda masuk dan merelakan Damian yang berjalan keluar kantor.
Empat tahun lalu, Amanda bertemu dengan Damian di kantor itu.
Damian yang tidak tahu kedekatan Tomi dengan Amanda, bersikap sewajarnya layaknya mentraining karyawan baru. Hingga suatu hari, Amanda di minta memindahkan berkas lama yang tidak penting untuk di musnahkan. Amanda yang tidak kuat, menahan beban kertas yang di tumpuk hingga menutupi kepalanya menjatuhkan berkas itu ke lantai.
Damian tersenyum melihat Amanda meminta maaf berkali-kali.
“Aku tidak sengaja, aku bisa melakukannya, tenang saja.”
Damian melihat Amanda wanita yang gigih dan tidak cengeng, lagi wanita itu berpenampilan biasa saja. Awalnya Damian mengira Amanda dari kalangan sepertinya.
“Tidak apa-apa, pergilah ke mejamu. BIar itu aku yang membereskan.”
Amanda mematung di tempatnya, bagaimana tidak. Damian yang di kenal dingin tersenyum ke arahnya.
“Aku bisa, Pak. Jangan khawatir.”
Damian semakin tersenyum lebar, dia tahu Amanda kesusahan tapi tetap kekeh untuk tinggal.
“Oke, kau bisa menyusunnya. Biar nanti saya yang mengankatnya.”
Amanda tersenyum mengingat itu. Masa lalu yang membuatnya merasakan cinta.
**
Tiga puluh menit kemudian.
Amanda sedang mengerjakan beberapa berkas penting saat Damian kembali dengan sekantong cemilan sehat.
Tok tok tok.
“Masuk,” ucap Amanda kikuk. Ya, dia tidak terbiasa.
“Hey, aku membelikan ini untukmu. Kalau-kalau kau lapar atau ingin ngemil.”
Mood Amanda semakin happy.
“Benarkah? Maaf merepotkanmu.”
Damian terpaku dengan tatapan canggung.
“Tidak masalah, simpanlah di laci atau dimana saja.”
Damian merasa tenang lalu kembali ke mejanya. Berkas yang ada di atas meja mulai berkurang, Damian melempar pandangan ke meja Amanda. Ya, Amanda telah mengerjakannya sebagian.
“Dam, aku ingin mengembalikan ponselmu,” ucap Amanda.
Damian tak mendengarnya dan fokus pada pekerjaan yang harusnya telah selesai.
“Dam,”
Amanda memberanikan diri menyusulnya. Ponsel itu di letakan di atas meja dengan hati-hati.
Sikap dingin Damian kembali lagi.
“Harusnya kau simpan saja.”
“Aku sudah mendapatkan ponselku kembali, papa memberikannya kepadaku.”
Amanda berbalik dan menuju ke mejanya.
“Tetap saja, aku tidak punya seseorang untuk di hubungi.”
Deg.
Amanda terdiam cukup lama dan kembali menatap mantan suaminya itu.
Damian bergeming dan membuka berkas-berkas penting di hadapannya.
“Aku, aku yang akan menghubungimu. Jadi pastikan ponsel itu terus menyala,” ucap Amanda pasti.
Damian perlahan mengambil ponsel itu dan memindahkannya ke dalam laci, entah apa maksudnya tapi Amanda merasa putus asa.
Ingin sekali dia bertanya mengapa dia berubah? Pertemuan di rumah sakit kemarin. Damian begitu manis dan perhatian.
‘Sebenarnya kau kenapa, Dam? Aku sudah berada di sampingmu, dalam sekejap kau begitu baik dan kembali menjadi dingin,” batin wanita itu.
Ruangan dengan 24 meter persegi itu, mendadak begitu sesak, baik Damian dan Amanda tak bersuara.
Hingga waktu makan siang tiba, keduanya masih betah di tempat masing-masing. Tak ada yang keluar untuk memesan makanan, tak ada yang mengajak atau mengingatkan.
Amanda mau tidak mau mengikuti sikap Damian. Walau dia merasa sangat lapar sekarang.
“Huek! Hueak!”
Perhatian Damian berhasil teralihkan. Amanda mual, perut wanita itu kosong sedang dia tengah hamil 2 bulan.
“Kau tidak apa-apa?”
Amanda menatapnya kesal.
“Minggir! Apa pedulimu. Hueek!”
Amanda berlari keluar mencari toilet. Damian yang khawatir mau tidak mau mengikutinya. Langkah Amanda mencuri perhatian Damian.
“Tolong minggirlah, beri Bu Amanda jalan,” ucap lelaki itu saat tiba di depan toilet.
Untuk pertama kalinya, Damian menggunakan kuasanya sebagai seorang meneger. Semua mata memandangnya, Amanda tak tahan lagi dan menerobos masuk begitu saja.
“Baik, Pak.”
Damian mengetuk jam tangannya, memberi kode pada staf di sana untuk meninggalkan tempat itu sebelum waktu makan siang berakhir.
“Kami mengerti, Pak.”
Huek, huekk!
Damian begitu gelisah, Amanda belum keluar juga membuatnya cemas.
“Apa kau baik-baik saja? Apa aku perlu masuk?” teriaknya.
Tomi yang tak jauh dari tempat itu, tertawa mendengar ucapan Damian.
“Amanda, apa kau mendengarkan aku?”
Damian bersiap memutar kenop pintu, bersamaan dengan itu. Amanda muncul dengan keringat dingin.
“Aku baik-baik saja,” ucapnya pusing.
Damian mendekapnya kali ini, lalu menuntunnya kembali ke ruang kerja.
“Seingatku kau tidak memiliki sakit maag,” ucap Damian.
“Aku sedang hamil. Tanpa sakit maag pun aku bisa mual kapan saja. Jangan bilang kau tidak tahu itu!”
Damian tertunduk, kantor mulai sepi karena jam makan siang.
“Lepaskan sepatu itu, kau menjual banyak sepatu tapi tidak mengganti sepatu lamamu.”
Amanda lagi-lagi kesal mendengarnya.
“Diamlah kau tidak tahu apapun, Dam. Kenapa kau peduli.”