Pertemuan Damian dengan Rama berjalan baik. Rama terus mengajak Damian mengobrol, membicarakan tentang lukisan dan gedung galeri tempatnya bekerja.
Damian cukup terkejut mengetahui papa Amanda seorang pelukis, ada banyak hal yang tidak dia ketahui membuat Damian hanya menyimak pembicaraan semalam.
Pagi ini, lelaki itu bangun lebih awal untuk merayu ibunya.
“Dam, tumben hari ini bangunnya nggak perlu ibu bangunin.”
Damian tersenyum dan mengambil tuperware.
“Bu, untuk wanita hamil. Makanan yang cocok agar dia nggak mual di kasih apa ya?” tanya Damian dengan mimik wajah serius.
“Wanita hamil? Kamu mau ngantarin Amanda makanan. Kerumahnya?”
Damian menggeleng.
“Di kantor, Bu. Amanda sekarang masuk bekerja dan jadi sekertarisku.”
Pak Grandi yang baru bergabung pun ikut terkejut mendengarnya.
“Bagaimana bisa, Dam? Bukannya dulu ibu mertuamu melarang keras Amanda bekerja di tempatmu?”
Damian juga bingung soal itu.
“Sudah, sudah. Biar ibu yang siapkan bekalnya, Ibu seneng banget, Dam. Dengan begitu cucu ibu bisa merasakan masakan neneknya.”
Damian dan ayahnya hanya bisa tersenyum.
Lima belas menit kemudian.
“Dam, semuanya sudah siap. Titip salam sama nak Amanda.”
Damian menyalami ibunya, betapa sayangnya wanita itu pada mantan istri Damian.
“Tentu, Bu. Nanti Damian sampaikan.”
Perjalanan menuju ke kantor, Damian memikirkan hal ini semalaman. Lelaki itu membeli buah untuk persediaan. Kata ibunya, buah bisa menetralkan rasa mual. Pilih yang masam atau manis, entah mangga atau apel. Apapun itu biarkan bumil memilihnya.
Tiba di kantor, Damian menjadi pusat perhatian karena banyaknya barang bawaan. Bahkan dia membawa boneka bantal jika sewaktu-waktu Amanda tertidur lagi.
“Selamat pagi, Pak,” sapa beberapa karyawan.
“Selamat pagi.”
Dengan langkah tegap, Damian melewati beberapa karyawan dan masuk ke ruangannya, Amanda tiba lebih awal, wanita itu terkejut saat Damian membuka pintu tanpa permisi.
“Eh, selamat pagi.”
Damian menatap jam, ya, dia telat setengah jam.
“Selamat pagi, em ini titipan dari ibu, semoga kau menyukainya.”
Damian berjalan mendekati meja Amanda dan meletakkan semua barang bawaannya di sana.
“Semua ini untukku? Banyak sekali.”
Amanda mulai membuka tuperware yang berisi dengan bubur.
“Em, sepertinya enak.”
Damian menoleh untuk memastikan. Benarkah? Apa kau yakin.”
“Ya, aku menyukai aromanya. Aku akan sarapan sebelum memulai bekerja.”
Amanda bangkit dan berjalan keluar untuk mengambil sendok, Damian tersenyum samar saat melihat sepatu yang di kenakan Amanda.
Wanita itu tak bersikap keras kepala dengan mengabaikan permintaannya.
Tok tok tok.
“Masuk,” ucap Damian.
Tomi muncul dari sana.
“Aku ingin bicara denganmu, temui aku di ruanganku.”
Wajah tegas Tomi menyiratkan sesuatu.
“Oke, aku akan kesana.”
Damian membawa semua berkas yang telah di kerjakan semalam. Dia sempat berpapasan dengan Amanda saat akan meninggalkan ruangannya.
“Mau kemana? Aku kira kau mau kita sarapan bersama.”
“Aku ada urusan penting, makanlah duluan.”
Amanda menatapnya lekat, Damian menepuk ringan bahunya lalu meninggalkan wanita itu.
Tomi berdiri menghadap jendela saat Damian masuk setelah mengetuk pintu.
“Kau memanggilku, Pak?”
Tomi menoleh dan mengangguk samar, wajahnya tegang dan tampak pucat.
“Ada apa?”
“Duduklah,” pinta Tomi dan menyerahkan berkas pada Damian.
“Apa ini?”
“Baca saja.”
Tomi menghempaskan dirinya di samping Damian sambil memijit pelipisnya.
“Klien kita pindah ke Angkasa corporation, bukankah ini klien penting. Kita sudah bekerja sama hampir lima tahun lamanya. Lalu, kenapa dia berubah haluan?”
Tomi tersenyum miring.
“Angkasa grup adalah perusahaan keluarga Daniel. Aku sudah bilang jika lelaki itu tidak akan tinggal diam, dia bukan orang jujur seperti dugaanmu.”
Damian membuka berkas-berkas itu.
“Oh, klien yang pindah bukan hanya satu melainkan lima.” Kali ini Daniel melotot melihatnya.
Kerugian perusahaan memang tak ada, tapi pemasukan yang telah di pertimbangkan menyendat beberapa kegiatan.
“Ini tak bisa di biarkan, kita harus menemuinya.”
Tomi merampas berkas itu kembali.
“Untuk apa? Dia hanya akan menertawai kita. Aku sangat yakin, Daniel merayu dengan harga miring. Kau tahu kan, klien-klien ini selalu merasa puas dengan pelayanan kita. Tak ada cacat yang membuat mereka harus beralih.”
“Kau benar, tapi bagaimana jika dia mengambil satu persatu klien kita hingga tak ada satu pun yang tersisa?”
Tomi terdiam, perusahaannya tidak ada apa-apanya di banding dengan kerajaan bisnis Daniel.
“Aku tidak tahu, Dam. Aku masih memikirkan ini.”
Lama terdiam, rasa bersalah hinggap di hati Damian.
“Kau mengalami kesulitan karena kami, seharusnya ini hanya tentang aku dengan Daniel.”
Tomi menggeleng tidak setuju.
“Tidak, ini jelas bukan karenamu. Ini karena Amanda. Dia pasti kesal karena mengetahui Amanda bekerja di sini, hanya dengan cara ini dia bisa menekan aku untuk memberhentikannya.”
Damian meremas kepalanya, ancaman ini sangat serius hingga dia memikirkan nasib teman-temannya.
“Lalu, apa yang akan kita lakukan?”
Tomi tiba-tiba menyeringai membuat Damian bergidik.
“Aku tahu caranya, biarkan Amanda menyelesaikan semua ini untuk kita.”
Damian menatapnya lekat.
“Apa maksudmu?”
“Kau akan tahu nanti, oh ya, kau akan ikut dengannya. Kita akan melakukan meeting penting dengan klien-klien tadi. Amanda wanita yang cerdas, kita serahkan semuanya kepadanya.”
Damian tidak mengerti maksud Tomi, tapi dia juga tak dapat menolak titah atasannya itu.
“Kembalilah ke ruanganmu, aku akan meminta Anita membuat janji dengan Angkasa grup.”
“Bukannya tadi kau bilang hanya menemui klien penting saja?”
“Kita tidak akan bisa menyelesaikan masalah jika tak memberantas mulai dari akarnya, Damian.”
“Baiklah, aku mengerti.”
Damian kembali ke ruangannya, dia bersikap pura-pura bodoh dengan keadaan perusahaan Tomi sekarang.
“Kenapa lama sekali? Kau dari mana saja?”
Damian terpaku di tempatnya.
“Tidak ada, aku hanya mengamati tentang klien yang mundur tiba-tiba.”
“Apa?” Amanda yang sedang mengupas apel terkejut mendengar ucapan Damian.
“Kok bisa? Memangnya klien yang mana?”
Damian menggeleng.
“Aku tidak tahu, aku belum memeriksanya.”
Beberapa menit kemudian, telepon di meja kerja Amanda bordering, wanita itu pun langsung mengankatnya.
“Ya, hallo.”
“Oke, tidak ada masalah. Aku sudah siap untuk meeting pertamaku.”
Damian mendengarkan dari jauh.
“Hey, kau meragukan aku, Pak. Percayalah, aku bisa ikut dengan kalian.”
Amanda menutup teleponnya dan bersiap.
“Ada apa?” tanya Damian.
Amanda tersenyum dan bangkit membawakan makanan yang belum sempat di cicipi Damian.
“Kita akan meeting setengah jam lagi, sepertinya klien itu penting karena Pak Tomi mengajukan banding dengan menelusuri kinerja perusahaan kita. Dia sampai mengundang perusahaan lawan untuk adu skill bagian pemasaran.”
Damian takjub mendengarnya.
“Kau sedang hamil, apa sebaiknya kau, … .” Damian menggantung ucapannya saat tatapan mata elang menatap ke arahnya.
“Lalu kenapa? Aku juga bekerja disini, aku tidak datang untuk berleha-leha, lalu menerima uang. Jangan remehkan aku walau aku sedang hamil.”
Deg.
Damian terpaku, pesona Amanda masih sangat kuat.
“Makanlah, aku akan menemui Pak Tomi untuk mempelajari berkasnya.”
Damian mengangguk mengiyakan.
**
Tiga puluh menit kemudian.
Amanda, Damian dan juga Tomi tiba di sebuah gedung nan megah, meeting akan segera dilakukan di kantor salah satu klien yang mundur bernama Pak Handoko. Amanda mengenal kantor itu, keningnya berkerut mengetahui jika klien penting itu memilih berpaling setelah bekerja sama sekian lama.
“Amanda, aku lupa mengatakan satu hal,” ucap Tomi sebelum masuk ke dalam.
“Ya, katakan.”
“Perusahaan yang akan menjadi rival kita adalah, Angkasa grup.”
Amanda tercengang, wanita itu terkesiap membuat Damian dan Tomi tak dapat mengalihkan pandangannya.
“A-anghkasa grup kau bilang?”
Tomi mengangguk pelan.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Damian.
Amanda menoleh menatap penuh arti. Tak lama, sebuah mobil berhenti tepat di samping mereka.
Damian dan Amanda kompak menatap lelaki yang baru saja keluar dari sana.
“Hay, kau di sini juga?” tanya Daniel pada Amanda.
Lelaki itu bersikap santai, dan menjabat tangan Amanda.
“Ah, iya.”
“Wah, itu artinya kita akan berada di ruang meeting yang sama, baiklah kalau begitu aku duluan.”
Tomi menahan amarah di hatinya. Sedang Amanda tampak gusar dan tertekan.
“Jika kau tak sanggup pulang saja, biar aku dan Pak Tomi yang menghadapi ini,” ucap Damian.
Tomi menatap Amanda lagi, berbeda dengan Damian. Tomi justru berharap Amanda mau menghadapi Daniel sebagai rival.
“Apa kau ingin di mobil?” tanya Tomi membuat Amanda semakin bersalah.
Wanita itu berpikir cukup lama, tangannya terkepal. Gugup, tentu saja.
“Aku akan bergabung, bukankah kita tim?”
Seketika Tomi tersenyum bangga.
“Ya, aku suka semangatmu. Ayo masuk.”