"Om... Kalau mau modus jangan sama aku." Merasa aneh dengan tatapan Laki-laki asing di depannya. Linda seketika, berlari menjauh darinya. Meninggalkan Vian yang masih menatap bingung dengan ucapan Linda.
"Meski dia sedikit aneh! Tapi, aku sekalian tertarik padanya. Dia wanita yang tidak mudah di dapatkan juga. Emm... Sepertinya akan lebih menyenangkan bermain dengannya." pikiran kotor Vian mulai memenuhi otaknya. Tidak mengejar wanita itu, Bian tersenyum tipis, kembali berjalan menuju di tempat dia memarkirkan mobilnya.
***
Sementara Linda, dia terus berlari. Hingga sampai tepat di depan pintu rumah temannya. Linda mencoba mengetuk pintunya berkali-kali. napasnya masih ngos-ngosan. Dia mencoba mengatur napasnya sejenak. Wajahnya begitu ketakutan, apalagi saat melihat tatapan menjijikkan baginya.
Linda menoleh ke kanan Dan ke kiri. Dia tidak melihat sama sekali ada orang disana. Seketika Lina bisa menghela napasnya lega. Dia mengusap dadanya, sembari tersenyum.tipis. "Dia Tidak mengikutinya?" gumam Linda.
"Tapi, bentar! Napa aku harus tahu. Lagian, tidak Mungkin juga dia mengikutinya sampai disini." Linda, masih berisi di depan pintu. Hampir setengah jam Linda menunggu temannya yang tak kunjung membuka pintunya. Dia mencoba mengintip dari kaca. Tidak melihat ada tanda kehidupan di dalamnya. Linda, kembali menunggu berdiri di samping pintu. Menyandarkan punggungnya di pinggiran dinding pintu. Sembari menghentikan kakinya.
"Kemana dia? Kenapa dia juga belum keluar dari sini." ucap Linda sedikit kesal. Tidak berhenti dia terus berdesis kesal. Linda mencoba mengambil ponsel dari dalam tas hitam bermerek miliknya. Seorang wanita yang dari semalam tidur di hotel dan keluar jadi gelandangan tanpa baju. Dia hanya bisa menumpang sebentar dengan temannya. daripada pulang dia akan dinikahkan nantinya. Dia merasa jika dirinya sama sekali tidak berenang dengan bayangan hal seperti itu. Kejadian masa lalu yang begitu menyakitkan.
Saat dia berhasil mengambil ponselnya. Linda segera menghubungi temannya. Dengan segera, wanita itu menghubungi temannya. Meski tidak ada jawaban darinya. Linda bisa berdengua kesal. Mencoba mengirimkan pesan padanya. Tidak tahu gimana lagi, dengan terpaksa dia harus menunggu. Linda duduk di depan teras rumahnya. Rasa ngantuk yang masih menyelimuti kedua matanya. Perlahan, mata itu tak tahan, dia mencoba menekankan matanya. Meletakkan kepalanya di atas meja. Dengan lengan tangan kanan jadi tumpuan kepalanya.
"Linda... Kenapa kamu tidur disini?" tanya seorang wanita. Menepuk bahu Linda berkali-kali.
"Eh.. Cika, aku ngantuk. Kamu juga kenapa baru pulang?" tanya Linda, dia mencoba untuk menarik kedua tangannya keatas. Merenggangkan otot tubuhnya yang terasa kaku. Kemudian, ia mengusap kedua mata nya yang masih lengket susah untuk terbuka.
"Cuma.. Kamu tega membiarkan aku diluar. kau coba hubungi kamu, tapi gak di angkat Lalu aku coba kirim pesan tapi kamu tetap saja gak balas." ucap Linda.
"Hehe. Maaf, tadi aku sibuk. Biasa aku masih jalan sama Rico."
"Rico? Jadi kalian..." Linda melebarkan matanya tak percaya.
"Udah, nanti saja di dalam aku akan ceritakan semuanya." Cika mendorong punggung Linda masuk paksa ke dalam rumahnya. "Tapi, kamu cerita, ya. Apa hubungan kamu dnegan Rico. Kenapa kamu tidak cerita padaku sebelumnya." Linda menoleh ke belakang. Tersenyum menggoda Cika.
"Iya.. Iya..." Cuma, tersenyum tipis. Dia beranjak duduk di sofa.
Cika adalah teman Linda yang kini dia terpaksa tidak meneruskan sekolahnya. Dia seorang yatim piatu. Yang harus bekerja untuk membiayai dirinya sendiri. Dia memilih untuk bekerja di dekat rumahnya. Faktor uang yang jadi penghalang. Cuma teman sekolah Linda dari dia SMP. Sampai sekarang mereka masih tetap berteman. Hanya dia temannya yang tulus. Dan, semua temannya palsu. Hanya dekat saat dia punya uang. Entahlah jika keluarganya tidak kaya. Mungkin sama saja, Linda akan di kucilkan.
"Linda... Ada apa kamu kemari?" tanya Cika.
"Cuma... Aku boleh menginap sama kamu." Linda memasang wajah sedihnya.
"Memangnya kamu mau tinggal dirumah kecil seperti ini. Rumah ini tidak seberapa dnegan rumah mewah kamu."
"Aku tidak peduli. Aku lagi marah sama orang tuaku. Jadi, aku kabur dari rumah. Lagian, mereka tidak pernah sama sekali memanjakan aku. Aku Tidak pernah dapat kasih sayang dari mereka." Linda mengerutkan wajahnya. Dia merasa tidak harus bilang tentang masalahnya pada Linda. Dan, memilih untuk tetap diam. Mencari alasan atas semua pertanyaannya.
"Apalagi aku, aku juga tidak punya siapa-siapa. aku hidup sendiri. Aku merasa dunia ini tidak adil padaku. Tapi, sekarang aku sudah mulai terbiasa."
"Tapi.. Aku boleh ya,, tinggal sama kamu. Hanya 1 bulan saja gimana?" ucap Linda mengetikkan matanya berkali-kali.
"Baiklah! Tidak masalah, buat aku. Tapi... Aku juga tidak punya uang. Jadi, kita cari kerja sendiri. Apa kamu mau bekerja?" tanya Cuma. Linda terdiam sejenak, meski sempat ragu. Tetapi, dia tidak punya pilihan lain Sekarang.
"Baiklah, ku akan kerja. Tapi, kamu bantu aku cari kerja, ya?" ucap Linda. Tersenyum meringis menunjukan gigi putihnya.
"Iya. Iya. Kau akan bantu kamu. Udah, sekarang aku ajak kamu bereskan barang kamu di kamarku. Tapi, jemarinya kecil. Kamu bisa bagi dua nanti denganku."
Linda hanya diam meringis menunjukan giginya. "Kenapa kamu senyum seperti itu? Jangan bilang kami tidak punya baju?"
"Hehe.. Ita. Itu kamu tahu. Aku pinjam baju kamu, ya?"
****
Sementara berbeda dengan Vian. Dia kembali pulang ke rumahnya saat dirinya berhasil bertemu dengan Linda. Tetapi, tidak bisa dekat dengannya. Awal pertemuan yang membuat dia harus mengejarnya. Sepertinya dia wanita yang memang susah sekali didapatkan.
Rumah mewah berwarna putih, dengan bangunan klasik tampak begitu merahnya. Keluarga jordan masih berkumpul menunggu kedatangan Vian. Saat pintu mulai terbuka, dia berjalan dengan langkah cepat. Melepaskan jas hitam miliknya, memberikan pada pelayan yang kini berbaris rapi di sampingnya. Menyambut kedatangannya.
"Tuan, maaf. Tuan besar Jordan ingin bicara dengan anda." ucap salah satu pelayan berlari kecil ke arahnya. Berhenti, dan tertunduk di depannya.
"Dimana dia?" tanya Vian sedikit tidak suka. Halaman napasnya mengisyaratkan jika dia bosan dengan pertemuan yang mereka tanyakan hanyalah pasangan dan pasangan.
"Di ruang keluarga. semua sudah berkumpul disini.," jawab sang pelayan.
Sudah aku duga. Mereka pasti berkumpul lagi." Vian menghela napasnya. Tanpa banyak bicara lagi, dia mulai berjalan menuju ke ruang keluarga. Langkah kaki ringan, dengan tangan melipat lengan panjang kemejanya bergantian. Wajah tampan itu terlihat semakin menggoda Bahkan para pelayan saja kagum melihat wajahnya. Apalagi wanita muda, mereka semua berebut Hanya untuk menjadi teman kencannya.
Rambut yang masih terlihat sangat rapi. Dan, kemeja terbuka dua kancing atas. Terlihat sedikit d**a bidangnya.
"Ada apa?" tanya Vian, semua keluarga menatap ke arahnya. Kedua mata mereka terlihat menyorot tajam ke arahnya.
"Darimana saja kamu?" tanya Tuan Jordan, bangkit dari duduknya.
"Memangnya ada apa?" tanya Vian, dengan banyaknya dia duduk di sofa tepat di depan tuan Jordan. Dia tersenyum tipis menyapa beberapa keluarganya.
"Aku tanya, kamu dari mana?" tanya Tuan Jordan meninggikan suaranya.
"Mencari seorang wanita." ucap Vian, menarik kedua alisnya ke atas. Dengan santai dia melayangkan senyuman. Membuat tuan Jordan semakin geram. Bukanya takut Dengan ayahnya. Vian, menyandarkan punggungnya di sofa. Tangan kanan di atas sofa. Dia tersenyum melihat ke arah Tuan jordan tanpa beban. Atau rasa bersalah terlintas di pikirannya.
Tuan Jordan menarik napasnya dalam-dalam, mencoba untuk tetap tenang jika berhadapan dengan Vian. Apalagi dia punya riwayat jantung.
"Kenapa hidup kamu selalu saja wanita wanita dan wanita.. Sampai kapan kamu akan berhenti bermain wanita. Lihatlah semua berita surat kabar foto kamu dengan banyak wanita. Apa kamu tidak malu.." pekik tuan Jordan. Melemparkan Saturday Bush surat kabar repeat di atas meja depannya.
Vian menatap sekilas foto dirinya dengan wanita lain terpapang jelas di surat kabar.
"Kenapa aku harus malu. Lagian, aku melakukannya dengan diriku sendiri. Dan, aku hanya bersenang-senang dengan mereka."
"VIAN..." Teriak tuan Jordan.
"Kamu sudah tua, lebih baik sekarang kamu menikah. Kami tidak mau jika kamu masih saja bermain wanita. Papa akan cabut semua perusahaan yang atas nama kamu." pekik Tuan Jordan tegas.