Awal
Di Kampus Wisma. Seorang wanita cantik, berambut ombak. Dengan lesung pipi di pipi kirinya. Sedang berjalan dengan santainya menuju ke kampus.
"Shiitt.... Sepertinya aku lupa sesuatu tadi." gumamnya.
"Hai.. Linda.. Kamu masih di sini?" tanya Rico. Berjalan menghampiri Linda. Memeluk pundaknya, mengejutkan wanita di sampingnya itu.
Linda mengerutkan keningnya bingung.
"Memangnya, ada apa?" tanya Linda memutar matanya melirik Rico bingung semakin bingung melihat ekspresi wajahnya yang berbeda.
"Ada senior yang mencarimu katanya dia ada perlu denganmu." kata Rico. Menghela napasnya. Dari ekspresinya Dia terlihat menyesal telah memberi tahu temannya itu.
"Perlu? Denganku?" tanya Linda memincingkan matanya, mencoba memastikan, sembari menunjuk dirinya sendiri. Dan di jawab anggukan oleh Rico.
"Siapa?" tanya Linda lagi.
"Biasa, si tukang senior, yang selau membuat rusuh." ucap Rico.
"Oo… wanita itu. Mau apa lagi dia. Apa dia mau cari gara-gara lagi padaku." Linda nenarik sudut bibirnya sinis.
"Iya.. Katanya, memang ada satu hal yang di bicatakan padamu."
"Baiklah, aku akan ke sana." ucap Linda tanpa rasa takut. "Di mana dia sekarang?" lanjutnya.
Rico menghentikan langkahnya. Ia menunjuk tepat di arah parkiran kampus.
"Di sana." ucap Rico.
"Aku akan ke sana duku. Kamu bawa tasku dan bukuku ke kelas. Dan jangan sampai satupun ada yang hilang." kata Linda mengingatkan.
"Iya, Linda, Sayang. Tenang saja." Rico mencubit pipi Linda gemas. Dan segera berlari menjauhi Linda. Sementara Linda masih diam Menatap tajam ke depan. Dalam satu tarikan napasnya. Linda mulai memberanikan dirinya lagi melangkah menuju ke parkiran kampus. Ke dua matanya tertuju pada 3 wanita yang berdiri menyadari di body mobil. Dengan tangan bermain rambut panjangnya. Sembari mengunyah sesuatu. Entah, apa yang mereka kunyah.
"Kenapa kamu baru datang. Lambat sekali kura-kura kecil ini kalau jalan." sindir salah satu wanita di depannya.
Linda menarik sudut bibirnya dunia.
"Jangan basa basi. Apa yang ingin kamu katakan padaku?" tanya Linda.
"Aku tidak mau basa basi padamu. Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu."
"Iya. Karena hanya aku yang tahu kamu sebagai wanita panggilan. Jadi, ya aku membantumu."
"Jaga mulutmu. Aku tidak pernah sama sekali bermalam dengan laki-laki." geram Linda.
"Haha.. Mana mungkin wanita seperti kamu. Tidak pernah tidur dengan laki-laki." mereka bertiga tertawa kompak.
"Oo.. Mungkin hanya menemani makan, minum, terus tidur." sindir sinis wanita di depannya.
"Terserah kamu mau bilang apa. Sekarang, jika tidak ada lagi yang di bicarakan aku pergi." Ke dua kaki Linda sudah mengancang-ancang untuk melangkah. Tetapi, langkahnya terhenti saat ia merasa berat di punggungya. Wanita itu menarik tasnya. Memasukan sesuatu di dalam tasnya. Lalu mendorongnya ke depan. Hingga tesungkur di bawah.
Tiga orang wanita itu tertawa begitu senang melihat penderitaan yang di alami. Linda mengepalkan tangannya. Ia memejamkan matanya sejanak. Menahan emosi yang mulai membakar sekujur tubuhnya. Linda mengusap keringat yang sudah menumpuk di dahinya. Dia beranjak berdiri. Menarik selempang tasnya lembih merapat di punggungnya.
Lalu mengusap sekujur tubuhnya , membersihkan sisa debu yang menempel. Sebelum melangkahkan kakinya pergi. Tanpa banyak bicara lagi Linda. Mengabaikan setiap sindiran dan ucapan yang di lontarkan padanya.
"Eh… Murahan.." panggil wanita itu.
"Kamu mau pergi kemana?" Tak di gubris sama sekali oleh Linda. Membuat mereka bertiga geram.
"Sialan! Ternyata dia mengabaikan kita." gertaknya kesal.
"Biarkan saja. Kita sudah membuat dia terjerumus ke dalam dunia malam. Lihat saja beberapa bulan ini. Aku yakin akan ada berita heboh di kampus kita." kata Bella. Melipatkan ke dua tangannya di atas dadanya. Sembari tersenyum licik menatap setiap langkah Linda. Yang sudah semakin jauh dari pandangan matanya.
Bella adalah kakak kelas yang tidak pernah suka dengan Linda. Karena kalah saing. Linda wanita yang du sukai banyak laki-laki. Dan termasuk sugar daddy. bahkan dia selaku menang darinya. Membuat Bella merasa tersingkir. Dan dia juga yang diam-diam merencanakan sesuatu untuk menghancurkannya.
***
Linda menekuk wajahnya. Berjalan masuk ke dalam kelasnya. Tanpa banyak bicara. Wajahnya terus tertunduk. Dan duduk di kursinya. Meletakkan tasnya di atas papan kecil kursinya.
"Linda… Gimana? Apa yang mereka katakan padamu?" tanya Riko penasaran. Dia menarik duduknya lebih dekat dengan tempat duduk Linda.
"Lupakan saja. Mereka selalu cara gara-gara denganku." Linda menbuka reslesting tasnya. Mengambil buku. Lalu menaruk tasnya di bawah kursi.
"Memangnya apa yang mereka lakukan padamu tadi?" tanya Riko penasaran.
"Jangan bahas itu lagi." tajam Linda.
Melihat tatapan mengerikan di matanya.
"Baiklah.. baik…"
"Sudah sekarang fokus. Dosen sebentar lagi datang." decak kesal Linda.
Rico melihat sekujur tubuh Linda yang terlihat kotor. Ke dua matanya tertuju pada lutut Linda. Iya, lutut itu berubah memerah. Dengan darah segar sudah menumpuk di lututnya.
"Linda… Kamu terluka?" tanya Rico panik. Ia bangkit ari duduknya. Menyingkirkan kursinya sedikit ke belakang. Ia duduk meraih kaki Linda. "Jangan pegang-pegang aku." decak kesal Linda menarik kakinya lagi.
"Kakiku baik-baik saja. Hanya luka kecil. Jadi jangan terlalu di perdulikan aku." geram Linda. Tetapi, Rico tidak perduli. Dia mengambil sapu tangan di lalu kemejanya. Menarik kembali kakinya. Lalu menali sapu tangan itu di lutut tempat goresan luka.
Linda tertergun. Ia melihat setiap gerak-gerik Rico yang selalu perduli dengannya. Meski terkadang dia jutek padanya. Tapi, Rico tetap jadi sahabat terbaiknya.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Linda.
"Sudah, hanya ini yang bisa aku lakukan. Nanti setelah jam pelajaran kita sudah selesai. Ikut aku ke uks." ucap Rico tersenyum tipis. Ia mengusap sapu tangan di lutut kakinya.
"Aw-- sakit!" rintih Linda.
"Katanya tadi tidak sakit?" Rico tersenyum tipis. Ia kembali duduk di depannya.
Linda yang memalingkan wajahnya malu. Mulai menatap ke depan. "Sudah, ada dosen datang." gumam Linda.
***
Setelah pulang dari kampus. Linda berdiam sendiri duduk santai di sofa. Seperti biasanya rumahnyaterasa seperti kuburan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Linda merentangkan ke dua tangannya di atas sofa. Sembari menghela napasnya kesal.
Mengerutkan bibirnya, memikirkan orang tuanya yang tidak pernah pulang sama sekali.
Di rumah besar milik Linda. Wanita cantik itu hanya diam saja. Termenung di atas balkon kamarnya. Pikirannya mulai bimbang. Dia ingin sekali mencurahkan isi hatinya pada ke dua orang tuanya. Tapi, tidak ada yang ada di sisinya saat ini. Dia hanya sendiri. Di rumah besar itu sendiri. Tanpa ada teman sama sekali. Hanya Bi Inem yang selalu ada menemaninya saat ini.
Dia juga sudah menganggap bi Inem sebagai ibunya sendiri. Air mata perlahan menetes membasahi pipinya. Saat bibir tidak mampu mengucapkan kata-kata lagi. Wanita cantik dengan balutan bedak tipis itu terlihat begitu sedih.
Dia selalu kesepian. Orang tuanya jarang sekali pulang. Sekali mereka pulang. Mereka selalu berantem. Membuat Linda merasa tidak betah di rumah. Tapi, kali ini. Dia merasa ingin sekali di rumah. Merenung apa yang terjadi pada dirinya sendiri.
"Non, Linda. Sekarang waktunya makan." ucap Bi Inem. Berjalan masuk ke dalam kamarnya.
"Bi Inem saja yang makan." ucap Linda malas.
"Non, tapi sejak tadi pagi. Non Linda belum juga makan." Bi Inem membujuk.
"Apa mama dan papa sudah pulang?" tanya Linda. Membalikkan badannya. Dengan pinggul menyandar di besi pagar balkon.
Bi Inem menghela. "Belum non," jawabnya tertunduk.
"Aku yidak akan makan jika mereka berdua tidak ada di sini." ucap Linda kesal. Wajahnya terlihat sangat kecewa. Ia membalikkan badannya lagi. Menatap ke arah taman rumahnya.
"Bi, jika aku pergi dari rumah. Apa mereka akan perduli denganku?" tanya Linda. Sontak membuat bi Inem mengangkat kepalanya.
"Memangnya, non. Mau pergi kemana," tanya Bi Inem.
"Entahlah, Bi. Tapi aku tidak tahan lagi. Aku hidup di rumah besar ini sendiri. Benar aku terlahir sebagai anak orang kaya. Tapi, aku sama sekali tidak pernah merasakan cinta dari ke dua orang tuaku. Begitu kebahagiaan. seperti teman aku lainya." Linda menyeka air matanya. Menatap bi Inem.
"Bi, apa papa dan mamaku masih perduli denganku? Jawab jujur Bi. Apa mereka akan mencariku? Apa mereka akan khawatir padaku?" tanya menggebu Linda.
"Non…."
"Bi.. Aku mohon, jawab jujur."
"Saya, tidak tahu non." Bi Inem tertunduk takut.
"Apa saat mereka pulang selalu tanya kabarku? Apa mereka selalu mencariku di mana?" tanya Linda lagi.
"Tidak, non." jawab Bi Inem.
Tubuh Linda lemas seketika. Ia menarik kursinya dan segera duduk. Menyeka air mata yang tak hentinya terus mengalir begitu derasnya. Dan menciba untuk menenangkan dirinya.