4.2

1028 Words
Jangan tanyakan kenapa Dafka bisa duduk di ruang keluarga milik mantan pacarnya, karena dirinya sendiri bahkan tidak tau. Apa karena ia merindukan mantan? Atau hanya ingin meyakinkan diri bahwa malam ini ia tidak akan menemukan Bian di rumah karena pasti si b******k Adri sudah mengajaknya jalan. Erwin Chavali mengundangnya untuk makan malam dan juga menonton pertandingan bola yang akan berlangsung jam dua dini hari. Satu Alasan yang Dafka tau pasti kenapa dirinya datang ke rumah ini adalah ia yang tidak bisa menolak apapun permintaan dosen favoritnya itu. Kemudian di sinilah Dafka termenung setelah tanpa pernah menyangka ia akan menemukan Bian dengan piyama bergambar panda kebesaran  dan laptop di atas paha. “Ka.. ayo.” Dafka menoleh pada pria yang anak-anak ekonomi panggil dengan sebutan Papa, ia tersadar telah menatap lama pada gadis yang entah kenapa terlihat seksi hanya dengan mengenakan piyama panda. Kenapa baru hari ini Dafka mendapati pemandangan tersebut? “Kita makan tanpa Bian saja ya? Anak itu sedang menjelajah semua situs dating online,” ucap Erwin memimpin jalan menuju meja makan. Memesan makanan melalui aplikasi go food tampaknya memang kebiasaan para pria tanpa istri. “Hah?” Dafka merasa ingin tertawa mencemooh mantan pacarnya itu, bukankah Adri cukup untuk orang seperti Ralin Abriana Chavali? Namun demi menjaga rasa hormat pada pak Erwin, Dafka menahan tawanya sampai yang tersisa di wajahnya saat ini hanya ekspresi kaget dan seolah-olah cukup penasaran. “Putri Papa itu.. sedang mengalami putus cinta pertamanya,” kekeh pak Erwin sementara Dafka lebih dari tercengang saat ini, mana mungkin? Jadi Dafka pacar pertama Ralin? Atas dasar apa ia disebut sebagai pacar pertama coba. “Papa ngaco ah.” “Bian menghabiskan masa remajanya dengan dua hal, pertama bermain dengan almarhum Abangnya dan kedua dengan meratapi kepergian Abangnya, jadi siapapun yang menjadi pacar Bian beberapa bulan ini, Papa berterima kasih karena dia sudah sudi memacari anak itu.” “Sebenarnya apa yang ada di kepala anda eh, Papa profesor?” tanya Dafka  tidak mengerti. Terimakasih? Bukankah harusnya beliau membuat perhitungan dengan mantan pacarnya Bian karena telah mematahkan hati putri satu-satunya? Namun begitu Dafka tetap mengambilkan nasi dan lauk untuk Pak Erwin. “Tentang terimakasih?” tanya Erwin tersenyum pendek. Erwin Chavali memulai acara makan malam mereka dalam diam, menyisakan kebingungan di benak Dafka. Suasana damai makan malam antara dosen dan mahasiswa itu rusak oleh teriakan Bian dari ruang keluarga. Si anak gadis menyampaikan sesuatu dengan cara berteriak. “Pa, orang-orang disini ga ada yang sesuai sama kriteria aku,” begitu teriakannya yang membuat Erwin terbatuk. “Anak itu.. yang pakai headset dia, kenapa pula dia yang berteriak sekencang itu??” “Maksudnya, Pa?” tanya Dafka tidak mengerti. Tampaknya malam ini ia mulai menyadari bahwa banyak hal yang tidak ia mengerti tentang Bian dan Papanya. “Dia pasti menyetel volume tinggi untuk lagu-laguan ga jelasnya,” jelas Erwin kesal, sudah ribuan kali ia mengingatkan Bian untuk menjaga indra pendengarannya dan ribuan kali pula Bian selalu membangkang. “Pa!!! Sudah Bian putuskan! Papa siap-siap ya bacain ijab kabul sama Bang Bima. Entar Bian rebut Bang Bima dari calonnya,” mendengar teriakan kedua tak hanya Erwin yang kemasukan nasi di hidungnya, Dafkapun sama. “Habiskan makananmu ya, Ka. Papa harus bicara sama putri Papa,” ucap Erwin Chavali tegas. Entah kenapa Dafka merasa kali ini Bian akan dapat masalah besar dan, “Siapa itu bang Bima?” tanya nya pada hantu yang berkeliaran di sekitarnya. >>>>  Dimarahi di depan mantan pacar sendiri terutama yang menyebabkanmu dimarahi benar-benar hal yang konyol adalah salah satu bentuk bunuh diri. Kau akan dipandang aneh oleh mantanmu dan yang paling parah adalah dia akan menganggapmu begitu putus asa pasca putus dengannya. Itu yang saat ini Bian rasakan. Dari mana, bukan, maksudnya dari kapan Dafka berada di rumahnya? Yang benar saja, kenapa dia harus ke rumahnya? Apa Dafka belum selesai dengan segala niatnya terhadap Bian? “Mengerti, Ralin?” “Engga”, inilah pilihan Bian, dibanding basah setengah tubuh, lebih baik ia kuyup sekalian. “Pa.. Papa tau apa yang orang-orang tua katakan mengenai jodoh? Kemiripan,” ucap Bian mulai bernarasi. “Aku sama Bang Adam punya beberapa kemiripan tapi karena kami sedarah, aku ga bisa nikah sama Bang Adam.” Bian begitu semangan menjelaskan poin pertama. “Kedua, jika Bang Adam masih ada mungkin aku hanya akan menempeli Abangku seumur hidupnya. Tapi Abang sudah ga ada dan sekarang ada win-win solution, Bang Bima mirip dengan Abangku yang artinya Bang Bima mirip dengan aku. Jadi artinya kami berjodoh.” “Bian.. Jangan menambah kekacauan keluarga itu. Kakakmu sudah lari entah kemana dan kamu hanya akan membuat semuanya menjadi tidak berbentuk,” mohon Erwin pada putrinya yang mulai bertingkah seperti sang Kakak. Bian kadang memang lihai sekali menyalin tingkahnya Uci. “Apanya yang lari kemana? Satu-satunya tempat kak Uci untuk lari ya Bang Adam,” ucap Bian kesal, ia berusaha mati-matian terlihat biasa saja di depan Dafka yang saat ini menatapnya dalam diam. Tapi tenang, Bian tidak menoleh pada pria itu. Sedikitpun tidak. “Apa maksud kamu, Nak?” tanya pak Erwin dengan nada penuh tanya juga ada rasa cemas untuk Uci. “Ya gitu.. Memang benar kalau orang pertama yang akan kak Uci cari adalah Bang Raka. Tapi hanya sampai disana, Pa. Karena tempat teraman bagi Kakak adalah Abangku. Apa lagi yang kurang jelas? Bukannya Papa sudah mengenal calon menantu Papa bertahun-tahun?” ucap Bian terdengar sombong karena ia lebih mengetahui banyak hal tentang Kakak dari sang Papa. Sementara Dafka yang tidak pernah mendengar Bian bicara sepanjang ini juga topik yang sedang dibahas menjadi cukup tertarik. “Sudah kamu pastikan, Nak?” “Sudah, Bang Raka sendiri yang mengantar Kakak ke Abang, dan Papa tidak perlu berlebihan dengan langsung meraih hape. Bang Raka sedang berada di rumahnya saat ini, menantu Papa tidak akan diapa-apakan,” ucap Bian kesal mendapati gelagat Papa yang langsung terbaca olehnya. “Jangan mengucapkan kata ‘menantu Papa’ lagi!” ucap Erwin tidak suka. Putranya sudah tidak ada di dunia ini jadi ia tidak akan menahan Uci. Ia sayang pada Uci dan melihat gadis itu berumah tangga adalah harapan besarnya saat ini selain Bian yang bisa lulus dengan nilai bagus dan mendapat pekerjaan yang anaknya itu inginkan. “Kenapa? Buktinya Bang Reza memang tidak pernah mampu menempatkan Kak Uci sebagai menantu di keluarganya, karena Kak Uci menantu keluarga kita, bukan begitu Bang?” tanya Bian menoleh ke foto Abangnya. Belum selesai sampai di sana, Bian kembali bicara. “Pa.. tidak usah ikut campur lagi soal siapa yang akan menikahi Kakak. Karena, Pa, selalu ada pihak yang dicampakkan dan mencampakkan. Dan Bang Reza sudah mengambil posisi sebagai yang dicampakkan, sayangnya ia tidak sadar diri. Harusnya kaya aku dong, move on,” ucapnya sebelum masuk kamar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD