4.3

1043 Words
Suasana jalan sangat sepi karena saat ini sudah tengah malam, jalanan menjadi sangat licin akibat hujan yang turun tak ada hentinya. Keadaan jalan yang rawan karena sering terjadi longsor dan bahkan jembatan yang putus tidak membuat Reza mengurungkan niatnya untuk menemui Uci. Tampang Reza saat ini sama sekali datar dan ada sorot kejam yang samar. Kedua tangan pria itu memegang stir dengan erat sampai urat tangannya terlihat jelas karena ia menggulung lengan kemejanya sampai lengan atas. Sesekali ia akan memukul stir saat ban mobilnya slip. Reza bahkan meneriaki para warga yang membersihkan jalan dari pohon tumbang. Beberapa jam yang lalu setelah mengantarkan Hanum pulang, Reza mendapat telfon dari calon Abang iparnya, Bang Edo, dan diminta utuk segera menemuinya. Reza kira apa yang ingin pria beranak satu itu katakan, ternyata hal yang benar-benar membuatnya ingin mengamuk. Uci kabur dari rumah, perempuan itu melarikan diri tepat sebelum ia dan keluarganya datang untuk acara lamaran. Apa gadis itu kira keluarga dan perasaan Reza adalah lelucon? Reza tidak bisa membiarkan semua tetap begini. Uci akan selalu membuat Reza berada disekitarnya, tunggu dulu itu bukan hal yang bagus karena dengan adanya penolakan halus yang selalu gadis itu berikan membuat mereka tetap pada jarak yang gadis itu inginkan. Jarak normal versi Lucy Adelina, terlalu jauh untuk teman dekat dan terlalu dekat untuk sekedar teman. Uci bisa melakukan hal itu karena ia tau bahwa Reza mencintainya. Tapi tidak, Reza tidak sanggup untuk terus-terusan mengikuti permainan Uci. Sibuk dengan kecamuk di kepalanya, seberkas sinar terang menyorot kaca depan mobil yang dikendarainya dan kemudian yang Reza mampu dengar hanyalah suara benturan keras dan pengaruh grafitasi bumi yang menurun dengan cepat. >>>> Segila apa menurutmu laki-laki paruh baya yang Raka panggil dengan Bapak semenjak ia bisa bicara diumur dua tahun? Segila anaknya. Saat ini Raka duduk di depan pagar rumah tempat di mana banyak orang-orang berlalu lalang, dengan sebuah pena dan beberapa lembar HVS yang dijepitkan pada papan. Papan yang selalu ia bawa saat musim ujian dulu. Di sampingnya ada segelas kopi hitam yang masih mengepulkan asap. Siapa yang membuatkan? Bapak. Sekarang pertanyaannya adalah apa yang Raka lakukan saat ini? Sudah satu setengah jam si anak semata wayangnya Bapak menanyai anak-anak gadis kampungnya yang memang sengaja berseliweran di depan rumah Raka. Bukan bermaksud sombong, Raka memang pemuda yang selalu dinanti-nantikan kepulangannya oleh manusia berjenis kelamin perempuan di lingkungan tempat tinggalnya itu. Raka akan melontarkan pertanyaan seperti: ‘kamu mau aku tidurin ga? Bapakku pengen cucu nih,’ pada perempuan yang tampak kampung sekali. Untuk mereka yang tampak lebih terupgrade, Raka akan menggunakan ‘kamu mau b******a sama aku? Dan biarin benih aku hidup di rahim kamu?’ Kemudian cewek yang tampak modis akan ia minta dengan ‘do you wanna have s*x with me? But with condition that you must bear a human for me,’ banyak di antara cewek-cewek itu yang langsung lari –niatnya sih ingin menampar tapi karena ketampanan tiada tara Raka, mereka jadi tidak tega meskipun kata-kata pria itu kurang ajar sekali –ada pula, sedikit sekali jika dibandingkan dengan yang sebelumnya, mereka yang menunjukkan respon positif dan yang paling membuat malam dengan sisa-sisa hujan itu meriah adalah u*****n yang para perempuan modis dan modern tujukan pada Raka. Itulah kenapa Bapak Baron dengan senang hati membuatkan sang anak segelas kopi panas, ‘u*****n dan sumpah serapah yang bakal lu terima akan lebih pas dengan segelas kupi,’ begitu cibir sang Bapak. “Kapan sampai lo?” tanya seorang yang Raka kenal dari zaman keliling kampung dengan hidung meler. “Ohhh Frandaaaaa,” ucap Raka membentangkan kedua lengannya, kali saja Franda ingin bersandar pada d**a bidangnya. “Masih sakit lo ya, Ka,” kekeh Franda yang kemudian mendekat. “Wahhh bisa juga ya lo, Ka? Gue rencana mau beli satu rim HVS buat stok list cermerlang lo itu,” teriak pak Baron dari beranda rumah. “Gue ga akan tanya lo pakai pengaman apa engga,” ucap Raka setelah meneguk kopi buatan Bapak yang aduhai sekali rasanya, bahkan lebih waw dari buatan Ibu. Ia benar-benar mengabaikan kalimat entah pujian atau sindiran Bapaknya. “Maksud lo?” “Ovarium lo masih aktifkan? Maksud gue masih memproduksi ovumkan?” “Paakkk.. anak lo mulutnya minta dibelenggu nih!” teriak Franda kesal setelah terlebih dahulu merebut pena di tangan kanan Raka dan menekan kuat pada paha teman SMP nya itu. “Emang sakit itu mulut, pasung aja, Nda,” sahut Bapak senang mendengar erangan kesakitan anaknya. Raka mengusap pahanya dan menatap garang pada Franda, ia merebut paksa penanya kembali dan melempar jauh benda sialan itu, “Lo mau ditidurin sekarang ya? Gue bisa aja ngasih tontonan buat satu kabupaten,” ucapnya sambil menarik kerah kemeja kebesaran Franda, persis seperti dulu saat keduanya terlibat perselisihan. Namun kemudian keduanya terdiam karena Raka mendapati bahu mulus dengan satu tali tipis yang menggantung disana serta tonjolan di permukaan d**a teman kecilnya itu. Sementara Franda terdiam karena mengetahui apa yang Raka lihat saat ini. “Jangan bilang kalian udah mulai, gue teriakin warga nih, ya,” teriak Bapak yang tidak lagi mendengar suara keduanya. Franda dan anak gilanya sekarang terlihat dalam pose berbahaya dan saling tatap-tatapan. Tidak bisa dibiarkan. “Sampai kapan lo mau pegangin baju gue? Kalo lo segitu sukanya sama baju ini gue bisa buka dan kasih...” “Eng- engga, engga!” Raka gugup ia mengemasi alat tulis dan cangkir kopinya kemudian segera membuka pagar. Franda pun sama, ia berdiri memperbaiki bajunya seperti semula dan segera membelakangi Raka. “Lo pernah dengar ga, Ka?” “A- appa?” Keduanya dalam posisi saling membelakangi dalam jarak beberapa meter dan di pisahkan oleh pagar rumahnya pak Baron. “Kalo orang yang banyak omong kaya lo.. sebenarnya orang paling ga tau apa-apa soal yang dia omongin,” ucap Franda dengan nada cemooh. Raka berbalik dengan mata melotot, “Apa barusan? Lo bilang kalo gue..” Raka tampak kesulitan bernapas, kemudian dengan kesal ia mengusir Franda dan melarang cewek itu melewati rumahnya selagi Raka ada di sana. Raka masuk ke rumahnya dan Franda pergi dari sana setelah keduanya membuang muka. Dan yang tidak mereka sadari adalah saat ini keduanya sama-sama merah padam. Raka malu karena tidak sengaja melihat aset teman tomboynya yang ternyata benar-benar perempuan, jauh sekali dari yang dulu saat mereka bermain layangan. Jika ada yang mengatakan pada Raka bahwa Franda melakukan implan maka ia akan percaya dengan orang itu. Sedangkan Franda malu sampai rasanya jantungnya berdetak tidak karuan. Jika saja Raka bukan teman bermainnya maka ia sudah pasti akan lari, namun ini si dekil Raka yang selalu ia ajak bolos zaman sekolah dulu, maka ia harus berpura-pura seolah hal tadi bukan masalah besar untuknya. “Arrrghhh... gue sumpahin lo ga dapat bini!!!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD