3

1109 Words
Seorang gadis berhoodie abu-abu yang kebesaran dengan tulisan “I’m the BOSS” memasuki moccaffe dengan tampang bingung, seperti sedang berpikir keras. Tampang yang baru-baru ini di dapatnya karena mengetahui kemungkinan apa yang sudah tersembunyi lama di antara Kakaknya, Lucy Adelina dan Raka Aditya Orlando. Perpaduan abu-abu muda dan peachpuff menambah kesan lembut pada penampilan Bian, hanya saja ekspresi berpikir keras tidak cocok untuknya. Aroma berbagai jenis kopi yang lembut langsung menyerang indra penciuman Bian. Ia menyingkir agar tak menghalangi jalan kalau-kalau ada pengunjung cafe yang ingin keluar ataupun masuk, lalu menyapukan matanya pada tiap sudut. Selain aroma kopi, kombinasi kayu meranti merah muda, pencahayaan yang tidak terlalu redup dan dekorasinya yang apik menambah kenyamanan bagi para pengunjung terlebih untuk gadis yang telah duduk di tempat favoritnya itu. Take all of your wasted honor Every little past frustration Take all of your so-called problems Better put ‘em in quotations Say what you need to say Say what you need to say Say what you need to say Say what you need to say Say what you need to say Say what you need to say Say what you need to say Say what you need to say Walking like a one man army Fighting with the shadows in your head Living out the same old moment Knowing you’d be better off instead If you could only..                            Musik instrumen yang di dengarnya sesaat setelah masuk yang berganti dengan say-nya John Mayer kemudian sapaan barista yang dikenalnya membuat gadis bernama Ralin Abriana Chavali itu mencebikkan bibir kesal. “Jilbab model baru ya, Sa?” begitu kalimat yang dilontarkan oleh Reynald, barista sekaligus senior di kampus Bian karena gadis itu menutupi kepalanya dengan tudung hoodienya. Di depan Bian yang menunjukkan wajah sebalnya Re terkekeh karena sangat tahu kalau juniornya itu tidak terlalu suka dengan nama yang dipanggilnya barusan. Ketimbang memanggil juniornya ini dengan gelar bawaan sejak SD yaitu Racun tikus, Re lebih suka memanggilnya dengan bisa. Mulut Bian memang memiliki bisa mematikan sih. “Meski aku juniormu bukan berarti kau bisa mengabaikan jobdescmu kan, Bang? Lagian ga usah ngurusin orang lah,” ucap Bian setelah sebelumnya menunjuk Adri di meja ujung. Dirinya memang lebih sering terlihat memakai jilbab tapi bukan berarti ia gadis alim. Bian hanya berusaha menjadi baik meski perlahan. Mungkin masalah krusial tentang Kakaknya, yang jika takdir berkata lain sang Kakak pasti sudah menjadi Kakak iparnya bahkan sekarang bisa saja ia sedang menimang keponakan, membuatnya tak kuasa menyematkan pentul di jilbabnya atau dia kehabisan stok jilbab bersih. Bian tidak tau mana alasan yang benar kenapa ia tidak mengenakan jilbabnya hari ini. “Baiklah. Selamat datang di moccaffe, disini kami menyediakan minuman olahan kopi, s**u dan buah terbaik asli Indonesia. Juga berbagai jenis cakes,” ucap Re sambil menyodorkan menu pada adik tingkatnya itu tak lupa senyum yang menjadi syarat utama saat berhubungan dengan pelanggan. “Cappuccino dengan ekstra steamed milk satu,” ucap Bian tanpa menoleh pada Re, membuat seniornya itu memberikan tatapan mengancam. Untuk apa memberikan menu jika tidak akan dimanfaatkan? Begitu pikirnya. “Kau lupa aku siapa ya?” dengus Re sebelum meninggalkan meja Bian. “Ga kok..  Abang yang lupa. Abang kan sudah wisuda dan tidak bisa lagi menyiksaku,” jawab Bian dengan mata terfokus pada benda persegi berwarna koral kesayangannya. Sepeninggal Re, Bian meletakkan dagu dan kedua tangannya di atas meja. Matanya fokus pada layar yang di scroll oleh ibu jari kiri. STALK, apalagi kalau bukan menstalking akun media sosial milik orang yang membuat otaknya tidak mau berhenti berpikir. Yang satu adalah Raka Aditya Orlando dan satu lagi Kakaknya. Semalaman dia sudah menscroll ke bawah foto-foto Bang Raka di ** sambil menyelidiki caption-caption yang memiliki maksud terselubung. Namun tidak ada, begitu juga akun ** Kakaknya. Karena Bang Raka selalu memajang foto Kakaknya saat mereka sedang bersama dengan Kak Indah dan Bang Reza. Hari ini Bian akan memanfaatkan waktunya untuk menggali f******k Bang Raka dan Kakaknya. “Kenapa lagi? Aku ga liat kamu masuk,” Adri yang tadi dilihatnya di meja ujung sudah duduk manis di depannya. “Huhh.. lagu ini bisa ga di ganti? Ngena banget tau.. Say what you need to say Say what you need to say dia pikir gampang apa nanya ke mereka?” sembur Bian. “Dia ga minta kamu buat berharap lebih sama Dafka kok, cuma minta buat berhenti,” kekeh Adri yang mengetahui bahwa cewek yang bang Raka coba jodohkan dengannya sudah memiliki pacar baru-baru ini, sayangnya pacar cewek ini b******k. “Apaan sih? Sok tau banget kamu, pantas betah temenan sama Bang Raka. Sama-sama ga jelas sih,” sambar Bian. Kemudian Re datang dengan pesanannya beberapa saat lalu. Senyum tipis hadir saat aroma minuman yang dipesannya itu mampir ke hidung bangirnya Bian, namun pandangan Bian kembali pada Adri yang masih duduk di depannya. Seolah mengerti dengan tatapan pelanggan tetap café milik ayah tirinya itu, Adri menjawab dengan gendikan bahu dan tatapan ‘tidak ada yang akan memarahiku,’ tatapan keduanya kemudian teralih pada keadaan jalanan yang tiba-tiba diguyur hujan. “Buru selametin helm kamu, tuh payung,” ucap Adri yang kembali menatap Bian setelah menunjuk payung di samping etalase kue. “Aku kesini naik taxi kok.” Jawab Bian yang langsung menyambar hapenya, kembali pada misi negara. Gadis yang jarang-jarang memperlihatkan lehernya itu kesal karena yang diposting Bang Raka hanya bola, games, lalu berita SBY sakit yang dijenguk Jokowi. Masa iya dia harus tanya mereka langsung? Pokoknya selidiki sendiri sampai tuntas baru nanti kita ambil kesimpulan mengenai Bang Raka atau Bang Reza atau tidak sama sekali. “Kok kesannya aku yang rempong ya?” gumam Bian pada dirinya sendiri, “Kamu lagi ada tamu ya? Aneh banget. Ya bukan apa-apa sih tapi selama kita kenal kayaknya kamu itu dalam sebulan ada seminggulah yang aneh-aneh dan kayaknya itu kamu lagi on period.” Bian menengadahkan kepala melihat Adri yang sudah berdiri, “Macam-macam aja,” ucapnya melihat keabstrakan Adri yang sama seperti Bang Raka. Apa tanya Adri saja ya? Tapi nanti Adri pasti ngadu. “Sana ambilin muffin sama bungkusin red velvetnya,” ucap Bian kesal. “Oke.. siap-siap tahun depan kutembak ya,” kekeh Adri yang tentu saja tidak direspon oleh bian. Saat ini Bian sedang berada di wall f******k bang raka di tahun 2018. Cukup mudah untuk sampai ke tahun tersebut karena ternyata Bang Raka bukan orang yang suka update status, berbanding terbalik dengan yang asli, padahal aslinya lebai, koar sana koar sini. Setelah merasa sudah terlalu lama di café favoritnya dan kebetulan hujan juga sudah reda, Bian memutuskan untuk pulang. Sebelumnya ia masih sempat beradu mulut dengan seniornya. “Tuh liat Dri mulutnya aja tipis begitu, pantes aja ga mau kalah ngomong sama cewek,” adalah kalimat yang dilontarkan Bian sesaat sebelum keluar dari moccaffe karena lagi-lagi Re tidak tahan untuk tidak menilai gerak-geriknya. “Aku antar ya..” Adri muncul dengan motornya lengkap dengan jaket dan dua helmnya, meskipun ia tau Bian akan menolaknya namun ia tak patah semangat, Adri menarik tangan gadis itu agar segera duduk. Sebelum benar-benar pergi Adri sempat tersenyum penuh arti pada seseorang yang tentu saja sedang melihat ia dan Bian dari balik jendela mobilnya.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD