2.3

1454 Words
Uci terperanjat mendengar teriakan Bian yang menyadarkannya akan apa yang sedang ia dan Raka lakukan. Ia melepaskan diri dari Raka dan dengan wajah kesal memukul mantannya itu sambil mengomel. “Bisa banget ya lo!” teriaknya kesal. “Ga asik lo, ini kita lagi soting CLBK tau,” kekeh Raka yang juga baru menyadari bahwa ia tampak sedang mencandai mantannya itu. Uci memang segitu tidak pekanya sih. Untung sayang. “Tumben banget, biasanya harus gue yang bela-belain nyapa duluan terus ngajak lo bicara.” “Hm.. tadi gue rencananya mau diemin lo sebulan penuh tapi Tuhan langsung nyadarin gue kalo waktu buat sama lo ga akan lama lagi.” Jelasnya dengan nada mengiba.  “Mulai lo, Ka!” ucap Uci memperingatkan mantannya. “Kalo ga mulai ga Raka kan? Ikut gue yuk?” “Kemana? Ke mereka lagi?” tanya Uci yang tampak kembali akan marah pada Raka. “Engga, kemana aja gue setirin kok. Nanti pasti gue antar kesini lagi,” ucap Raka dengan senyum lebarnya. Andai saja Reza tau bagaimana caranya agar Uci bisa menurut padanya seperti Uci yang tidak akan menolak ajakan Raka kecuali itu maksiat dan kebetulan Raka juga belum mengajaknya ke arah maksiat, mungkin Uci masihlah orang yang dulu. Inilah yang membuat Uci nyaman dengan mantannya. “Kita ke mereka aja, Ka, gue tau gue salah,” ucap Uci yang membuat Raka pasti akan menolak karena mendengar apa yang satu jam lalu ia dengar dari mulut Reza. “Engga, hari ini lo sama gue. Nanti malam mereka ke tempat gue jadi baikannya di sana aja. Sekarang kita cuma harus muter-muter kota dan nyanyi gila-gilaan.” “Asal lo ga ubah nada lagunya,” ucap Uci dengan senyum lebarnya. “Sure. Gue ubah liriknya aja.” Ucap Raka di tambah kekehannya dan plis jangan abaikan kerlingan tampannya. Saat keduanya melaju bersama mobil milik Raka, Erwin Chavali keluar dari persembunyiannya. Beliau keluar membeli lauk untuk makan malam mereka nanti, ia enggan meminta tolong pada Uci dan Bian karena keduanya tampak sedang bernostalgia di dalam kamar anak sulungnnya. Wajah si dosen ekonomi tampak tidak ingin berkomentar. Baginya siapapun yang ditakdirkan untuk siapapun tidak akan pernah melewati jalur mereka. Dan sebagai orang tua yang sudah pernah mengalami semua itu, ia hanya berharap satu hal, anak-anak itu segera berada di jalurnya masing-masing karena umur mereka sudah telat sekali hanya untuk bermain-main di balik sebuah persahabatan. >>>>  Reza tersenyum lemah membaca chat pendek dari Uci. Uci: Kamu datang kan ke Raka nanti? Kita sudah harus bicara kan?   Begitu bunyi pesannya. “Jak.. di panggil Bang Bima tuh, adik ipar gue kaya kemasukan gitu ga sih? Lo tahan-tahan aja ya.. gue ga bisa  bantu,” ucap Indah setengah berbisik. Ia sudah bersiap-siap untuk menjelajahi rumah satu ke rumah yang lainnya di kompleks ini karena putranya merasa harus melakukan itu, katanya sih ini hari halloween. Awas saja suaminya nanti, teganya dia membenarkan ucapan anak mereka dan sekarang ia yang harus keliling seperti hansip. Pandai sekali Bang Edo menjauhkannya dari pembicaraan penting mengenai Uci dan Reza. Untung masih suami. “Duduk, Jak,” ucap Sindi Elzira Agnia satu-satunya kakak perempuan milik Uci. Kak Sindi meninggalkan Reza bersama Adik dan Abangnya dan tak lupa menepuk pelan pundak Reza sebagai bentuk support. “Lo tau Adek gue di mana sekarang?” tanya Bima tanpa basa basi. Wajahnya saja sudah seperti ingin menelan Reza. “Di rumah teman SMPnya,” karena tadi Raka bilang begitu kan? Raka bukan orang yang akan berbohong padanya. Kemudian Bima menunjukkan keseruan Uci dan Raka yang sedang berada dalam mobil, dua orang itu sedang live IG dan tampak sangat lepas. Kadang saling mencibir, saling menggoda. Raka bahkan melarang semua yang menonton untuk menyukai Uci dan menyebutkan keburukan Uci, begitupun Uci yang mengumbar kebusukan sang mantan. Mereka melakukan hal yang mereka senangi, terlihat sangat bahagia dan Reza merasa sangat cemburu. Ia tidak pernah mendapatkan Uci yang demikian. Reza akan terus menonton jika Bima tidak mengambil hapenya kembali. Kemudian Edo sebagai yang paling tua mengatakan bahwa kepulangan Bima kali ini adalah untuk menikah. Reza tidak terlalu kaget karena kak Sindi pun juga sudah memiliki calonnya sendiri. “Lalu sekarang gue mau memastikan perasaan lo,” ucap Bima yang diangguki oleh Edo. “Apalagi yang harus dipastikan? Kalo gue akan menikah hanya adik kalian yang akan jadi pengantinnya,” ucap Reza yakin. “Saat tau Abang Bimanya akan menikah Uci akan mengamuk, itu yang gue prediksi karena Adik kami itu egois, Jak. Dia pasti ga mau wajah pacarnya yang ada di Bima dimiliki orang lain, dan gue mau lo selalu ada buat dia saat itu,” terang Edo. “Kenapa Papa ga diundang rapat keluarga?” tanya pak Arifin yang baru pulang bekerja. Ia segera bergabung dengan anak-anaknya kamudian saling bercanda dengan hangat. Terlihat jelas bahwa orang-orang di dunia Uci sudah mulai berkomplot untuk memberikan babak baru pada gadis itu. Sangat tidak adil bagi Raka yang hanya memiliki dirinya sendiri untuk berjuang. >>>>  Raka dan Uci sibuk menata makanan kesukaan mereka berempat yang ia beli beberapa jam yang lalu. Keduanya sangat riuh padahal hanya memindahkan makanan dari wadah plastik ke dalam piring. Meja yang biasanya tidak pernah dilirik oleh Raka sekarang berubah memiliki peran menyangga piring-piring yang menguarkan aroma lezat. “Lama banget mereka, gue udah lapar,” gerutu Raka. “Nanti gue mau ngomong bentar sama Ejak, lo sama Indah makan duluan aja ya.” “Ngomongnya dimana dulu?” tanya Raka, jelas sekali ia sudah mulai siaga. “Di hatimu! Bacot lo.” Lima belas menit kemudian Indah dan Reza sampai. Ucilah yang membukakan mereka pintu. Indah dan Uci saling tatap dengan mata tajam mereka kemudian buang muka. Keduanya tak pernah bisa menjadi Adik ipar dan Kakak ipar. Bahkan sampai Indah memberikan anak untuk Bang Edo, Uci tidak pernah merasa Indah berubah dari teman menjadi Kakak ipar. Selamanya Indah akan tetap jadi temannya, mereka memang kekanakan seperti anak kecil. “Jak.. ikut aku sebentar ya?” “Ga bisa apa ngomongnya di sini? Supaya nanti kalo otak lo korslet bisa gue benerin,” sambar Indah yang tentu saja dibenarkan oleh Raka dengan anggukan cepat. Malam ini tiba-tiba Raka satu suara dengan Indah. “Lo urusin aja Abang gue, ga usah ikut campur!” ucap Uci ketus, kemudian ia kembali pada Reza menanti jawaban pria itu. “Oke, ayo,” ucap Reza membawa Uci keluar, menjauh dari Indah. Indah berjalan mendekati Raka yang menepuk sofa, mempersilahkannya duduk. Lagaknya sudah seperti pelayan pada sang tuan, Raka tuannya dan Indah pelayannya. Tapi Raka majikan yang friendly sekali dengan pelayannya, buktinya ia Indah bisa duduk si sampingnya.  Indah yang memang sudah tidak pernah bisa mengontrol mulutnya bahkan sampai ia beranak satu saat ini langsung menanyakan apa yang ada di otaknya barangkali Raka bisa memberikan pencerahan lalu ia akan menyusun siasat baru. “Apasih yang bikin Uci suka sama lo?” “Kegantengan gue kan tiada tara.” “Kenapa dia mau aja berduaan sama lo disini?” “Karena gue ga akan apa-apain dia.” “Oke, lo ga akan apa-apain dia gue percaya. Tapi apa kata orang?” “Uci ga terlalu mikir apa kata orang, senyaman kita aja sih.” “Lo udah bilang kalo Ejak serius mau  lamar dia?” “Engga, dan ga akan.” “Lo ga rela kan?” “Bukan  masalah rela ga rela.” “Terus?” “Terus gue udah laper kenapa kita ga makan aja? Atau gimana kalo gue yang tanya lo sekarang?” “Apa?” “Kenapa lo ga suka kalo Uci sama gue?” “Biasa aja, cuma gue kan sedang pro Ejak,, itu aja kok.” “Gimana kalo gue juga ikutan lamar Uci?” “Jangan bodoh lah, Ka.” “Kenapa? Lo yakin banget gue ditolak?” “Oke.. anggap aja lo diterima, kalian nikah dimana? Pake syariat agama siapa?” “Eh kampret.. kan giliran gue yang tanya kok lo nanya juga.” Keduanya kemudian saling membuang muka, si pria merasa tersinggung karena Indah membawa-bawa agama dalam obrolan mereka. Belum sempat Raka kembali memancing emosi Indah dengan niat mengatakan bahwa banyak artis yang menikah beda agama dan kenapa ia dan Uci tidak bisa, Indah sudah keburu menyulut api yang hanya akan membakar dirinya sendiri. “Jadi siapa cewek yang lo kelon tadi???” begitu tanyanya. “Lo liatnya tadi berapa orang cewek yang sama gue? Kalo lo lupa mending lo tanya Ejak deh, dia pasti ingat.” “Sialan lo ya!!! Beraninya lo ngajak Adik ipar gue ke kasur! Cepat bilang kalo lo bohong!!!” ucap Indah geram, ia mati-matian menahan suaranya agar tidak lepas kontrol jadi Reza tidak akan mendengar obrolan mereka. Raka melengos, ia tidak ingin tawa kemenangannya dilihat oleh Indah, namun saat matanya melihat ke meja, giliran emosinya yang naik, “Elo kan dalang semua ini?? Bertahun-tahun gue harus dapat kue kesukaan lo? Dasar kompeni lo! Ga peduli siapapun yang ulang tahun selalu aja lo milih kue kesukaan lo yang anyir itu!!!” Sementara Raka dan Indah saling menunjukkan keahlian silat lidah mereka, Uci dan Reza tampak cukup canggung untuk dua orang yang sudah berteman sejak lama. Uci berdiri canggung di depan Reza yang berdiri bersandar pada pintu Raka. Bukankah keduanya sudah kenal dari masa SMA? “Jak..” ucapnya memulai inisiatif. “...” “Aku salah,” ucapnya sambil memainkan  ujung kaki telanjangnya yang bersentuhan dengan lantai. Salahkan Reza yang menariknya begitu saja sampai Uci lupa dengan sendalnya. Sebaliknya Reza tersenyum senang, ia mendekat pelan kemudian memeluk Uci, pelukan yang biasa yang membuat Uci tidak pernah menolaknya. Pelukan seorang teman, tidak seperti pelukan sampah Raka siang ini. Reza mengacak rambutnya dan mengatakan kangen pada temannya. Namun Uci terdiam karena menyadari sesuatu, Reza bahkan tidak minta maaf padanya. Apa Reza tidak merasa bersalah dengan mendatangi rumah Adam dan mengatakan akan melamarnya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD