3.1

1767 Words
Semua dimulai semenjak dua hari yang lalu saat Uci yang masih canggung hanya untuk tersenyum pada Reza. Kenapa harus canggung? Karena Reza hanya menatapnya di sepanjang malam kecuali Raka menegurnya dengan berbagai pertanyaan. Kemudian Reza mengunci jemarinya begitu saja, Uci juga tidak mengerti kenapa Indah menjadi sangat ceria malam itu, juga kenapa Raka menatapnya lama saat mereka bertiga pamit pulang? Jika saja Bang Edo tidak menelfon Uci dan sang Kakak ipar mungkin mereka akan tetap di tempat Raka sampai pagi menjelang. Untuk bagian Reza, Uci memang sedang bersabar, lagian mereka berdua baru saja berbaikan masa iya pegangan tangan saja sudah dijadikan bumerang lagi. Yaaa.. meskipun Uci mau mau saja memancing perang. Indah tentu akan ceria jika Reza mendapatkan posisi terdepan, tapi berteman empat tahun dilanjut dengan tinggal serumah sebagai keluarga membuat Uci menyadari keceriaan Indah lebih dari sekedar bahagia melihat Reza menggenggam tangannya? Pasti ada hal lain yang membuatnya begitu bahagia, jadi tidak heran jika ia menyengir sepanjang malam. Tatapan tanpa kata dari Raka membuat Uci merasa akan ada yang terjadi, ia mengetahuinya hanya dari cara Raka menatapnya malam itu. Benar saja apa yang sepanjang jalan Uci renungkan, sesampai di rumah semua menjadi jelas. Indah terburu-buru masuk ke rumah karena jika tidak suaminya akan mengamuk dan keinginannya untuk memiliki anak baru bisa karam, sementara Uci yang berniat menyusul si Kakak ipar, tangannya lagi-lagi di tahan oleh Reza. Uci tidak tau bahwa tangannya begitu enak untuk dimainkan, apa karena bobotnya bertambah sehingga lemak-lemak di punggung tangannya juga jadi lebih tebal dari yang dulu? Reza kembali menautkan tangan mereka dan mengatakan bahwa ia akan mengantar Uci sampai pintu rumah. “Kamu aneh atau aku yang sudah sangat asing sama kamu?” tanya Uci yang membiarkan saja Reza dengan segala keinginannya, Uci hanya harus bersabar untuk tidak kembali memulai keributan dengan Reza. Lagian benar ucapan Raka bahwa ia terlalu sinis pada Reza semenjak permintaan menikah mulai ditujukan oleh semua orang padanya. Kenapa sinisnya pada Reza? Karena semua orang menyukai ide Rezalah yang harus menikahinya. “Ci.. cepat masuk!” itu perintah dan perintah tersebut datang dari wajah yang jika saja Uci kehilangan kesadarannya, ia akan mengira bahwa Adam telah bangkit dari dalam kubur untuk menikahinya, namun ia sama sekali tidak mabuk dan tidak pernah mabuk. Si adik berniat menyongsong sang Abang yang sedang berjalan kearahnya dan Reza. Meskipun sebentar, Uci ingin menganggap Abangnya sebagai Adam dan memeluknya erat namun Reza sama sekali tidak melepaskan tangannya. Cowok itu menatapnya dalam diam kemudian menggeleng, “Bang Bima bukan Adam” begitu ucapnya. “...” Uci menatap benci pada Reza dengan tangan kirinya berusaha membantu si tangan kanan lepas dari genggaman Reza. “Lusa aku akan bawa papa sama mama,” ucap Reza ketika Uci tengah mencoba melepaskan tangannya. “Bawa saja.. karena aku punya hak untuk menolak siapapun yang datang untuk lamaran sialan itu,” ucap Uci garang. Uci berlari ke Abangnya dan tanpa pikir panjang langsung menubruk tubuh sang Abang, melingkarkan kedua tangannya di leher sang Abang dan saat itu juga fantasinya mati. Wangi yang memenuhi indra penciumannya saat ini bukanlah wangi Adamnya. Melerai pelukan, Uci berjalan begitu saja melewati sang Abang, “Selamat datang, Bang,” ucapnya datar, menekan kekecewaannya juga kebodohanya beberapa saat yang lalu. Rumah terasa sepi dan itu membuat Uci bersyukur, ia tak ingin bertemu siapa-siapa saat ini terlebih Indah. Dengan pandangan kabur karena matanya sudah diselimuti cairan bening, Uci berjalan menuju kamarnya dan setelah sampai disana, ia memastikan tidak ada yang akan bisa mengganggunya. Uci merosot, ia terduduk di depan pintu kamarnya dan saat ini ia sudah menangis dengan suara tertahan sambil memandang herbarium mawar di dinding kamarnya. Mengubah posisinya menjadi tiduran di atas lantai, si gadis yang ditinggal mati pacarnya itu kembali mengucapkan mantra ajaibnya. Untaian kalimat rindu yang sebenarnya hanya semakin membuat deras aliran air mata. >>>>  Pipi dan tangan Uci merasakan dingin juga kerasnya ubin, namun bukan itu yang membuat ia terjaga melainkan gedoran pintu dan teriakan Kak Sindi. Uci mencoba untuk membuka matanya yang terasa sangat lengket karena menangis semalaman. Kemudian setelah ia mendapatkan nyawanya kembali, si bungsu membukakan pintu untuk sang Kakak. “Ada apa Kak?” “Cepat mandi, semuanya menunggu di meja makan.” Sindi bukannya tidak menyadari mata adiknya, ia tidak cukup dekat dengan Uci agar kata-katanya bisa adiknya itu dengar. Sindi sudah pernah mencoba. Bertahun-tahun ia telah mencoba tapi adiknya seperti lebih memilih berada dalam kubangan masa lalu, sendirian. “Oke Kak.” “Cepat ya, Ci.. kali ini benar-benar semua orang termasuk Om Surya dan Tante Dian juga sudah bergabung di meja makan.” “Iya Kakakku,” ucapnya menggerutu. Lucy Adelina baru mengetahui betapa tidak enaknya tidur dilantai, dan saat pintu kamarnya telah tertutup sempurna ia merasa tergoda untuk kembali melanjutkan tidur di atas ranjang empuk dan selimut lembut nan hangatnya namun Uci tak ingin semua orang mengatainya kekanak-kanakan atau tidak menerima keadaan. Uci masih ingat jika sekarang ada Bang Bima di rumah mereka. Lima belas menit kemudian Uci keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap dan saat ia melintasi cermin besar pemberian Adam saat ia wisuda dulu, Uci berhenti sejenak dan menatap dirinya sendiri. Ia mencoba menilai secara objektif tentang apa yang disukai Reza padanya, karena ia benar-benar sudah muak dengan Reza yang tidak bisa dihentikan. “Lusa? Aku punya acara penting hari itu,” ucapnya ketus dan turun menuju semua orang yang mungkin sudah mulai makan. Uci seolah sudah lupa bahwa dulu ia pernah sangat tergila-gila pada Reza, well time changes people. Bang Zaki dan Kak Echa beserta putri menggemaskan mereka juga ada di meja makan. Kak Echa tampak mencoba menguliahi Bang Bima tentang sesuatu yang tentu saja Uci tidak tau. “Selamat pagi keluargakuuuuuu,” sapanya ceria. “Bang.. katanya Kak Echa hamil lagi ya? Uwuuu.... Abang produktif sekali,” ucap Uci dengan senyum lebar sementara Sindi menampakkan wajah kesalnya pada Uci. Kenapa dari dulu sampai sekarang cara Uci menyapa suami sepupu mereka tidak pernah baik dan sopan? Lagian untuk apa pula mengomentari urusan rumah tangga orang? “Duduk kamu!” ucap Sindi pada adiknya. “Pagi Abang ganteng.” “Pagi sayang,” sahut Bang Edo sumringah. “Bang Bima ya!” ucap Uci tanpa menoleh pada orang di sebelahnya, si sulung. Sementara Edo mulai kesal karena Uci selalu pilih kasih saat Bima ada di rumah, Uci menyapa Kak Echanya dan juga Om Surya yang jarang terlihat akhir-akhir ini. “Mulai kan kamu, Ci.. Abang loh yang dulu selalu ngasih kamu uang jajan dan jemputin pulang sekolah malah sampai kuliah.” “Abang kok sayangin Uci sih?” ucap Indah tidak suka. Enak sekali Uci langsung di sayang-sayang sementara semalam ia tidur di punggungi suaminya. “Dia kan adikku,” ucap Edo malas. “Aku istri kamu loh Bang. Lagian kenapa Abang ga marah sama Uci? Kami pulangnya barengan tuh, malah lebih dulu aku masuk rumah dibanding dia,” ucap Indah kesal. Mereka berada di umur yang sama, pergi ke tempat yang sama dan pulang juga samaan tapi perlakuan yang di dapat kok ya beda banget. Ini Indah loh guys, yang meregang nyawa pas lahiran putra mereka. “Ga usah bandingin diri kamu sama Adik kesayangan aku. Dia itu bebas sedangkan kamu punya anak satu yang harusnya diurusin. Naufal satu aja kamu ga bisa urus malah minta anak lagi.” Lihat Revaldo Adinata tidak sungkan membahas urusan rumah tangganya di depan semua orang. “Haduuuh sudah-sudah, kalian ga lihat ini telinga Papa sudah merah? Mau diusir semua?” tanya Vivi pada anak-anaknya yang selalu rame. Vivi kasian melihat sepasang cucunya yang harus mendengar bagaimana cara bicara Indah, Uci dan Edo yang tidak pernah sadar kondisi. Edo sejak menikah juga makin kekanakan, apa mungkin karena nikahnya sama yang jauh lebih muda ya? Sarapan kemudian berlanjut dengan tenang, namun tidak bisa tenang sampai akhir karena pertanyaan Pak Arifin pada Bima, “Benar kamu mau menikah, Bim?” padahal beliau sudah tau segalanya tentang rencana pernikahan Bima bahkan sudah cukup sering bertemu dengan calon menantunya, namun beginilah cara sang Papa untuk memberi tahu putri bungsunya. “Engga boleh!” ucap Uci cepat sambil menggebrak meja. “Dan Papa dengar Reza akan bawa orang tuanya untuk melamar kamu.” Sekarang ucapan Papanya ditujukan untuk Uci. Sedang untuk Uci, Papa tidak bertanya seolah ia tidak tau. “Kenapa Papa hanya mendengar-dengar berita tidak jelas? Apa kerjaan Papa sudah kurang?” ucap Uci yang sepenuhnya sudah melupakan makanannya. “Bagus ya.. karena sudah bisa cari duit sendiri kamu berani kurang ajar sama Papa?” tanya Arifin yang mulai emosi, jelas sekali bahwa emosi Uci berasal dari Papanya. “Abang ga akan nikah kan, Bang?” tanya Uci yang saat ini lebih fokus untuk menemukan kebenaran tentang Abangnya. Ia menatap Bang Bima penuh harap mengabaikan semua orang di meja makan. “Bang? Abang bohong kan?” tanya Uci karena masih tidak mendapatkan jawaban Abangnya. Bang Bima hanya menatapnya dalam diam dengan pandangan yang tidak bisa Uci tafsirkan. “UCI!!!” panggil Arifin dengan nada berbahaya, putrinya itu jelas sedang menyulitkan Bima. Bima juga sampai sekarang tidak bisa tegas pada Adiknya ini. “Apa sih Pa? Uci lagi ngomong sama Abang.” “Kamu dengar apa yang Papa omongin barusan?” “Ya.. Aku sudah bekerja dan bukan berarti aku kurang ajar sama Papa hanya karna aku sudah bekerja. Aku cuma nanya kenapa Papa bisa mendengar berita engga jelas tentang aku dan Bang Bima.” “Tidak jelas apanya? Bima memang akan menikah, kamu juga akan segera Papa nikahkan dengan calon yang Papa suka. Kamu, Bima dan Sindi akan menikah di hari yang sama atau tidak ada di antara kalian yang akan menikah!” Kedamaian yang tadi tercipta sudah sirna sama sekali, digantikan ketegangan antara Ayah dan anak yang sama-sama emosian dan keras kepala. “Dan kenapa aku harus menikah, Pa?” tanya Uci geram. “Karena kamu sudah cukup umur untuk menikah, kamu bekerja dan Reza juga sudah bekerja, yang paling penting, dia serius sama kamu.” “Bagaimana kalau aku berhenti bekerja?” tantang Uci pada Papanya. Hanya itu di antara tiga faktor yang diucapkan Papa yang bisa ia ubah. Uci tidak bisa mengutak atik usianya juga Uci tidak punya kontrol untuk keadaan Reza yang sudah bekerja sama sekali. “Tidak masalah karena Reza tetap akan menafkahi kamu.” Menutup matanya gusar dan bernafas kasar, Uci menghantam meja makan dengan kepalan tangannya. Saat si putri membuka matanya, Arifin jelas melihat genangan air mata yang langsung menyurutkan amarahnya. “Enam tahun lalu Adam-ku,” Uci sengaja mengatakannya demikian agar Papanya ingat, “Adam-ku juga sudah bekerja, kenapa dulu Papa menjadikan kondisi aku yang belum bekerja sebagai alasan agar kami tidak menikah??? Atau karena Pak Alwi yang Papa inginkan sebagai besan? Karena dia mantan gubernur? Orang terpandang??” “Apa maksud kamu hah anak kurang ajar!!!” ucap Arifin mengelegar. Ia sangat tersinggung dengan pikiran sempit Uci tentang alasan kenapa dirinya menyukai Reza. “Maksud aku adalah kalau saja enam tahun lalu Papa tidak menolak Adam dan Papanya secara halus, mungkin saat ini aku masih bisa melihat Adamku!!! Harusnya dulu penolakan papa ga tanggung-tanggung, sebut semua poin kekurangan yang papa temukan pada keluarga mereka. Papa Erwin yang hanya seorang dosen, Adam yang besar tanpa seorang mama, sebut semuanya!!!” teriak Uci kesetanan kemudian meninggalkan ruang makan, menyisakan sebelas pasang mata yang menahan nafas. Mungkin jika penolakan Papa tegas, Adam bisa mundur dan mereka bisa putus baik-baik. Meskipun Uci tidak yakin ia akan mau di putuskan Adam, baik-baik ataupun tidak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD