4

1062 Words
Reza tersenyum geli melihat tingkah Mamanya yang mengeluarkan semua baju yang beliau punya. Setelah mengetahui lamaran mendadak yang akan keluarga mereka lakukan, istri Alwi Sagara tersebut pusing menentukan baju yang akan ia kenakan esok. Berbeda sekali dengan Papanya yang tampak super tenang dan masih mengurusi pekerjaannya. Tidak ingin menghubungi Uci dulu, Reza hanya duduk di atas lantai dan melipat tangannya, memperhatikan kelucuan sang Mama. “Jak.. warna ini bikin Mama makin tua ya?” tanya Mama serius. “Engga.. Mama cantik pake itu.” “Dari tadi cantik semua, kamu yang objektif dong, Nak! Mama ga mau malu di depan calon besan kita.” “Besan Mama kali.. Pakai aja sesuatu yang bikin Mama nyaman. Mama sudah cantik dan ga akan ada pakaian yang bikin Mama jelek.” “Serius?” “Serius Mama.. kalo Mama pengen pake jeans sama kaos oblong juga boleh,” candanya sambil mengedipkan sebelah mata. “Rezaaaa... sana keluar, kamu ga bantu sama sekali,” ucap nyonya Yunita Sagara pada anak semata wayangnya. Sebelum keluar dari sana, Reza kembali membuat emosi sang Mama naik dengan mengatakan bahwa Papa setuju dengan rumah yang Reza tunjukkan pada Mamanya tempo hari. Yunita tidak ingin jauh dari putra semata wayangnya, tidak ada acara pindah rumah karena bagaimanapun suami dan anaknya meyakinkan bahwa Reza sudah dewasa, di mata Yunita, putranya, Reza masihlah bayi mungilnya yang tidak tau apa-apa, apalagi mengenai pernikahan.  Reza masuk ke kamarnya selama Mama menentukan pilihan baju apa yang akan di pakainya besok. Setengah jam kemudian ia keluar dengan pakaian berbeda yang tentu saja membuat Mamanya membelalakkan mata. “Tidak ada cerita ngapelin Uci ya, Jak.. keliatan banget tau ga kamu kebelet nikah.” “What? Mama.. aku cuma mau pergi sama Hanum sebentar.” “What?? Hanum? Makin ga ada cerita, Jak. Cowok mana yang jalan sama cewek lain sehari sebelum acara lamarannya? Masuk kamar kamu.” Yunita benar-benar berang sekarang. “Hanum cuma adik tingkat Mama.. Assalamualaikum,” ucap Rreza menyambar kunci mobilnya. Hanum adalah junior Raka dan Reza semasa menjadi pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa. Sekarang, cewek itu bekerja sebagai chef di salah satu restoran Italia terbesar di kota itu dan sesekali ia akan mengisi seminar dan juga juri kontes memasak yang ada di TV. Tahu sajalah bagaimana mahasiswa Indonesia, orang yang sering keluar-masuk TV dan bepergian keluar negeri akan menjadi santapan lezat bagi mereka. Dan kali ini Hanum diminta untuk menjadi narasumber pada seminar yang judulnya berhubungan dengan pemuda dan karyanya, kalau Reza tidak salah. Tiga puluh menit berkendara, mobil Reza memasuki kawasan perumahan elit yang cukup sering ia datangi dan sepertinya kali ini ia tidak perlu berbasa-basi pada keluarga Hanum karena cewek itu sudah menungunya di luar pagar. “Gimana, Bang? Cantik ga gue?” “Kenapa perempuan sering banget nanya itu?” tanya Reza setelah menurunkan kaca mobilnya dan menyuruh Hanum untuk segera masuk. “Karena kali ini gue harus koar-koar di almet kita, Bang.. lo ngerti ga sih?” Reza mengendikkan bahunya dan mulai fokus kembali pada setir. Sebelum menuju universitas mereka dulu, Hanum sempat-sempatnya pengen singgah di salah satu restoran cepat saji untuk mengisi perut. “Makan sama orang ganteng lebih nikmat si,” begitu jawabnya saat Reza mempertanyakan kenapa Hanum tidak makan saja di rumahnya sebelum tadi dijemput. >>>  Pulang ke rumahmu setelah waktu yang cukup lama, bagaimana caramu ingin disambut? Mungkin sebagian akan menjawab dengan pelukan hangat kedua orang tua sementara yang lain ingin disambut dengan uap panas yang mengepul dari makanan rumahan yang dimasak oleh Ibu. Sementara tak jarang di luar sana ada keluarga yang bersikap biasa saja saat menyambut keluarga yang pulang merantau. Lalu bagaimana dengan Raka? Ia disambut oleh permintaan Bbapaknya tentang, “Gue mau cucu, Ka. Pokoknya gue kasih lo waktu tepat sembilan bulan sepuluh hari.” Raka melongo mendengar omongan Bapaknya. Tau saja darimana asal mulut gesrek Raka kan, pemirsa? Sementara Raka yang tidak tau bagaimana merespon permintaan Bapak barusan, Ibu malah meninggalkannya berdua dengan Bapak sehingga mau tidak mau Raka memiliki waktu intim berdua dengan Bapak tercintanya. “Lo denger kan, Ka? Gue udah engga muda lagi, asam urat gue udah sering kambuh dan kemaren gue batuk berdarah.” “Berdahak, Pak.. Ibu bilang Bapak batuk berdahak karena keseringan minum air dingin,” ucap Raka mengoreksi fakta yang coba bapaknya putar-balikkan. Mana ekspresi Bapak kaya orang yang bakal berangkat ke alam baka besok pagi aja. “Oke.. itu memang berdahak, tapi kalo keterusan gue bener-bener bisa batuk berdarah,” ucap Bapak merajuk. “Makanya stop minum air dingin!” ucap Raka geli, apa Bapak piker alasan murahan seperti batuk berdahak bisa mengancamnya? Raka tidak akan menjadi anak penurut hanya karena Bapak yang batuk berdahak. “Punya anak satu g****k minta ampun, maksud gue.. lo bener-bener ga bisa nolak permintaan gue!” “Pak..” “Ka.. dari kecil lo mau apa pasti selalu gue kasih. Gue bahkan ikutan sibuk ngebagi jadwal lo perminggu untuk empat cewek yang lo pacarin sekaligus. Dan sekarang lo ga mau berbakti sama pria tua renta ini?” Belum pernah sekalipun Raka bernapas sesusah ini saat berhadapan dengan sang Bapak. Kenapa justru Bapaknya yang bertingkah padahal Ibu lah yang sedang mengalami masa menopause. Kembali ke rumah adalah bagaimana Raka lari dari masalahnya namun hal yang tak pernah manusia sadari adalah, belum tentu mereka akan selamat hanya dengan berlari. Karena dengan lari mereka hanya menumpuk masalah dan sama sekali tidak menyelesaikannya. Seperti Raka saat ini. “Masalahnya Bapak ngasih waktu sembilan bulan sepuluh hari, dan apa itu artinya gue harus nidurin siapapun yang lewat depan rumah kita Pak??? Sembilan bulan sepuluh hari itu waktu untuk mengandung, kapan gue bikinnya coba? Jangan ngaco ah, Pak, atau gue balik nih?” nah, mari kita lihat dua orang Raka berbicara satu sama lain. Raka dan Bapaknya memang bagai pinang di belah dua. Sama-sama ganteng dan sama-sama gila. “Lo sama Ibu lo sama aja! Kalian tuh ga ngerti kalo hidup manusia itu kaya jumat ke jumat, gimana kalo gue beneran mati jumat depan? Gue pengen di panggil Opa!” “Sekalipun gue bisa hamilin anak orang malam ini, Pak.. bukan berarti sembilan bulan sepuluh hari kemudian lo akan dipanggil Opa.” “Apa maksud lo?” “Maksud gue adalah, gimana kalo lo mati di jumat dalam rentang waktu yang sembilan bulan sepuluh hari itu?” “k*****t! Pergi ga lo dari rumah gue!! Anak kurang ajar! Doain gue mati lo??” teriak si kepala rumah tangga yang kontan menanggalkan sendal jepitnya dan kemudian berlari melemparkannya pada anak semata wayang. Perut Raka keram dengan tawa yang di dapatnya dari menjahili Bapak, rasanya pulang bukanlah pilihan yang buruk. Sekalipun Raka adalah sosok teman yang kadang, maksudnya sering kurang ajar pada temannya baik itu Uci, Indah ataupun Reza, ia tidak akan kurang ajar pada orang tua terlebih itu orang tuanya. Saat ini Raka hanya sedang mengajak Bapaknya olah raga keliling komplek. Meskipun dengan lemparan sendal jepit sesekali mengenai kepalanya dan lebih sering mampir di punggungnya.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD