3.4

801 Words
Jika dulu ada Abang yang akan menjemputnya pulang sekolah, sekarang Bian hanya akan berjalan diam dalam hujan membiarkan hujan menyapu kesedihannya. Jika dulu ada seseorang yang akan marah untuknya maka sekarang Bian akan menelan bulat-bulat semua kesedihan yang diludahkan padanya. Dulu sekali Bian mampu mendapatkan apapun yang ia inginkan meski harus bersabar sampai sang Abang mengabulkan keinginannya namun sekarang Bian tak berani menginginkan apapun karena Abangnya sudah tidak bersamanya. Bian tidak menangis karena Abang kesayangannya di renggut darinya, sudah tidak lagi. Yang ia tangiskan adalah kenapa ia membiarkan hatinya menanam harap, kenapa berharap? Kenapa berharapnya harus pada Dafka? Kenapa Papa harus membawa Dafka Alfajri ke rumah mereka? Kenapa Papa harus memberikan kepercayaan begitu besar pada pria itu? Kehadiran Dafka di rumahnya di malam-malam lalu saat sang Papa harus melakukan penelitian dan pengabdian membuat Bian merasa nyaman meski hanya dengan Dafka di ruang tamu sedang ia di dalam kamarnya. “Ralin?” “Nanti ya, Pa,” ucap Bian memotong ucapan Papanya kemudian berjalan dengan tubuh basah menuju kamar yang sangat jarang ia masuki kemudian mengunci diri disana. Membuka lemari pakaian Abangnya dengan kasar kemudian Bian menarik turun semua pakaian yang tergantung di hanger, mendekapnya di d**a kemudian menangis seperti orang gila. Bian tidak suka menjadi dewasa, ia tidak ingin mengenal perasaan itu. Bian hanya ingin menjadi remaja yang memiliki Abang dan semua itu lebih dari cukup. Mereka bilang manusia mengalami dua kali pubertas dalam hidupnya tapi Bian hanya memiliki satu karena kesempatan pertamanya ia habiskan untuk menangisi kepergian sang abang, itupun baru akan ia rasakan beberapa puluh tahun lagi, mungkin itulah kenapa ia tidak mengerti harus bagaimana bersikap pada pacarnya atau justru pacarnya adalah orang paling b******k yang tidak patut untuk ditangisi. “Dia engga kaya Abang,” ucap Bian teredam oleh pakaian-pakian Abangnya yang ia peluk erat. Meski dulu Bang Adam tidak mau menceritakan hal-hal terkait Kak Uci padanya secara terbuka, Bian tau bahwa Kak Uci jenis yang keras kepala namun Abangnya selalu bersabar dan mengalah. Suara ketukan halus membuat Bian merengek, ia belum selesai dengan dirinya. Biasanya Papa juga akan membiarkan dirinya sampai larut. Kemudian sebersit kemungkinan tentang Dafka yang menyusulnya membuat ia segera menuju pintu. “Nak.. kamu tau di mana Kakakmu?” Mana mungkin Dafka menyusuliku kan? Ejek Bian pada dirinya sendiri. “Bian?” “Engga, Pa.. Coba papa telfon.” “Kakakmu engga bawa hapenya.” “Ya terus apa, Pa? Kakak tidak akan kenapa-napa hanya dengan tidak bawa hape,” ucap Bian yang tampaknya sedang melampiaskan kekecewaannya. “Begitu? Kamu dengarkan Bima? Bian tidak tau keberadaan Uci,” ucap Pak Erwin Chavali sambil menempelkan kembali hapenya ke telinga kemudian berbalik menjauh. “Ada apa, Pa?” Bian berhasil menyusul Papa dan meminta penjelasan. Kemudian ia tau betapa tidak adilnya dunia dan betapa kisah cinta itu sama saja, selalu ada pihak yang berharap dan pihak yang membuang seperti sampah. Kakaknya dan Dafka adalah orang yang membuang orang sepertinya dan Bang Reza seperti sampah. >>>>  Punggung Adri dibenturkan ke dinding yang ditumbuhi lumut, pada bagian sudut bibir serta sebagian pipi teman akrabnya Fatih Ardan Mubarack tersebut terdapat berkas darah yang ia lap dengan punggung tangannya. Sementara itu ia masih menunjukkan senyum yang tentu saja membuat geram si pelaku kekerasan. “Puas lo hah??” teriak Dafka Alfajri pada orang yang ia buat babak belur. “Bukannya itu pertanyaan gue? Udah puas mukul gue?” bukannya jawaban yang didapatnya Adri malah mendapatkan pukulan lainnya bertubi-tubi. “Woi anj*ng!!!!!” teriak seseorang yang tentu saja dikenal sangat baik oleh Adri. Dafka melongok ke asal suara kemudian melepaskan kerah kemeja Adri dan undur diri dari sana. “Kebangetan banget, baru gue tinggal beberapa menit anj*ng gila udah berkeliaran aja. Ini lagi anj*ng satu, kenapa lo diam aja hah??” ucap Fatih yang tidak terima teman baiknya di perlakukan seperti ini. Wajah tampan temannya jadi tidak lagi bisa di katakan ganteng. Mana bisa seperti ini? Fatih dan Adri sudah terkenal dengan sebutan duo titisan dewa. “..” Tidak menjawab apa-apa, Adri hanya mengulurkan tangannya pada Fateh agar si teman yang dengan tanpa otaknya mengatainya anj*ng membantunya berdiri. “Sesama anj*ng itu di lawan, b**o! Dimana-mana cuma anj*ng betina yang pasrah, itupun karena mau dikawinin sama jantannya. Lo ah.... kesel gue! Kalo aja ini bukan masalah cewek udah gue bantai itu anj*ng!” ucapnya menarik Adri, membantu temannya berdiri. Fatih meringis melihat wajah teman sesama titisan dewanya, gini amat gara-gara satu cewek. Untung Fateh ga tertarik sama cewek manapun. “Jaga mulut lo, Teh!!  Ini kenapa Fay ga pernah biarin Ammar lama-lama sama elo!” “Bacot lo!” “Sakit kuping gue, Teh,” Adri mundur selangkah karena Fateh yang marah selalu mengancam kesehatan pendengarannya. “Ooo gitu ya? Ngelawan gue bisa lo? Ngelawan itu anj*ng kaga bisa? Lo lebih takut sama itu anj*ng gila??? Berarti posisi anj*ng gila lebih tinggi dari gue?” ucap Fatih masih tidak mau berhenti. Mengangguk kemudian Adri berkata, “Lo anj*ng gila yang lagi sakit gigi, gue lebih takut sama lo,” Adri terkekeh mendengar julukan Fateh yang baru ia ciptakan kemudian meringis karena tawanya membuat mulutnya yang sudah robek terbuka lebar. “Pa.. obatin Mama ya, Pa,” ucapnya menyentuh lengan Fateh juga nadanya yang dibuat se kemayu mungkin. “Najis lo!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD