3.2

1027 Words
Banyak pasang mata yang memperhatikannya baik terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi tapi Lucy Adelina tidak peduli dengan tanggapan meraka, ia akan tetap berjalan dengan air mata yang menganak sungai, ketakutan dan kesedihannya begitu besar sampai ia tidak bias menampilkan wajah baik-baik saja seperti biasa. Anak yang benar-benar menyalin tanpa sisa keras kepala pak Arifin tersebut keluar dari rumah tanpa apa-apa, tanpa motor dan juga tanpa hapenya. Sekarang tujuan Uci adalah Raka, tanpa bertanya pun semua orang akan tau hal tersebut. Hanya Raka yang Uci izinkan menemaninya di titik terendah yang dulu pernah ia alami dan tentu saja saat ia diguncang untuk kesekian kalinya Uci akan kembali pada Raka. Kondisi cuaca pagi ini sangat cerah hingga tak heran sengatan matahari mampu membuat tubuh Uci yang tak terlindung apa-apa seperti wajah, lengan dan punggung kaki tampak memerah. Namun jelas sekali perawan tua yang juga salah satu tim penulis buku pelajaran fisika pada salah satu penerbit ternama itu tidak mengurungkan niatnya untuk segera sampai di tempat Raka. Melihat bangunan apartemen di depannya tanpa sadar membuat Uci merengek. Ia sudah habiskan nyaris satu jam berjalan di bawah terik matahari dan sekarang ia harus mendaki ratusan anak tangga karena security bangunan itu bilang bahwa lift sedang dalam perbaikan. Mengingat sekali lagi bagaimana semua anggota keluarganya yang benar-benar tidak memberikan pembelaan untuknya benar-benar membuat Uci kecewa. Mama, si satu-satunya yang akan mengendap-endap kedalam kamarnya saat Uci dihukum Papa juga sama sekali tidak bergeming. Uci ingat sekali dulu saat sang Papa melarangnya makan karena membangkang atau menyebabkan masalah, Mama sering mengetuk pintu kamarnya dan membawakan makanan kemudian menyuapinya. Dalam keadaan ngos-ngosan Uci terkekeh, “Dulu? Kenapa masih mengungkit masa lalu sih, Ci? Dulu kamu punya Adam di sampingmu dan sekarang tidak, apa bedanya dengan Mama? Semua tidak bisa dikaitkan dengan dulu-dulu sialanmu itu.” Tangis Uci kembali pecah saat matanya sudah bisa melihat pintu yang ia tuju, melangkah secepat yang ia bisa kemudian Uci memencet bel, mengetuk bahkan berteriak meminta Raka agar segera keluar. Cukup lama Uci menunggu hingga pintu itu terbuka dan menampakkan wajah kaget Raka dan perempuan di belakangnya. “Hiks.. Ka..” isak Uci dan Raka yang sudah kehilangan akal sehatnya hanya karena menemukan Uci kacau segera meminta perempuan di belakangnya untuk keluar. “Tapi, Ka.. kitakan-” “-Keluar Dil,” suara Raka sudah tidak bersahabat lagi pada Dila, namun mata pria itu tetap menatap lurus pada Uci. Raka merasa terlempar ke enam tahun lalu di mana terakhir kali ia melihat wajah itu. >>>>  Sindi mengajak sepasang ponakannya untuk bermain di luar karena ayunan depan rumah adalah hal yang paling mereka sukai, ia tidak ingin Naufal dan Naura ketakutan dengan amarah Papanya yang siap meledak kapan saja. Sindi sangat tahu masa lalu Uci adalah masalah sensitif tidak hanya bagi Uci sendiri tapi juga Papanya. Karena tidak hanya Uci yang merasa jika semua yang terjadi pada Uci dan Adam saat ini adalah karena aturan Papanya yang mengatakan bahwa Uci harus bekerja dulu, membalas jasa orang tua baru boleh menikah. Papa juga merasa bersalah atas semua itu meski beliau dan Mamanya sudah mengatakan bahwa apa yang terjadi adalah ketentuan yang sudah di tulis oleh Tuhan jauh sebelum manusia di lahirkan. Namun seperti keras kepala keduanya yang sama sekali setara, mereka juga sulit untuk melupakan kejadian buruk di masa lalu. “Onti Uci sama Opa kenapa ya, Nti?” tanya Naura yang masih tidak mengerti, dibanding ketakutan bocah ini lebih terlihat penasaran. Berbanding terbalik dengan Naufal yang memang sudah sering melihat pertengkaran baik antara Opa dengan Onti Uci, Onti Uci dengan Papanya, Onti Uci dengan Mamanya, serta Papa dan Mamanya. Semua orang di rumahnya senang sekali bertengkar. “Onti Uci dan Opa sedang salah paham, sayang.” “Salah paham?” ulang Naura dengan kedua alis yang terangkat seolah ini pertama kalinya ia mendengar kata itu. “Sudah.. ini masalah orang dewasa, kalian main aja disini ya.. Onti mau beresin meja makan,” ucap Sindi  yang tidak tau harus menjelaskan pada si bocah gendut. Tinggallah Naufal dan Naura, dengan Naufal yang membuang muka dari sepupunya tersebut. Bagi Naufal, Naura adalah hal yang paling tidak disukainya karena gara-gara nama mereka sama, teman-teman kompleks sering mengatai bahwa kelak Naufal pasti akan menikah dengan Naura karena nama mereka mirip. Temannya bilang sih mirip itu tandanya jodoh. Nah lo, di saat Naura adalah bocah yang benar-benar polos sehingga Sindi bahkan takut untuk memasukkan kata-kata asing pada ponakannya itu, Naufal justru sudah mengerti apa itu jodoh dan menikah. Beri tepuk tangan pada mulut Mamanya, kelakuan Om Raka dan Onti Uci. “Nau..” panggil Naura yang sudah menyamankan diri di atas ayunan pada Naufal. “Apa?” “Salah paham itu apa?” “Onti Uci maunya engga menikah tapi Opa maunya menikah.” “Menikah kaya Mama sama Papa kita?” “Ih! Bukan lah! Mamaku nikah sama Papaku, kenapa kamu bawa-bawa Mama sama Papamu?” “Jadi Mama Papaku tidak menikah?” “Tau ah, dasar Naura bodoh!” >>>  Saat ini justru Bima yang terlihat beradu pendapat dengan sang Papa. Uci adalah adik yang seumur hidupnya, Bima tidak pernah dekat sampai beberapa tahun lalu. Uci mau menerimanya, tidak berteriak lagi padanya dan berhenti memanggilnya dengan panggilan aneh, Saudara Bima, bagi Bima itu adalah hal yang sangat disyukurinya. Selama hidupnya Bima hanya bisa melihat kedekatan Bang Edo dan Uci, mereka tertawa, bertengkar, tertawa lagi, selalu begitu. Mereka bahkan pernah kabur berdua, bersenang-senang menjelang Bang Edo menikah dengan Indah. Saat ini Bima bukan ingin mendapatkan kesempatan kabur berdua, ia hanya ingin mengatakan baik-baik pada Adiknya bahwa ia ingin menikahi seseorang yang dicintainya dan juga meminta Adiknya untuk tidak terjebak di masa lalu. Tapi Papa mengacaukan semuanya. “Aku yang akan ngomong baik-baik sama Uci, Pa.” “Dengan orang tuanya sendiri dia bahkan tidak bisa ngomong baik-baik, kamu hanya akan dianggap angin lalu,” ucap Arifin yakin. “Setidaknya dengan aku, Uci tidak akan pergi. Lalu bagaimana jika lusa Uci masih tidak pulang?” tanya Bima yang tidak mengerti kenapa kalau urusannya dengan Uci, Papa selalu menjadi kekanak-kanakan. “Tanpa kehadiran Adikmu itu sekalipun, Papa tetap bisa menikahkannya dengan Reza. Sebaliknya, silahkan kalian berempat berembuk mengenai kapan kalian akan menikah karena Reza dan Uci akan ikut tanpa syarat.” “Pa.. jika Adikku bilang tidak mau, berarti Papa tidak bisa seenaknya. Tidak bisakah kita bujuk dia baik-baik?” “Tidak karena dia sangat keras kepala, dan sejak kapan dia jadi Adik kesayanganmu? Pokoknya kalian bertiga akan menikah di hari yang sama atau tidak sama sekali.” “Keras kepala Adikku tidak akan ada apa-apanya kalau Reza becus mengambil hatinya, terserah Papa karena keluarga Zahra tidak masalah dengan kapan aku akan menikahi putri mereka.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD