2.2

921 Words
Kamar kosong itu bahkan bisa merasakan kehadiran pemiliknya saat Uci berada di sana. Meraka bisa merasakan udara segar bahkan wangi sabun jika Uci sudah kembali, itulah yang akan para dinding dan lantai katakan jika mereka bisa bicara. Uci sibuk mengganti seprai setelah memastikan gitar milik Adam tidak retak atau pecah akibat kelakuannya terakhir kali. Mood gadis itu cukup baik untuk tidak menangis dan baik itu Erwin Chavali atau anak bungsunya tidak perlu merasa khawatir kali ini. “Ehem..” “Ralin,” ucap Uci pada Bian yang berdiri di ambang pintu, ia memang sengaja membuka pintu kamar Adam agar udara bisa mengalir. Kalau bukan dirinya memangnya siapa lagi yang akan mengurus kamar ini? “Jangan Ralin lah,” ucap Bian karena ia merasa nama itu diperuntukkan padanya hanya ketika Papa dan Abangnya jengkel. Jadi dia ikutan jengkel dengan nama depannya itu. Belum lagi singkatan akan namanya yang makin membuat gondok. Ralin Abriana Chavali  disingkat teman-teman SMPnya menjadi RAC tikus, benar-benar konyol. “Sini.. ga kangen apa sama abang,” ucap Uci lengkap dengan gerakan tangannya. Memang Bian lah yang paling jarang memasuki kamar Adam bahkan setelah enam tahun tapi dia terlihat sudah tidak apa-apa. Namun seperti kata pepatah, hati seseorang siapa yang tahu? Siapa juga yang akan sanggup baik-baik saja ketika satu-satunya saudaramu yang selalu ada untuk mu direnggut oleh kematian? Tak hanya sosok Abang yang Bang Adamnya berikan pada Bian. Almarhum Abangnya itu bahkan memberikan sosok Mama, Sepupu dan Teman sebaya, tak heran jika Bian selalu mencerikatakan apapun pada sang Abang termasuk pengalaman mens pertamanya. “Abang selalu ada kok Kak, kadang memang sepi,” ucap Bian lalu bergabung dengan Kak Uci tiduran di ranjang. Bian bukan jenis adik yang sering memeluk Uci namun hari ini ia melakukannya, dalam diam ia bersyukur akan bukti nyata kasih sayang sang Abang padanya, bahkan sang Abang tidak benar-benar meninggalkannya sendiri. Ia ditinggalkan dengan malaikat cantik yang selalu ada sampai saat ini meskipun tidak jarang si malaikat itu menangis mengingat Abang. “Kamu putus ya?” tanya Uci tiba-tiba. “Mulai lagi kan.. memang kapan aku jadian sama cowok yang Bang Raka sodorin? Ckckck,” decak Bian sebal, pasti Papanya yang cerita ke Kakak. “Mungkin bukan cowok yang Raka sodorin,” ucap Uci yang memang sudah mengamati gerak-gerik Adiknya beberapa bulan ini. Kadang Bian tampak semangat sekali tak jarang senyum-senyum sendiri tapi kadang, seperti beberapa hari belakangan, murung dan agak pendiam. Bian melerai pelukan dan tampak berpikir sebentar. Karena posisinya yang miring ke kiri, Bian langsung bertatapan dengan wajah Abangnya yang dipajang di dinding dengan pipi kiri dan kanannya yang dicium dirinya dan Kak Uci. Abangnya selalu saja menangkap basah dirinya ingin berbuat sesuatu sehingga Bian membatalkan niat untuk membicarakan Bang Reza pada Kak Uci. “Papa bilang minggu ini setelah ujian kamu libur kan?” “Aku sibuk kalo kita cuma mau bikin aku sama kenalan Bang Raka terjebak sama kalian seharian, mana hobi Kakak sama mantan Kakak itu serem pula. Ogah.” “Bukanlah. Kita ke Adam, yuk.” “O-ow, bisa dicukur kanjeng prabu kepalaku kalo Kakak malah ngunjungin Abang alih-alih memikirkan Bang Ejak,” ucap Bian membatin. “Tapi..kenapa pula Abangku yang harus disalahkan atas ketidakbecusan Bang Ejak mengolah Kakak?” gumam Bian pada dirinya sendiri. “Maksudnya?” tanya Uci yang tidak begitu menangkap apa yang Bian katakan. “Eh, apa tadi Kak?” “Mau ga nih?” tanya Uci yang menyadari sang Adik malah melamun. Kemudian keduanya kaget merasakan getar hape di dekat kepala mereka, belum sempat Uci memarahi Bian karena masih saja tidak mengerti dengan akibat radiasi ponsel si Adik sudah terlebih dahulu bicara dengan orang di seberang sana. “Ada.” “...” “Iya, Bang.” Begitu sambungan telepon dimatikan Bian menghadap Kakaknya dengan wajah bingung. “Kakak disuruh Bang Raka ke depan, dia nungu depan pagar. Aneh-aneh aja si Abang, yuk samperin,” ucap Bian. Bian dan pacar Abangnya yang sekarang sudah seperti Kakak kandung baginya itu berjalan beriringan menuju Bang Raka yang berada di balik pagar. “Oi Bang! Kan bisa langsung masuk...” panggil Bian, ia mendapati pagar rumahnya bahkan tidak tertutup, pasti Kak Uci yang lupa menutupnya. Namun yang terjadi selanjutnya mampu membuat Bian terdiam. Bang Raka mengambil tangan Kakaknya lalu dibungkusnya dengan kedua tangannya. Apa ini? Tanya Bian dalam hati karena bukan seperti ini Bang Raka pada Kak Ucinya yang ia tahu. “Ci gue siapa?” “Hah? Lo mabuk lagi? Ini masih siang, kampr-” “Gue siapa? Kenapa ga lo jawab aja apa yang gue tanya?” desak Bang Raka gusar. Yang Bian tidak paham di sini adalah kenapa bang Raka menanyakan pertanyaan aneh itu? “Lo Raka Aditya Orlando.” jawab Kak Uci malas. “Aduuh.. Drama lagi euy, pasti bentar lagi si Abang pengen dibilang ganteng tiada tara,” bisik Bian pada dirinya sendiri. Hapal luar kepala Bian mah kalau soal Bang Raka. “Siapanya elo, Ci?” “Mantan.” “Siapanya elo, Ci?” tanya nya lagi dengan kalimat yang persis sama dengan sebelumnya, sepertinya Bang Raka tidak puas dengan jawaban Kak Uci. “Jangan bilang lo mau gue ngomong kalo lo mantan terindah gue, gue tampol lo, Ka! Gue masih marah sama lo soal mereka,” tampaknya Bian harus tanya ke Kakaknya apa yang Bang Raka perbuat sampai Kakak marah lagi. “Please.. apa gue cuma mantan?” Bian melihat Kakaknya terdiam lama dan kemudian menjawab, “Lo temen gue.” “Makasih,” ucap Bang Raka dan langsung memeluk Kakaknya. Itu Kakaknya Bian loh yang lagi di pelukin Bang Raka. “Makasih, karena lo udah pinter banget,” tapi yang Bian dengar seakan-akan Bang Raka berkata, “makasih, karena hanya dengan status teman gue bisa meluk lo.” Bian menegang di tempat melihat sesuatu yang ajaib seperti ini, badannya semakin kaku karena sepersekian menit matanya dan mata bang Raka bertemu lalu seakan tak peduli pada kehadirannya, Bang Raka kembali memejamkan mata dan membawa tubuh Ksakaknya merapat. Bian merinding gila dan refleks memegang jilbab bagian leher sama seperti kebiasaannya. Si Adik langsung putar badan menjauh dengan langkah besar namun saat berada beberapa meter dari keduanya ia berhenti. “Bukan muhrim!” teriaknya tanpa menoleh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD