3.3

695 Words
Ralin Abriana Chavali tidak terbiasa bergaul dengan laki-laki sekalipun itu pacarnya, pacarnya yang saat ini sedang menatap marah padanya. Berbanding terbalik jika laki-laki itu adalah Adri karena laki-laki yang terus Bang Raka sodorkan padanya itu benar-benar persis Bang Raka sendiri yang telah Bian kenal semenjak ia puber. Itulah kenapa Bian sering lari ke cafe Adri jika pikirannya suntuk. Namun begitu Bian menyadari bahwa laki-laki yang sudah memacarinya setengah tahun ini berbeda, karena dalam diam Bian menyimpan rasa untuknya. “Kamu cari siapa?” tanya Bian bodoh. Ia dengan bodohnya berbalik ke arah teman sekelasnya yang terburu-buru keluar, mengejar mata kuliah lain yang mungkin sudah dimulai. “...” “Aa.. cari aku ya?” tanyanya lagi. Bian salah tingkah karena Dafka hanya menatapnya. “Ya.. aku punya sesuatu untuk disampaikan.” “Em.. baiklah, aku punya waktu seharian untuk mendengarkan.” “Tidak butuh waktu kamu seharian karena aku hanya ingin kita putus, kamu tidak berpikir aku akan mengajak makan malam hanya untuk sebuah kata putus bukan, Ralin?” Bian menahan napas mendengar ucapan menusuk dari Dafka barusan. Meski ratusan kali mempersiapkan diri untuk hal ini, nyatanya mendengar kata putus tetap membuat jantungnya berdegub menyakitkan. Bian tau cepat atau lambat hari ini akan tiba, Dafka tidak pernah benar-benar ingin pacaran dengannya. Mungkin pria di samping ini sudah tidak butuh dirinya lagi untuk berurusan dengan papanya, Erwin Chavali. Bian bersumpah ini lebih menyakitkan di banding melihat kak Uci diam-diam menangisi Aabangnya, namun kemana air matanya? Ataukan segala yang Bian punya untuk Dafka bukanlah cinta? “Apa kamu ingin melakukan instruksi atau semacamnya?” tanya Dafka menatapnya malas. “Instruksi? Kita tidak sedang mengadakan rapat atau semacamnya, kamu boleh pergi karena ternyata benar, tidak butuh waktuku seharian untuk mendengarkan ini,” tapi butuh waktu lebih dari seharian bagi Bian untuk meresapi apa yang satu menit lalu Dafka katakan. Bian berlalu tepat ke arah dimana punggung Dafka menghadap. Enam bulan pacaran dan baru hari ini Bian bisa begitu dekat hingga bisa mencium wangi cowok itu, hal yang tiba-tiba saja membuat matanya berkaca-kaca. “Aku beruntung memutuskan kamu hari ini,” ucap Dafka yang membuat langkah Bian berhenti. “Karena kamu memang tidak pantas disayangi oleh laki-laki manapun,” sambungnya  tanpa perasaan. Bian syok mendengar kalimat yang bahkan jauh lebih tajam dari kalimat putus tadi, ia berbalik dengan kasar sehingga air matanya tumpah, “Kamu beruntung karena jika Abangku masih ada, kamu akan berlutut memohon ampun padaku,” ucap Bian sebelum ia benar-benar berlari meninggalkan Dafka dan segala misteri tentang cowok itu. >>>>  Di atas ranjangnya, Raka sedang memeluk Uci yang sesenggukan. Tatapan pria itu kosong dengan satu tangan yang tetap mengelus kepala mantan pacarnya. Ia sudah tau apa yang mengacaukan Uci dan ternyata hal itu juga mampu mengacaukan dirinya sendiri. Lusa? Raka tidak pernah menyangka bahwa musibah akan mendatanginya secepat ini. Raka menyadari kebodohannya. Enam tahun ia habiskan hanya untuk bermain-main seolah Reza akan melupakan Uci seiring dengan berjalannya waktu. Ia bahkan dengan bodohnya tidak belajar pada diri sendiri. Dirinya saja yang sudah sepuluh tahun putus dari Uci bahkan tidak pernah benar-benar sanggup menghilangkan bayang gadis itu. Lalu bagaimana ia harus hidup kedepannya? “Kenapa waktu itu lo nyamperin gue?” tanya Raka mengingat pertemuan pertama mereka. “Karena lo cowok paling tampan saat itu,” jawab Uci dengan suara sengaunya. Raka tertawa sumbang. Cowok paling tampan? Bahkan disaat alasan kenapa Uci kuliah di sana sebenarnya adalah Reza Alaric Sagara???? Kemudian sosok lain yang bersarang dalam otaknya, seseorang yang selalu mengingatkan Raka pada tempatnya, menyadarkan Raka bahwa sedari awal ia sudah kalah. Ia hanyalah pelarian bagi Uci. Mungkin juga untuk membuat Reza cemburu dan sialnya Raka malah berteman baik dengan Reza. “Gue ga bisa liat lo nikah sama Reza, Ci, gue ga akan pura-pura seakan semuanya akan tetap baik-baik aja. Gue ga akan bisa.” “Gue ga akan nikah sama Reza, Ka.. lo jangan nakut-nakutin gue,” ucap Uci menatap Raka sehingga pelukan Raka terlepas. “Kalau gitu ikut gue ketemu Ibu ya, Ci.” Ucapnya memohon tapi tidak mendapat respon apapun dari Uci. “Kapan gue pernah nolak permintaan lo, Ci? Besok pagi gue pulang dan gue bener-bener ingin lo ikut.” “Ikut lo pulang ga akan ngerubah posisi Adam, Ka,” rengek Uci yang sudah kehabisan akal, Raka mulai mengusik ketenangan yang sejak tadi cowok itu berikan padanya. “Tapi dengan ikut pulang lo ga harus hadir di lamaran itu, Ci. Alwi Sagara punya harga diri selangit dan dengan engga adanya lo di sana maka beliau akan mempertimbangkan ulang semuanya,” ucap Raka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD