Hari sudah malam saat aku menginjakkan kaki di gedung apartemen ini. Lupa kalau aku belum makan malam di pukul sepuluh ini langkahku berbalik menuju salah satu mini market 24 jam yang letaknya beberapa meter dari apartemen. Kakiku hampir kaku rasanya karena stilletto pembawa maut ini. Kenapa akutuh nggak pernah punya hubungan mesra dengan high heels, padahal aku begitu menyukai mereka. Hampir sebagian besar koleksi sepatuku adalah high heels dengan berbagai jenis.
Duduk di pinggiran trotoar aku melepas sepatu terkutuk ini dari kakiku. Rasanya maknyus sekali kena terpaan angin kaki telanjangku. Aku membiarkan saja kakiku dalam posisi seperti ini selama beberapa menit.
"Cinta satu malam..., oh indahnya..., cinta satu malam buatku melayang, walau satu malam akan slalu ku kenang slama-lamanya...," terdengar suara seseorang sedang bernyanyi sambil bersiul di belakangku. Aku tahu itu suara siapa, tapi aku sama sekali nggak berniat untuk menoleh ke asal suara itu.
"Jamilah? Lo ngapain di sini?" tegur si bocah tengil karena aku nggak merespon nyanyian kutukannya itu, kemudian ikut duduk di sampingku.
Aku melirik penampilannya. Dia memakai celana ripped jeans dan jaket jamper hitam, tak ketinggalan headphone yang melingkar di lehernya. Rambut yang biasanya dimohawk sekarang dibiarkan jatuh menutupi keningnya. Dia cute dan manis sebenarnya, tapi kalau teringat setiap ulah jahil dan nyebelinnya serasa menyesal telah memujinya cute dan manis.
"Iya lah pulang kerja. Emangnya elo? Pengangguran nggak jelas," jawabku ketus sambil memijati tumitku.
"Kaki lo kenapa?" tanya si tengil tanpa memedulikan ejekanku.
"Nggak apa-apa." Aku bergegas mengenakan sepatuku, beranjak dan melanjutkan langkah menuju tempat yang aku ingin tuju tadi.
Si tengil berjalan cepat mendahuluiku. Tiba-tiba dia berhenti tepat di hadapanku, lalu berjongkok membelakangiku.
"Eh..., mau ngapain lo, ngil?"
"Naik ke punggung gue gih, gue antar ke manapun lo mau pergi."
"Nggak sudi gue."
Si tengil berdiri lalu membuka tas ranselnya. Dia mengeluarkan sepasang sandal dan meletakkan tepat di depan kakiku. "Lo pakek itu aja," ujarnya.
"Kalo lo maksa jalan dengan kaki kayak gitu, gue yakin kaki lo bengkak dan besok lo nggak bisa kerja. Mau?"
Dengan berat hati aku melepas sepatuku dan mengenakan sandal milik tengil yang sedikit kebesaran di kakiku. Tengil mengambil sepasang sepatuku lalu memasukkan ke dalam tasnya.
"Sandal gue kenapa jadi manis gitu ya dikaki mulus lo," celetuk tengil saat kami melanjutkan langkah setelah bersepakat untuk tidak mempeributkan apa pun lagi.
"Lo merhatiin paha gue apa sandal buluk lo, huh?"
"Paha lo," jawabnya jujur lalu nyengir bodoh.
"Biadab lo ya. Dasar brondong m***m, kurang ajar!" Aku memukuli kepalanya dengas tasku. Tengil malah tertawa sambil melindungi kepalanya dengan tangan dari serangan tasku yang bertubi-tubi.
"Lo-nya mancing banget, Jamilah. Coba lo nggak pakai rok semini itu, ya gue santai. Kalau gini kan gue jadi de javu sama kejadian malam itu."
Aku berdecak lalu mendengkus kesal. Menahan malu dan kesal aku berjalan lebih cepat meninggalkan tengil di belakang.
Sesampainya di mini market, aku segera mencari rak persediaan camilan dan mengambil beberapa bungkus snack kesukaanku, mie instant, wafer, minuman dingin serta ice cream.
"Eh, Jamilah, lo mau jadi SPG-nya Pop Mie?" Komentar tengil saat aku sudah berada di meja kasir siap untuk membayar belanjaanku.
"Iyeee. Masalah buat lo?"
"Gue kan nanyaknya baik-baik Jamilah."
Setelah menyelesaikan p********n belanjaanku, tengil menerima kantong belanjaan yang diberikan oleh mbak kasir yang tersenyum salah tingkah hanya karena ucapan terima kasih dan tambahan senyum dari bocah tengil.
"Ganjen lo, ngil! Pakai acara godain kasir tadi!" komentarku setelah kami berada di luar mini market.
"Jealous lo?"
"Dih, amit-amit. Siniin belanjaan gue!"
"Biar gue aja sih yang bawain," tengil malah menjauhkan belanjaannya dariku.
"Mau ambil ice cream kali, ngil."
Tengil mengangguk paham lalu menyodorkan salah satu kantong belanjaan tersebut. Aku mengeluarkan dua vanila ice cream dari dalam sana. Satu untukku dan satu lagi untuk tengil. Bagaimana pun juga dia cukup membantuku malam ini. Anggap saja ini sebagai wujud rasa terima kasihku.
"Lo kenapa sih, benci banget sama gue Mil?" tanya tengil tiba-tiba.
"Pertama, karena lo manggil gue Jamilah, padahal lo tau nama asli gue bahkan nama panjang gue yang sama sekali nggak ada unsur Jamilahnya. Kedua, lo kurang ajar banget sih anaknya, nggak menghormati gue sama sekali sebagai yang jauh lebih tua dari lo. Ketiga, karena lo nggak pernah nyeritain apa yang terjadi pada kita malam itu."
Tengil tertawa. Dia memintaku duduk di pinggiran trotoar tempat tadi aku merutuki sepatu mahalku.
"Ternyata banyak faktor x nya ya kenapa lo bisa benci sama gue. Tapi bukannya lo juga kayak gitu ya. Lo manggil gue bocah tengil, padahal lo sendiri tau nama gue bahkan nama panjang gue."
"Lo yang mulai duluan, tengil."
Aku lalu teringat momen di mana dia mulai memanggilku Jamilah beberapa beberapa bulan yang lalu. Waktu itu aku sedang meeting bersama tim produksi untuk membahas konten yang diinginkan oleh klien. Aku dan tim saat itu sedang berada di puncak-puncaknya stres.
Gimana enggak? Aku menghadapi klien yang minta banget dibakar hidup-hidup. Konten yang akan siap diluncurkan di media sosial yang sesuai dengan permintaannya dan kesepakatan bersama, tiba-tiba minta diubah dengan alasan kurang sreg dengan design yang telah dibuat oleh tim kreatif. Padahal sebelumnya sudah aku tanyakan apa designnya sudah sesuai dengan permintaan, klien tersebut bilang oke. Pada saat sudah final malah bilang kurang sreg, ditanya kenapa, nggak ada jawaban lain selain kurang sreg. Entah azab apa yang akan diterima oleh klien model begitu.
Nah singkat kata, si tengil ini ternyata sedang nongkrong gitu dengan teman-temannya. Mejanya nggak terlalu jauh dari mejaku. Tiba-tiba dengan nggak tahu malunya dia nyanyi sekencang-kencangnya lagu yang sedang viral saat itu.
"Mil, Mil, nama lo jadi lagu tik tok goyang dua jari nih," teriak bocah itu dari mejanya, kemudian bernyanyi, "Aaaa....aisyah kujatuh cinta...pa...pada Jamilah..." sambil menirukan gerakan goyang dua jari yang juga sedang viral saat itu.
"Nih bocah ngapa yak?" dumelku dalam hati lalu menunduk sedalam-dalamnya menahan malu.
Sejak detik itu manusia yang paling ingin aku hindari saat berpapasan di jalan kalau nggak pengin menanggung malu seumur hidup adalah si tengil itu. Setelah hari itu setiap kali papasan denganku di lorong, di lift, di lobi, pokoknya di manapun, dia selalu nyanyi-nyanyi nggak jelas lagu apa saja yang ada unsur nama Jamilahnya. Hubungan kami yang awalnya biasa-biasa saja sebatas tetangga unit apartemen berubah menjadi seperti tom and jerry yang selalu berdebat dan bertengkar di mana pun dan kapan pun kami bertemu.
Tengil terbahak saat aku mengingatkan kenapa aku segitu bencinya sama dia.
"Gangguin lo itu seperti kebutuhan primer buat gue, Mil," kata tengil. Ibu jarinya terulur untuk mengusap bekas ice cream yang menempel di sekitar bibirku. Dia lalu memasukkan ibu jarinya tadi ke dalam mulutnya.
"Jorok lo, ngil," ujarku mendapati kelakuan bocah di sampingku ini.
Dia hanya tertawa kemudian mengajakku melanjutkan perjalanan kembali ke apartemen.
"Ngil, serius deh gue nanyanya. Sekali ini aja lo jawab jujur," tanyaku sungguh-sungguh saat tengil mengantar hingga ke depan pintu unitku.
"Mau nanya apa? Serius amat muka lo kayak muka host katakan putus."
"Taelah si tengil. Sumpah, gue mau serius ini, ngil."
"Lo mau serius sama gue? Waaah..., mimpi apa gue semalam Jamilah? Jangan dadakan gini dong, Mil. Gue cari momen dan tempat yang romantis dulu ya, biar berkesan gitu," ujar tengil tak ketinggalan menaik turunkan alisnya.
Aku memukul kepalanya supaya bocah ini sadar dan dan segera mewaraskan diri dari segala pikiran ngelanturnya.
"Masa sih lo nggak ingat kita malam itu ngapain aja, ngil? Sumpah ya, gue stres banget mikirin itu. Masa kita langsung gituan? Nggak pakai foreplay gitu? Trus lo pakai kondom nggak? Trus juga kalau lo nggak sempet pakai kondom lo ngeluarinnya di luar apa di dalam?"
Tak ada jawaban, tengil malah ambil kuda-kuda untuk menyingkir dari hadapanku. Aku meraih juntaian rambut belakangnya lalu menarik sekuat tenaga.
"Sakit, Mil, sakit..., ampun Jamilah!"
"Mau ke mana lo? Jawab pertanyaan gue tengil!"
"Gue lupa. Sumpah demi lo jadi pacar gue, kalo gue beneran nggak ingat apa-apa."
Aku semakin menarik rambut tengil bahkan menghentakkan kepalanya hingga beberapa kali.
"Mil, belum jadi bini gue lo udah KDRT sama gue."
"Bodo amat. Jawab pertanyaan gue!"
Mungkin karena aku terlalu keras menarik kepala tengil tubuhnya terpelanting ke arahku dan terhuyung menimpa tubuhku. Aku yang nggak siap dengan kedatangan tubuh tengil hanya bisa pasrah saat tubuhku jatuh ke lantai. Minimal aku akan mengalami encok dan gegar otak ringan setelah ini.
Ternyata aku salah. Tengil lebih gercep saat menangkap tubuhku. Meski pada akhirnya kami sama-sama terjatuh ke lantai, tapi kedua tangan tengil berada di bawah kepala dan pinggangku. Di saat posisi kami yang sangat menguntungkan tengil ini belum berubah, tetangga kami yang lain keluar. Sepertinya mereka mendengar kegaduhan yang terjadi di depan kamar masing-masing.
"Woy, kalau mau enaena di dalam sana. Anak muda jaman sekarang ya. Masa foreplay di koridor sih? Apa enaknya?" ucap salah seorang pemilik unit yang berada tepat di depan unitku ini.
"Oh..., ini nggak kayak yang bapak lihat kok. Ini cuma insiden nggak terduga," jawabku, kemudian mendorong tubuh tengil yang masih bertahan di atas tubuhku.
"Insiden kecelakaan? Insiden kok posisinya bisa pas banget gitu? Kayak udah pro aja," Dan komentar-komentar nyinyir lain mulai berdatangan.
Aku bergegas membuka pintu unitku dan melempar pintu sekencang-kencangnya setelah berada di dalamnya. Aku berteriak sekencang-kencangnya setelah berada di dalam unitku untuk meluapkan rasa kesal dan malu. Oh My God, dosa apa yang sudah aku lakukan di masalalu sampai hal sememalukan seperti tadi harus menimpaku. Ini tuh lebih drama daripada drama Korea yang ratingnya tembus delapan persen saat penayangan episode pertama, apalagi drama kantor antara aku dan creative yang sering kali saling ngomongin keburukan kerjaan masing-masing di belakang. Mau bernapas dalam kubur rasanya kalau sudah begini.
~~~
^vee^