Prolog
Hari ini adalah perayaan anniversary yang ketiga hubunganku dengan Jidan. Dia kekasih terbaikku selama tiga tahun ini. Awalnya kami kenal dari sejak duduk di bangku kuliah, tapi kami baru memutuskan untuk menjalin hubungan setelah mantap bekerja di perusahaan masing-masing.
Dari sejak sore aku sudah mematut diri di depan cermin. Smoothing rambut, cek. Luluran, cek. Cukur bulu ketek, cek. Nggak penting sih itu. Yang jelas aku sudah merasa perfect sama dandananku. Dress ketat, tanpa lengan, panjang rok di atas lutut warna broken white sudah menyempurnakan penampilanku untuk acara spesial malam ini.
"Mirror, mirror on the world..., siapa perempuan paling cantik di dunia ini? Who? Me?" Aku tertawa sendiri melihat tingkah konyolku di cermin setinggi tubuhku ini.
Sekitar pukul enam sore Jidan menghubungi kalau agak telat karena macet yang merajalela. Dia mengomel sepanjang telepon membahas soal kemacetan, persis seperti reporter berita yang sedang mengabarkan kondisi lalu lintas di pagi hari. Mentang-mentang pernah tinggal di Singapore satu tahun, Jidan selalu membandingkan kondisi lalu lintas Singapore dengan Jakarta. Yang terkadang membuat aku jengah mendengarkan semua omong kosongnya itu. Untung sayang, kalau benci sudah aku tendang b****g tipisnya itu sampai Pekayon.
"Jamilah mau ke mana?" Suara yang bikin telinga gatal itu menyapaku saat aku melintas di depan unit 109.
"Mau dating lah. Situ tahu kan artinya dating? Kencan, pacaran? You know what i mean nggak?"
Laki-laki yang memanggilku Jamilah tadi tertawa hingga kepalanya tertunduk.
"Ajak abang dong Jamilah," ujarnya sambil menaik turunkan alis tebalnya.
"Idih ogah. Alergi gue lihat muke lo. Jauh-jauh sono! Dan satu lagi, nama gue bukan Jamilah. Jangan asal ganti nama orang deh lo! Tahu nggak kalau nama itu diselametin pakek bubur tujuh warna."
Dia lagi-lagi tertawa kali ini membuat matanya menyipit.
"Sinting lo ye? Ketawa mulu daritadi."
"Ya Jamilah kau gadis ayu..., sayang mulut lo nggak ada ayu-ayunya sama sekali."
Aku melempar kepalanya dengan sling bag branded satu-satunya yang aku punya.
"Lo kenapa ngeselin banget sih kunyuk? Hidup lo kurang menarik ya? Makanya caper banget sama gue?"
"Siapa yang caper? Lo nya aja tuh yang tiap hari lewat depan unit gue. Jadi yang caper gue apa lo?"
"Kampret lo! Ya emang jalan keluar dari lorong ini harus lewat depan unit lo! Kalau aja ada jalan lain, nggak sudi gue lewat depan unit lo."
"Lo benci banget sama gue awas jadi cinta mati lo sama gue, Jamilah!"
Aku merunduk hendak meraih high heels dari kakiku untuk menutup mulut kurang ajar laki-laki tengil di hadapanku ini. Dia bergegas masuk lalu menutup pintu unit apartemennya.
Astagadragon.... alien satu itu merusak mood saja kerjaannya. Dasar brondong pengangguran. Ugh sebel deh.
Saat hendak masuk lift si bocah tengil itu melongok dari pintu unit apartemennya sambil teriak, "Jamilah?! Aku mau melamarmu, bulan depan kita ke penghulu."
Dengan kesal aku mengacungkan kedua jari tengahku padanya. Bukannya marah laki-laki itu malah tertawa lalu memberikan kecup jauh padaku. Seluruh tubuhku langsung merinding gara-gara ulahnya.
(***)
Di dalam restoran mewah yang sudah aku reservasi atas namaku ini, aku menunggu kedatangan Jidan. Namun sudah hampir satu jam aku menunggu dia belum juga menampakkan batang hidungnya. Mau nangis rasanya. Sudahlah nggak jadi makan enak, aku pun batal kencan untuk merayakan anniversary ku dengan Jidan.
Padahal untuk bisa makan di tempat mahal ini, aku harus merogoh kocek dalam dengan merelakan separuh gajiku bulan ini. Semua demi Jidan. And then, Lima menit yang lalu dia malah menghubungi kalau nggak bisa datang malam ini dikarenakan harus mengurusi klien penting firma hukum tempatnya bekerja yang tersandung kasus tabrak lari.
Dem! Kenapa nggak bilang daritadi kek, jadi kan gue nggak mesti nungguin kayak orang bego gini.
Aku pun meninggalkan restauran ini dengan langkah lesu. Menyusuri trotoar malam hari dengan mengenakan pakaian seperti semini ini nggak pernah terlintas sama sekali dalam planningku hari ini. Membuang kesal aku menendang sebuah batu yang berada di atas trotoar. Menganggap batu itu adalah kepala Jidan. Sayang sekali, perbuatan bodohku itu malah membuat kakiku terkilir. Sialan!
Aku duduk di sebuah bangku taman untuk mengistirahatkan kakiku. Sedang memijat kakiku yang terkilir tadi, aku melihat mobil yang aku kenal dengan baik sebagai milik Jidan, melintas di samping trotoar. Karena kaca jendelanya diturunkan penuh, aku bisa melihat kalau disampingnya adalah seorang perempuan. Mata jeliku mengikuti kemana arah tujuan mobil tersebut. Ternyata memasuki sebuah hotel yang letaknya tidak jauh dari tempatku duduk saat ini. Melupakan nyeri di tumit, aku mempercepat langkah supaya bisa segera sampai hotel itu untuk memastikan apa itu Jidan atau bukan.
Aku datang tepat waktu. Laki-laki itu sedang berdiri di depan meja resepsionis sambil merangkul pinggang perempuan. Tanpa canggung aku melepas high heels k*****t ini, lalu berjalan telanjang kaki sambil menenteng sepatu.
"Emang laki-laki b******n lo ye?" Aku memekik setelah berada di belakang Jidan. Tanpa ampun aku melempar kepalanya dengan sepasang sepatu mahal ini. Aku nggak akan mengampuni laki-laki ini.
"Mil, dengerin dulu penjelasanku," Jidan menahan tanganku yang hendak menghajarnya lagi.
"Makan itu penjelasan lo. Dasar buaya lo ye! Penipu..., pengkhianat...., pembohong!" Aku berteriak seperti orang kesetanan.
"Aku nggak kayak gitu, Mil. Aku ada urusan kerjaan di sini. Ini nggak kayak yang kamu tuduhkan."
Jidan berusaha memeluk gue. "Lepasin gue!" Aku menendang perutnya dengan lututku. Dia mengaduh sampai terduduk di lantai keramik hotel bintang tiga ini.
"Kita putus!" Aku melepas cincin pemberian laki-laki b******k ini dua tahun yang lalu dan melempar benda bundar warna perak dari jariku tepat mengenai hidungnya. Aku pergi begitu saja meski dia terus meneriakkan namaku hingga seluruh penjuru hotel ini mendengarkan rengekan palsunya.
Aku menghubungi salah satu teman kantorku. Kata orang-orang sekantor dia itu ratu clubbing. Dengan senang hati Prisil menemaniku minum sampai batas kuota untuk alkohol di perutku penuh.
"Trus lo putus sama pacar lo yang pengacara kondang itu?"
"Iya, Sil. Dan sekarang gue nyesel," ucapku sambil menangis tersedu dalam keadaan setengah sadar.
Prisil tertawa lalu melarangku untuk meneguk kembali minuman setan yang membuat kesadaranku tersisa setengah ini.
"Udah, Mil. Mending lo balik. Besok lo ada janji ketemu klie kan untuk proses closing. Project besar loh besok. Jangan sampai pak Anwar ngamuk kalau sampai klien itu membatalkan projectnya."
Aku setuju dengan ucapan Prisil. Kami lalu meninggalkan klab malam setelah menandaskan minuman di gelas terakhir kami masing-masing. Aku menolak saat Prisil menawarkan akan mengantarku sampai ke unit apartemen. Sudah bagus dia mau menemaniku minum, mengantarku pulang pula. Ngelunjak namanya kalau masih minta diantar sampai unit apartemenku.
Keluar dari lift aku melangkah gontai menyusuri koridor menuju unit apartemenku. Aku berpegangan pada dinding koridor untuk memastikan tubuhku nggak limbung ke lantai, karena sudah beberapa kali aku kehilangan keseimbangan sejak masuk gedung apartemen ini.
Di depan pintu unit apartemen pandanganku tiba-tiba kabur. Aku nggak bisa melihat jelas nomor unit yang menggantung di pintu. Apakah 109 atau 108. Setelah mendelik dan yakin itu nomor unit apartemenku aku mengarahkan anak kunci pada gagang pintu unitku. Nggak mau terbuka juga. Aku mencoba sekali lagi. Setelah tiga kali mencoba memutar anak kunci, pintu akhirnya terbuka dan tubuhku jatuh begitu saja.
Ponselku berbunyi nyaring. Aku kira panggilan telepon ternyata alarm pagi hari yang mengganggu tidur lelapku. Aku berusaha mencari asal suara alarm itu. Tiba-tiba ponselku sudah berada di atas telapak tanganku. Saat aku membuka mata, seketika mataku mendelik.
"Lo kenapa bisa ada di dalam unit gue?" teriakku sekencang-kencangnya.
Si brondong hippie ini menutup kedua telinganya. "Berisik lo, Jamilah! Udah numpang tidur, bukannya terima kasih malah bangun-bangun teriak kayak orang gila."
"Numpang tidur? Maksud lo?"
"Buka tuh mata sekarang lo lagi di mana?"
Aku menatap ke sekeliling ruangan dan mendapati kalau ini memang bukan unitku. Dan yang parahnya lagi saat ini aku hanya mengenakan tanktop dan celana dalam. Truuus... Dress mahalku kemana? Siapa yang membuka? Tujuannya apa?
Oh My God....tenggelamkan aku di rawa-rawa, tolooong!!! Ini semua gara-gara Jidan yang membuat semuanya jadi kacau begini.
~~~
^vee^