"Baju gue mana, ngil?" Pekikku, saat menyadari telah kehilangan dress seharga android buatan Cina.
Si bocah tengil itu mencibir lalu berbaring di sampingku. Dia menyilangkan kedua tangannya di bawah bantal. "Gue nggak tau. Lo yang buka sendiri, lo juga yang ngelempar entah ke mana," jawabnya santai kemudian bersiul riang.
"Tengil?! b******k lo ya. Cerita sama gue apa yang terjadi semalam!?"
"Jamilah! Bisa nggak, lo ngomongnya kaleman dikit? Budeg gue lama-lama kalau sering denger suara lo yang melengking delapan oktaf gitu. Kalah Agnez Mo sama lengkingan suara lo."
"Bodo amat ya. Sekarang lo cerita atau gue hancurin apartemen lo!"
"Gue nggak tau. Tiba-tiba aja lo datang dalam keadaan mabuk ke apartemen gue. Trus lo ambruk gitu aja. Pas gue nyoba nolongin elo, eh, elonya malah nyosor gue duluan."
"STOOOP IT TENGIL?!"
"Labil banget ya lo? Tadi minta diceritain, sekarang lo nyuruh nyetop. Lo kira gue metro mini maen setop di sembarang tempat?"
"BOHONG BANGET SIH CERITA LO!?"
"Jamilah, sekali lagi lo tereak gue cipok juga ya!"
Aku langsung bungkam seribu bahasa. Aku menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhku. Bibirku sudah mencebik bersiap untuk menangis. Namun tiba-tiba aku teringat kenapa menyetel alarm sepagi ini.
Seketika aku terbangun sambil menarik selimut yang kupakai untuk menutup tubuhku. Aku ada pitching dengan klien potensial. Saat itu juga tubuh bocah tengil yang hanya mengenakan boxer ketat dan kaus dalam terekspose oleh mataku. Spontan aku berteriak histeris sambil menutup wajahku.
"Apa lagi ini, Jamilah?" tanya si tengil dengan santainya.
"Lo kenapa nggak pakai celana sih?"
"Ini apa?" Dengan santai dia menunjuk boxer putihnya.
"Ish..., bukan itu maksud gue. Celana kolor kek gitu."
"Lo kenapa? Kayak nggak pernah lihat cowok pakek ginian. Emangnya lo nggak pernah lihat punya cowok lo? Jangan-jangan masih perawan lo ya? Kalau pacaran ngapain aja lo? Main bekel?" Dia lantas terbahak sampai memegangi perutnya, seolah baru saja mendengar lelucon terlucu sepanjang masa.
"b******k emang lo." Aku melempar si bocah tengil tadi dengan jam digital yang ada di atas nakas. Dia berhasil menangkis lemparanku lalu kembali terbahak setelahnya.
"Nggak kenak..., nggak kenak!" ledeknya seraya menjulurkan lidahnya seperti bocah.
Sambil melindungi tubuhku dengan selimut, aku terus mencari keberadaan dress-ku. Ternyata ada di luar kamar. Di atas pinggiran sofa tepatnya.
Astagadragon, gue abis ngapain memangnya semalam sampai baju dan dandanan gue kocar kacir gini???
Setelah mengenakan kembali dress-ku di kamar mandi, aku kembali lagi ke kamar si tengil untuk mengambil sling bag-ku.
"Lo masih punya hutang satu cerita sama gue. Awas lo! Jangan kabur dari gue," ancamku kemudian melakukan gerakan memotong leher dengan jemariku.
"Percuma lo ngancem gue. Orang gue aja nggak inget apa-apa kok. Cuma nyisain ini nih!" katanya lalu menunjukkan bekas seperti cakaran di bahu kirinya.
Ponselku berdering melantunkan ringtone khusus teman kantor, yang menandakan kalau salah satu dari teman kantorku pasti sedang kerepotan mencariku. Aku nggak memedulikan lagi bocah tengil yang sedang mengadukan luka di bahunya, persis seperti anak TK sedang mengadu pada emaknya gara-gara berkelahi dengan teman sebayanya.
"Hallo?" jawabku, setelah keluar dari unit bocah tengil.
"Lo di mana, Mil?"
"Gue sudah on the way nih."
"On the way dari mana?"
"Dari apartemen sepuluh menit yang lalu."
"Ya udah buruan!"
Panggilan telepon kumatikan tanpa menjawab sepatah katapun. Kalau masih ada yang bilang sudah on the way padahal belum ngapa-ngapain seperti aku, yakinlah kamu masih tinggal di Indonesia.
Aku lalu asal mandi dan gosok gigi. Semprot parfum sana sini supaya wangi. Dandan ala-ala no make up look padahal emang nggak make-up an, menyambar tas dan laptop kemudian bergegas meninggalkan unitku. Tak ketinggalan kacamata Korean style yang aku beli di Mangga Dua.
Mataku memang nggak minus, tapi aku suka dan wajib pakai kacamata apa pun acaranya, kecuali saat sedang nge-date sama Jidan. Kalau ditanya alasannya, nggak ada alasan. Cuma suka saja gitu. Kesannya seperti aku ini wanita kuat, mandiri dan cerdas ketika sedang mengenakan kacamata. Dan satu lagi, seksi.
Hari ini aku mengenakan pakaian ala kadarnya. Kemeja motif strip dipadu padankan dengan vest warna ice blue. Untuk bawahannya rok jeans warna serupa vest sepanjang lutut dengan belahan menggoda di depannya. Tak ketinggalan ankleboot tanpa heels. Rambut tanpa sempat dicatok ini aku kuncir ekor kuda setinggi-tingginya. Beginilah pakaian kerjaku sehari-hari. Bebas mau pakai baju model apa. Nggak musti pakai pakaian kantor yang super duper rapi. Mau dandan ala-ala girlband Korea juga boleh. Mau pakai celana pendek dan sandal jepit juga nggak bakal ada yang ribut. Yang penting pas ketemu klien kudu pakai pakaian rapi dan wajib bersepatu.
Pekerjaan aku apa tuh? Kok enak banget boleh pakai baju sebebas itu?
Coba sebutkan salah satu pekerjaan terkeren dewasa ini? Jawabannya, anak ahensi! Hah? Apa sih anak ahensi? Itu lho, anak-anak muda kreatif yang bekerja di advertising agency atau digital agency, yang fokus membantu perusahaan memasarkan produk. Kalau anak advertising menggunakan media tradisional seperti TV, radio, majalah, atau billboard, sedangkan digital agency menggunakan media seperti situs, aplikasi, dan media sosial. Jadi jangan kaget kalau melihat ada orang yang berjalan sambil menunduk, menengok ponsel sampai suka main serobot minuman orang atau salah meja pas makan di depot. Pokoknya main ponsel melulu. Duduk, jalan, tidur sampai boker juga melototin ponsel. Bisa jadi salah satu dari orang yang seperti itu adalah anak ahensi. Karena ponsel adalah bagian dari pekerjaan anak ahensi.
Yes, gue anak ahensi...
Sebagai anak digital yang bertugas untuk maintenance media sosial, keluarga dan teman-temanku sering sewot dan protes ketika mereka tahu aku sedang sibuk f*******:-an atau Twitter-an!
"Main hape mulu deh lo, ngobrol dong!" ujar salah satu temanku waktu itu, saat akhirnya aku punya waktu luang untuk ikut hangout bareng.
"Bentar, gue lagi ada kerjaan nih," jawabku, tanpa memindai tatapanku dari ponsel di tanganku.
"Orang lo Twitteran gitu!" celetuk salah seorang temenku yang lain. Mungkin dia mulai kesal padaku.
"Ya emang kerjaan gue begeneeee!" jawabku dengan malas.
Saat aku memeriksa barang bawaanku, taksi online yang kupesan sebelum mandi tadi sudah menghubungi dan mengatakan sudah menjemputku sekitar 25 meter dari depan gedung.
Alamakjang...gue udah rapi jali gini musti jalan kaki.
Di kantor, Wanda sudah menyambutku dengan ekspresi pengin makan orang hidup-hidup.
"Sepuluh menit yang lalu lo berangkat dari mana, Mil? Apartemen lo pindah ke Bekasi?"
"Pindah planet malah. Berisik lo. Muka lo cemberut gitu, entar dempulan wajah lo retak lagi," candaku berusaha meredakan emosi salah satu partner tim pitchingku.
"Biadab mulut lo, Mil."
Aku hanya tertawa meski Wanda mengumpatku. Kemudian atasanku itu nggak membahas lagi soal keterlambatanku. Fokus kami terpusat pada pitching ini. Pesan pak Anwar selaku big boss di Dream High Agency cuma satu, menangin proyek besar ini atau hidup kamu selama setahun ini akan dihantui lembur tiada akhir.
Gimana gue nggak keder? Nggak diancam begitu aja lembur sudah jadi mimpi buruk buat gue. Pantes Jidan selingkuh, lah hidup gue cuma berpusat pada lembur dan lembur. Kurang perhatian dianya.
Setelah dua agency selesai presentasi, barulah giliran timku yang maju untuk melakukan presentasi penawaran kerja sama pada calon klien potensial yang ada di hadapan kami. Aku dan dua temanku berusaha sebaiknya untuk mempresentasikan proposal kami di hadapan klien. Meski pikiranku saat ini sedang berkecamuk memikirkan soal Jidan dan apa yang sudah aku lakukan dengan bocah tengil semalam, aku tetap harus profesional dan memusatkan pikiranku pada pitching kali ini.
Hasil pitching langsung diumumkan hari ini juga. Rasanya pengin sujud syukur setelah mendengar pengumuman kalau klien memilih proposal dari agencyku. Kerja keras timku selama ini akhirnya membuahkan hasil, tim aku menang pitching! Yeay! Aku merasa bangga pada diriku sendiri karena berhasil dipercaya oleh klien untuk menggarap sebuah proyek besar. Rasanya tuh… pengen nyanyi "We Are The Champion" sambil nari-nari bahagia. Nggak percuma aku selama ini rajin lembur.
Menang pitching artinya makan-makan gratis. Lumayanlah ngirit duit makan. Gajiku bulan ini sudah terpotong setengah untuk biaya makan di restauran mewah semalam. Pasti suasana hati big boss sedang dalam kondisi paling bagus besok. Aku juga yakin besok big boss akan menyambutku dengan ramah saat masuk kantor. Mau datang terlambat juga dia nggak bakal merong-merong kayak kucing garong.
Ugh, senangnya dalam hati...
~~~
^vee^