47. Loss of Direction

1146 Words
Beberapa orang terlahir di antara keluarga yang kaya raya, beberapa lagi terlahir di antara keluarga yang berkecukupan. Sebagian terlahir di keluarga sederhana dan sisanya terlahir dalam perjuangan di mana untuk makan saja dia harus mengemis, meminta belas kasihan orang lain dan itu sangat menyedihkan, tetapi begitulah kenyataannya. New York yang terkenal dengan kemegahan kotanya dan hingar bingar kehidupan penduduknya, tak serta merta membuat seisi penduduk di kota itu. Ketimpangan sosial begitu terasa dan hanya sebagian kecil yang peduli pada sesama, sisanya memegang prinsip bahwa mereka hidup hanya untuk diri mereka. Ada pejabat, ada bawahan. Si kaya dan si miskin. Para lelaki yang memakai jas mewah, ke mana-mana dengan mobil mewah dan yang selalu menikmati kemewahan. Namun, jika kamu melihat ke bawah dan ke sekeliling New York, tempat itu benar-benar kumuh. Langit berada di atas dengan segala kemegahannya, tetapi tanah selalu menjadi teman bagi mereka yang mengadu nasib dan bertahan dengan segala yang mereka miliki hanya untuk berhadapan dengan kerasnya dunia. Selena Mahendra ketika berjalan di stasiun kereta, dia mendapati para tunawisma sedang tidur di sana. Memandangnya dengan pandangan menyelidik dan Selena merasa terintimidasi. Namun, hal yang paling membuat Selena takut adalah ... mungkinkah dia juga akan seperti mereka? Tidur beralas kardus dengan pakaian satu-satunya. Mengurik tong sampah hanya untuk mencari remahan. Ya Tuhan, Selena kembali menitihkan air mata. Mendadak ia teringat sang ibu dan bagaimana kondisinya saat ini. “Hah!” Desahan napas itu mengawali langkah Selena memasuki kereta. Setelah hampir seharian menangis, gadis itu akhirnya membuat keputusan. Layaknya para tunawisma yang bertahan sangat keras untuk menghadapi dunia, maka Selena pun harus berjuang. Ini bukan lagi tentang harga diri, tetapi jika menyangkut hidup dan mati, semua orang pun akan melakukan apa pun yang bisa mereka lakukan. Selena bahkan sudah mempersiapkan diri untuk sesuatu yang mengerikan dan sangat mengerikan yang mungkin bisa terjadi padanya. Namun, apa pun yang akan dia lakukan malam ini, Selena hanya bermohon kepada Tuhannya supaya Dia melindungi Selena. ‘Semua ini untuk ayah dan bunda,’ batin gadis itu dalam hati. Dalam kesedihan yang menderanya, Selena pun berpikir bahwa apa yang dilakukan Anthony dan Mariam selama ini hanyalah untuk membahagiakan Selena. Sekalipun tak ada yang bisa membalas budi orang tua, tetapi jika ada yang bisa Selena lakukan untuk mereka, maka Selena seharusnya tak memiliki keraguan untuk melakukannya. “Aku pasti bisa!” gumamnya. Sekali lagi Selena mengentak napasnya dengan kuat. Hanya beberapa menit dan kereta telah tiba di pemberhentian. Selena pun tak ingin membuang banyak waktu dan langsung mengambil langkah menuruni kereta. Selena keluar dan mendapati sebuah taksi baru saja menurunkan penumpang. Ia pun langsung menghampiri tempat itu dan melesak ke dalam mobil. “Tolong antarkan aku di East Side,” ujar Selena. Lelaki yang duduk di belakang kemudi lalu menganggukkan kepalanya. Tanpa berlama-lama, ia langsung menjalankan mobilnya dan membawa Selena dari stasiun kereta apa menuju ke salah satu tempat di Newark. Ada desahan panjang yang kembali teralun dari mulut Selena. Ia pun memutar wajah, membawa pandangannya ke luar pada langit New Jersey yang tampak mendung. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan dan entah mengapa alam bawah sadar Selena semakin mengirimkan perasaan aneh yang kemudian membuatnya sangat gugup dan gelisah. Tiba di East Side, Selena pun menyuruh pria di depannya untuk segera menghentikan mobilnya. Setelah menyerahkan 10 dolar kepada pria di depannya, Selena langsung melesak keluar dari mobil. Ia berdiri sambil memegang kedua sisi coat panjang yang membungkus tubuh mungilnya. Selena pun menengadahkan wajahnya, memandang bangunan sepuluh tingkat di depannya. “Fyuh ....” Untuk ke sekian kalinya Selena mendesah panjang hingga dadanya mengentak dengan kuat. Ia akhirnya mengambil langkah memasuki sebuah hotel berbintang di Newark. “Selamat datang.” Selena mendongak, memandang seorang pria yang baru saja menyapa dirinya. Selena pun tersenyum, tetapi ketika ia hendak melangkah, pria itu tiba-tiba merentangkan tangannya dan membuat Selena menghentikan langkah. “Maaf sebelumnya, apakah Anda sudah membuat reservasi?” tanya pria itu. Selena pun mengerutkan dahi. Lelaki di depannya menangkap ekspresi tak senang dari raut wajah Selena. “ah, maaf. Sebenarnya kamar hotel sudah penuh. Aku bertanya supaya Anda tak perlu bertanya pada petugas reservasi. Namun, jika Anda sudah membuatnya lebih dahulu-“ “Aku datang untuk bertemu seseorang,” sergah Selena. Lelaki di depannya membulatkan mulut. Ia mendorong dagunya ke atas kemudian menganggukkan kepala. “Oh!” Pria itu kemudian mendelik dan menutupi perasaan curiganya dengan menyunggingkan senyuman. “baiklah,” ucapnya. Ia memutar tubuh dan mengulurkan tangan, mempersilakan Selena untuk meneruskan langkah. Selena mendengkus dan melayangkan pandangan sinisnya kepada pria itu sebelum kemudian ia mengambil langkah memasuki lobi hotel. “Ms. Mahendra?” Langkah Selena kembali terhenti ketika mendengar seseorang menyerukan namanya. Gadis itu langsung memutar wajah, memandang si lelaki dalam balutan jas hitam yang berjalan menghampiri dirinya. “Ms. Mahendra?” tanya pria itu sekali lagi. Kedua sisi alis Selena semakin melengkung ke tengah. Wajar apabila dia merasa curiga dan pria di depannya menangkap rasa curiga itu hingga ia kembali berkata. “Tuan Travis menyuruh saya menjemput Anda.” Kelopak mata Selena tertutup. Ia pun memutar wajah sekaligus melepaskan desahan panjang llau dengan cepat Selena kembali mengarahkan pandangannya pada pria di sampingnya. “Baiklah,” ucap Selena. Pria itu mengangguk. Ia langsung memutar tubuh dan berjalan mendahului Selena sementara gadis itu mengekorinya dari belakang. Mereka masuk sebuah lift khusus yang langsung membawa mereka ke lantai sepuluh. Selena terkejut karena begitu tiba di sana, ia tak mendapati lorong seperti kebanyakan hotel pada umumnya. Selena langsung disambut sebuah pemandangan seperti lobi dengan lampu kristal menggantung di atasnya. Pencahayaan cukup redup. Ruangan ini dikelilingi dinding kaca. Ruang tamu dan dapur yang luas yang menyatu. “Hai!” Selena tersentak dan refleks memutar wajah ke sumber suara. Ia mendapati seorang lelaki depan kemeja kasual tengah berjalan menghampiri dirinya sambil membawa dua gelas berisi anggur putih berbuih. Dia muncul dari sisi kanan, tempat di mana ada perapian yang sedang menyala dan sebuah sofa persegi panjang di depannya. Gadis itu ingin tersenyum, tetapi entah mengapa Selena malah mendapati dirinya merinding di tempat hingga ia tak bisa memandang lelaki di depannya dan memilih untuk menundukkan kepala. “Bagaimana perjalananmu?” tanya Aaron. Selena menarik sudut bibirnya ke atas. Sekilas ia mendongak dan mendapati senyum di wajah lelaki di depannya lalu dengan cepat Selena melempar tatapannya ke bawah. “Ba- baik,” jawab Selena dengan nada penuh kegugupan. “Oh, come on ... tak perlu gugup. Come on.” Selena menoleh saat melihat tangan Aaron tiba-tiba sudah berada dia tas pundaknya. Gadis itu akhirnya mendongak dan Aaron mengedikkan kepala, menyuruh Selena untuk mengikuti dirinya. “Ayolah, jangan takut. Aku tidak menggigit.” Aaron kembali menutup ucapannya dengan seringai. Ada teror besar yang didapatkan Selena ketika memandang wajah Aaron. Namun, ia sudah tak bisa mundur lagi. Selena sudah berada di sini dan jika ada yang bisa ia lakukan adalah menuruti keinginan Aaron apa pun bentuk keinginan lelaki itu, Selena harus mempersiapkan dirinya sebaik mungkin karena semua ini tak akan semudah yang dipikirkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD