Cahaya yang masuk lewat celah gordeng yang tak tertutup sempurna menusuk langsung ke wajah Selena. Terdengar suara geraman kecil dari bibir yang masih terkatup itu.
“Wake up, Lil Tiger,” ucap suara di bawah tempat tidur Selena.
Gadis bermata cokelat itu menggeram lebih kuat dari sebelumnya. Ia mengucek-ngucek matanya. Kini, mulutnya terbuka. Sambil menguap, ia menarik tubuhnya. Selena melipat kedua tangan seraya memanjatkan doa pagi harinya. Itu hal wajib. Tak boleh dilewatkan.
Sementara gadis lain yang menjadi room mate-nya tampak begitu sumringah. Ini masih pukul 7 pagi dan sekarang hari Minggu. Weekend yang menjadi hal paling menyenangkan, tapi tidak berlaku untuk kedua gadis itu – atau sepertinya hanya untuk Selena saja.
Tampak gadis teman Selena itu berdiri dari depan meja rias lantas memutar tubuhnya. Ia mendongak menatap Selena yang baru saja bangun. Gadis itu menyandarkan bokongnya ke meja rias lantas melipat kedua tangan di depan da’da.
Selena mengernyit melihat temannya yang memandang Selena dengan tatapan menyelidik.
“So, do you wanna talk something, Lil Tiger?”
Selena menghela napas. Kedua pangkal bahunya ikut terangkat. Gadis itu mengembuskan napas dengan ekspresi wajah kusut.
“Kacau,” kata Selena. Ia menangkupkan wajah dengan kedua tangan lantas kembali mendesah berat. Selena menggeleng seraya mengerjap sekali. “Hampir aja gue dipecat gegara si laknat gak tau diri. Argh!” Selena menaruh kedua tangan di belakang kepala sekadar meluapkan rasa frustasinya.
“For the God sake, Lena, elu baru berdoa.”
“Oh ….” Selena mengatupkan kedua tangan seraya menengadakan wajahnya ke atas. “Maafin aku, Tuhan,” gumam Selena.
Gadis yang berada di bawah terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya. Dia suka gemas saat melihat tingkah lugu Selena.
Selena kembali menghela napas. ‘Gak, Len. Lo harus lupain kejadian semalam. Semoga mereka gak ke sana lagi,’ batin Selena.
Gadis berwajah manis dan bermata bulat kecokelatan itu turun dari tempat tidurnya. Mereka berada di apartemen kecil di New York. Tempat tidur susun menjadi ranjang untuk dua orang gadis Indonesia yang tengah mengadu nasib sebagai mahasiswi di New York University.
“C’mon, Lil Tiger, lo ngutang penjelasan ke gue,” desak Kirana.
Selena menghela napas lalu membuangnya dengan cepat. Setelah telapak kakinya menyentuh lantai keramik, ia pun menoleh. Menatap sahabatnya.
“Yang mana, Ra?” tanya Selena. Gadis itu bersiap mengambil bath robes yang ia gantung di samping lemari.
“Yang lo kerja di The Standard. Gue masih penasaran. Lo udah gak kerja di restoran?”
Lagi-lagi Selena mendesah. Gadis itu memilih untuk melempar tubuhnya ke sofa persegi panjang dekat jendela. Ia menopang dagu dengan tangan kanananya.
“Gue dipecat,” kata Selena dengan wajah kusut.
“Kenapa?” tanya Kirana.
“Karena mangkir seminggu.”
“Terus ceritanya sampe lu kerja di hotel mewah itu gimana?” Kirana makin penasaran.
Selena kembali menghela napas. Memori memutarnya pada hari di mana ia baru sembuh setelah demam yang mengharuskan dirinya berbaring selama enam hari di tempat tidur.
“Ada yang nawarin gue kerja. Katanya dia manager di situ. Ya udah, karena gue juga udah nganggur, gue terima aja. Dia juga ngijinin gue kerja di jam 5 sampe jam 1 malem,” ujar Selena.
“Dan salary Lo?”
Selena menghela napas lalu membuangnya dengan cepat. Ia menatap malas temannya itu.“Lima puluh ribu dolar per jam dan itu tidak termasuk tip.”
“What?!” pekik Kirana dengan mata nyalang. Otak gadis itu tengah memperkirakan gaji Selena. “Jadi semalem Lo bisa dapet empat ratus dolar dong? Belum lagi tipnya. Eh, by the way, emang Lo kerja di bagian mana? Houskeeping? Mereka kan yang sering dapet tip kalo ada yang make jasa room service,” tutur gadis itu panjang lebar.
Selena kembali mendesah panjang. “Gue kerja di Nighty Boom Room.”
“WHAT?!” Kirana menjerit kali ini. “Serius, Len?” tanya gadis itu dengan wajah terkejut. Sangat teramat tak percaya.
“Emang apa untungnya bicara peres, Ra?”
Kali ini giliran Kirana yang mendengkus. Oh ya ampun. Gadis itu sampai mengibaskan tangan di depan wajah yang mendadak berkeringat. Alam bawah sadarnya masih tidak percaya kalau temannya bekerja di bar eksekutif paling terkenal di New York.
“Gila! Gue aja gak pernah kebayang bisa ke tempat ekslusif itu, Len. Lu bener-bener legend.”
Selena terkekeh sinis. Ia menggelengkan kepala. “Gue ke sana jadi barmaid apanya yang legend?” protes Selana. Gadis itu bangkit. Sambil memeluk bath robes, ia melangkah menuju kamar mandi.
“Well, setidaknya lo kerja di tempat elit, Len. Bayaran lo juga lumayan. Barmaid doesn’t mean lo become a trull, kan?”
Perkataan Kirana terdengar sedikit sarkas, akan tetapi Selena tahu peris maksud baik dari sahabatnya itu. Sambil mengulum bibir Selena menganggukkan kepalanya.
“Thank’s Ra, lo one and only yang mau ngertiin gue.”
Kirana mengela napas. Ia menghampiri sahabatnya itu. Kirana menepuk pundak kanan Selena sebanyak dua kali. Gadis itu memandang Selena dengan pandangan sendu.
“Sampe sekarang gue masih nunggu lo cerita soal masalah lo, Len. Kita udah temenan lebih dari tujuh tahun. Inget, Len. Tujuh tahun lebih.” Kirana mengangkat tujuh jarinya di depan wajah Selena. “Dan selama itu lo gak pernah berterus terang sama gue. Lo bikin jarak antara persahabatan kita. Kadang gue pikir itu gak adil, Len. Lo selalu jadi tempat curhat gue. Sejorok apa pun gue, lo tahu persis, tapi lo gak gitu, Len. Lo masih tertutup. Please,” ujar Kirana dengan wajah memelas.
Selena mengulum bibirnya membentuk senyum simpul. Ia mengangguk lambat-lambat. Selena menatap sahabatnya.
“Sorry, Ra. Gue masih pengecut. Gue terlalu malu buat curhat ke elu.”
“For the God sake, Selena!” Kirana melayangkan kedua tangan ke udara. “Lo bahkan yang pertama kali tahu kalo gue udah gak perawan lagi. Lo tau kalo gue suka jalan sama om-om kaya raya, lo tau kalau gue sucker dan lo tau kalo gue ….” Kirana mendengkus. “Even I become a w***e, you know everything about me.” Kirana memasang wajah frustasi membuat Selena menarik pundak gadis itu. Selena memeluknya.
“And I never judge you,” kata Selena sembari mengelus pundak Kirana. “Gue gak bilang yang lo lakuin itu bener, tapi itu semua pilihan lo.”
“Yes, Selena. Dan gue mau lo juga terbuka sama gue. Cerita ke gue masalah hidup lo. Pasti terjadi sesuatu sampe anak konglongmerat kaya lo, mau bekerja di restoran kecil dan bahkan sekarang kerja di bar. Gue tau lo gadis yang gak pernah tahan bau rokok ama alkohol. Pasti keputusan berat buat kerja jadi barmaid, kan?”
Akhirnya Selena melepas pelukannya dari Kirana. Ia menatap gadis itu. Senyum simpul kembali ia berikan pada sahabatnya. Butuh beberapa detik untuk meyakinkan dirinya sendiri, jika inilah waktu yang tepat untuk memberitahu Kirana, sahabatnya itu tentang apa yang telah keluarganya alami.
“Keluarga gue ngalamin musibah, Ra.”
“What?” Kali ini Kirana memekik pelan. Ia langsung menghela tangan Selena lantas mendudukkannya ke sofa persegi panjang. Kirana menaikkan kaki kirinya ke atas sofa lantas melipatnya. “Cerita ama gue,” kata gadis itu.
Selena butuh satu tarikan napas panjang. Ia mengembuskannya perlahan. Gadis itu membutuhkan kekuatan lebih untuk kembali mengingat peristiwa buruk yang ia terima beberapa bulan yang lalu.
“Ayah gue ditipu,” kata Selena.
Terlihat dahi Kirana mengerut. “Ditipu kenapa, Ra? Jelasin dong,” kata gadis Kirana semakin penasaran.
“Ya gitu. Temen ayah yang kemaren mengelola travel bareng malah kabur bawah duit jamaah yang mau umbroh.”
“WHAT?!” Kirana kembali memekik, nyaris menjerit. “What the f**k’ing hell, Selena!”
“Iya, Ra. Gue juga kaget. Mana kata Bunda uangnya banyak banget.”
“How much?” tanya Kirana dengan nada tinggi. Seketika raut wajahnya berubah. Tampak sedang menahan amarah yang sebenarnya sudah meledak di dalam hatinya. Kirana merasa ada kobaran api yang siap keluar dari telinga dan hidungnya.
Sementara Selena hanya menggelengkan kepalanya. “Bunda gak bilang. Aku udah maksa nanya berapa kerugian yang dialami travel ayah, tapi Bunda kekeh gak mau bilang. Mana Bunda larang aku buka sosmed. Bunda sendiri yang take down akun i********: aku. Katanya jangan tengok-tengok sosmed,” ujar Selena.
Tiba-tiba matanya berair membuat Kirana menarik tubuh sahabatnya itu. Kirana begitu peka.
“Gak pa-pa, Len, nangis aja. Lo gak perlu nahan rasa sakit yang lo rasakan. Nangis aja,” ucap Kirana sembari mengelus punggung sahabatnya itu.
Selena benar-benar tak bisa menahan kesedihannya. Tangisnya pecah. Gadis itu mencengkram hoodie milik sahabatnya. Berharap dengan begitu, rasa sesak di da’danya bisa berkurang. Setidaknya untuk saat ini.
“Bunda Iam bener, Len,” kata Kirana. “Beliau gak mau lo kepikiran. Percaya aja bokap lo pasti bakalan bebas. Kita hanya bisa mendoakan beliau, Len. Gue sebagai sahabat lo hanya bisa menyemangati lo. Gue liat ketegaran lo. Gue gak nyangka masalah lo seberat ini. Kalo jadi gue, mungkin gue bakalan beryukur. Secara bokap gue as a jerk, tapi ayah Thony beda banget. Dia aja sayang ama gue sejak kita temenan waktu SMA. Cuman dia doang orang tua yang gak ngelarang anaknya bergaul sama anak broken home kayak gue. Jujur, Len, gue pernah berharap gue jadi saudari lo. At least sepupu elu. Gue suka ngiri sama keharmonisan keluarga elu. Gue percaya ayah Thony gak bersalah. Semoga temennya itu cepet ketangkep, ya, Len.”
Selena hanya bisa menganggukkan kepalanya. Air mata mulai berhenti menetes. Gadis itu lalu menarik dirinya dari pelukan Kirana. Sahabatnya rela menghapus air mata di wajah Selena. Kirana memasang senyum sendu yang membuat Selena makin terharu.
“Thank’s ya, Ra. Lo emang sahabat gue,” kata Selena. Ia kembali memeluk Kirana.
“Ohh … my Little Tiger,” gumam Kirana. Ia memberikan kecupan di kepala Selena sekadar untuk menyemangati gadis itu. Kirana memegang kedua bahu Selena lalu mendorongnya pelan. “Lo tenang aja, bokap lo gak bakalan kena masalah, kok. Gue yakin itu. Dan seperti kata bunda Iam, lo harus tegar, oke?”
Selena mengangguk. Ia menghapus air mata terkahirnya. Kirana tertawa pelan.
“That’s my Tiger. Nah ….” Kirana menoleh ke samping. Ia meraih tas selempang bermerek yang berada di atas meja kaca. Kirana mengeluarkan sebuah kartu kredit unlimited pemberian sugar daddy-nya. “Ambil ini,” kata Kirana.
Kening Selena mengerut menatap black card di tangan Kirana. “Buat apa?” tanya Selena.
“Hari ini jadwal gue belanja, tapi gue terlanjur di calling Mr. Edmun, lo tau kan panggilan bersenang-senang,” kata Kirana sembari memasang senyum geli. Kedua keningnya bertautan menggoda Selena lengkap dengan menyikut tangan Selena.
Selena tersenyum kecut dia menggelengkan kepala. “Sampe kapan lu kasih gue makan dari duit haram, Ra … Ra.” Selena mendesah.
“Ya, sampe gue jadi CTO Elliot Group,” ucap Kirana penuh percaya diri.
Selena kembali menggelengkan kepalanya. Ia menadang Kirana dengan mata mencibir, akan tetapi gadis itu sudah terbiasa dengan sikap Selena yang pura-pura galak. Aslinya melankolis.
“Emang udah pasti sir Edmun bakalan jadiin lo CTO di perusahaannya?” tanya Selena. Ia meraih cangkir porselen berisi Americano dari tangan Kirana.
“Oh iya, jelas!” Kirana berucap penuh percaya diri. “Dia udah tergila-gila ama gue. Gak mungkin lepas. Lagian dia duda. Walau gue jalang, at least gue udah gak godain laki orang, kan?”
Sambil mengulum bibirnya, Selena menganggukkan kepala. Ia meraih tangan Kirana lalu membungkusnya dengan kedua tangan.
“But, you must doing with your heart. Maksud gue, kalau tujuan lo cuman buat ngejar harta, semua itu gak bakalan ada cukupnya. Lo akan terus merasa gak puas. But, if you doing that – with your heart ….” Selena menaruh telapak tangan kanannya ke tengah d**a Kirana membuat gadis itu menoleh ke bawah. “Lo bakalan ngerasain cintanya sir Edmun yang benar-benar tulus ke elo.”
Kirana terkekeh sinis. Ia mengambil tangan Selena dari dadanya lalu mengecup punggung tangan gadis itu.
“Wah … liat, siapa yang lagi negur gue? Maaf menghujat, tapi elu jomblo, cuy! Lu inget dong.”
Selena terkikik lalu menampar lengan Kirana dengan pelan. Sahabatnya itu tertawa hingga terpingkal-pingkal.
“Ah, sialan!” gerutu Selena. Ia menggeleng lalu kembali menyesap cairan hitam pekat dari dalam gelas.
Kirana akhirnya berhenti tertawa. “However, gue tetep makasih buat saran lo. Bakalan gue pertimbangin. Ya, lo bener. Sir Edmun mungkin beneran cinta ama gue, tapi seperti prinsip gue, selagi dia belom nyatain kalimat serius, ya selama itu gue belum bisa berkomitmen. I’m woman need to be free,” kata Kirana sembari merentangkan kedua tangannya. “This Amerika and this is New York. Lo gak mesti pake hati lo selagi uang masih bisa berbicara dengan rasional.” Kirana menutup kalimatnya dengan tawa renyah.
Selena mendesah sembari menggelengkan kepalanya. “Terserah lo deh, Ra. Lo bosnya. Gue cuman upik abu yang selalu terima remahan dari serpihan berlian kayak lo.”
“Enak aja lo!” Protes gadis itu. Ia menampar pelan paha Selena. “Masa serpihan, sih!”
“Terus apa dong?”
“Ya, diamond-nya lah!” tandas Kirana. “Gila, gue ngalahin Gigi Hadid sama Kendal Jener, model kelas dunia kalah ama goyangan and sucker-an gue.”
Selena tertawa geli. “Ah!” Selena bangkit dari tempat duduknya. “Uda, ah. Gue mau mandi.”
“Lah … jangan dulu. Lo belom denger kisah gue semalem.”
“Males, ah. Ujung-ujungnya gue bakalan dengerin cerita stensilan dari lo,” kata Selena. Ia berjalan menuju kamar mandi.
“Tapi lo suka, kan?”
Langkah kaki Selena terhenti. Keningnya mengerut lantas gadis itu memutar pandangannya.
“You like my wild, isn’t?”
Selena menaikkan bola matanya sambil mengacungkan kedua jari tengahnya. “Asshole!” maki gadis itu.
Kirana terkikik. “No.” Kirana menggeleng. “I know, lo pasti mau bilang I love you Kirana.”
Selena menggeleng lalu segera membalikkan tubuhnya. Tidak akan cukup 24 jam untuk menyahut ucapan Kirana. Selena lebih memilih untuk menghilang di balik pintu kaca di depannya.
Sementara itu, di tempat duduknya, Kirana kembali menghela napas. Sejujurnya wanita muda itu masih memikirkan apa yang terjadi pada keluarga Mahendra yang selama ini telah sangat baik padanya.
Didorong oleh rasa penasaran, Kirana akhirnya membuka ponselnya. Ia mencari situs internet yang bisa memberikan informasi terbaik padanya. Bola mata Kirana membulat saat membaca artikel internet.
“Holy sh*t!” umpat Kirana dengan nada kecil. Wanita itu menyumbat bibir dengan tangan kirinya. Ia menoleh pada pintu kaca untuk memastikan jika sahabatnya tidak akan keluar dari sana.
Kirana menelan ludah. Jantungnya tiba-tiba bertalu dengan kencang. “What!” pekiknya lagi. Kirana kembali menoleh ke samping. “Damn it!” Bibir seksinya tak henti mengumpat.
“Sat- sat- s**t!” Kirana memutar bola mata sembari mengembuskan napas berat. “Sialan! Lima miliar?” Kirana mendesah. Jantungnya makin berdetak kencang. Keringat dingin tiba-tiba mengucur dari dahinya. Wanita itu kembali menatap pintu kaca.
“Selena gak boleh liat artikel ini. Sial. Dia bakalan drop,” gumam Kirana. Ia kembali menatap layar ponselnya. Embusan napas berat kembali menggema di depan wajah wanita itu. Kirana mengangkat pandangannya. Ia mencengkram ponsel mahalnya. “Tenang aja, Len, gue gak akan biarin ayah Thony dapet masalah.” Kirana mendesah sampai kedua pangkal bahunya lemas.
“Anj!ng.” Kirana mengumpat sambil mengembuskan napas berat. Hidungnya kembang kempis dan kedua tangannya mengepal dengan kencang. “Gimana gue ngumulin lima miliar. Tidur sama ratusan laki baru dapet uang sebanyak itu dan dengan reskio gue kena HIV.” Kirana bergedik. “Gak … gak. Gue harus coba minta bantuan sir Edmun, barangkali dia punya cara lain.”
Kirana mengangguk. “Ya. Gue harus ketemu sama sir Edmun,” gumam Kirana. Lagi-lagi dia mendesah berat. Wanita itu menatap iba ke arah kamar mandi, seolah-olah Selena berdiri di sana sambil memandangnya. “Kasian amat hidup lu, Len.” Kirana menggelengkan kepalanya.