“Inget, ya, belanja yang bener. Gue gak mau ya, liat kulkas gak full.”
“Iya … iya,” kata Selena. Gadis itu sibuk memakai sneakers-nya.
“Lu, kan suka gitu kalau belanja. Udah jelas-jelas itu kartu unlimited, masih aja lo belanja ayam sekilo lah, pake beli pork chop secuil. Elaah!” Kirana melayangkan kedua tangan ke udara sembari memutar bola mata malas.
Selena menarik napas sambil menegakkan badannya. “Kenapa lo gak buat list aja? Misal beli daging ayam sepuluh kilo, beli green sands lima krat, or beli apel sampe ke keranjang-keranjangnya. Hem?”
Kali ini giliran Kirana yang mendengkus. “Ya, gak gitu juga kali,” kata gadis itu.
“Ya … terus mau lu gimana? Kan tiap minggu kita belanja, Ra.” Selena menjelaskan begitu halus.
“Maksud gue lu belanja yang lain kek, maksud gue pas gue kasih kartu kredit lu belanja juga sabun, shampoo etc, selain keperluan dapur.”
Selena mendesah. “Kalau begitu gue bakalan belanja sampo sama sabun lu,” kata gadis itu.
“Punya lu juga, dong.”
“Punya gue masih ada, ngapain beli. Boros!”
Kirana kembali mendengkus. “Kalo gitu beli wagyu. Anjir! Gue juga mau makan enak. Gilak! Selalunya makan turki, kagak bosen apa?” keluh gadis itu.
“Oke, gue catet dulu.” Selena mengeluarkan note berukuran kecil yang menjadi alat wajib untuk dibawa saat berbelanja.
“Tenderloin apa sirloin?” tanya Selena.
“Tenderloin aja banyakin buat steak. Ambil juga sirloin, bikinin gue rendang, yah?”
Dengan wajah masam, Selena menyahut. “Hem.”
Kirana menyengir lebar. Sejauh ini, masakan Selena selalu jauh lebih enak dari masakannya sendiri. Well, Kirana hanya bisa membuat pancake dan lasagnya. Oh, dia pernah membuat savory pie. Rasanya lumayan. Kata Selena, masih bisa dikunyah walau harus menahan rasa asin yang benar-benar asin. Akhirnya Kirana memutuskan untuk menyudahi percobaan memasak atau dia akan menghanguskan apartemen mereka.
“Terus, elu beli itu juga, ya, merlot sama bordeux udah mau abis setok anggur gue.”
“Astaga ….” Selena menggoyangkan kepalanya. “Belum jadi nyonya Elliot aja elu udah boros minta ampun, Ra … Ra.”
“Biarin,” sahut cepat gadis itu. Sambil memanyunkan bibir, dia melipat kedua tangan di depan d**a. Dagunya terangkat tinggi. “Toh, dia yang bilang sendiri pake tu kartu buat keperluan gue. Yaudin!”
Selena terkekeh sinis. Gadis itu menggoyangkan kepala sembari melepas napas panjang. Ia berdiri lantas mengambil tote bag-nya. “Kalau gitu gue jalan dulu,” kata Selena.
Kirana membuka kedua tangannya lantas Selena menghampiri gadis itu. Mereka berpelukan.
“Jaga diri lo ya, Len. Oh ya, malam ini gue nginep sama sir Edmun. Nanti rendangnya lo taru di kulkas aja, ya.”
“Hah … ujung-ujungnya lo rendang.” Selena memberengut lantas berdecak kesal.
“Hehehehe ….” Kirana melepas pelukan lalu dia mengecup pipi Selena.
“Ih, apaan sih!” protes gadis itu sambil memandang sinis sahabatnya.
“Buat semangatin elu. Kan elu jomblo, gak ada yang nyemangatin. Jadinya-“
“Ah, udah ah!” sergah Selena cepat. Ia mengibaskan tangan kanannya dengan kasar. “Orientasi seks gue masih normal. Walau di dunia ini kagak ada laki, gue tetap gak mau sama lo,” kata Selena. Ia bergegas menuju pintu yang akan membawanya keluar dari apartemen ini.
Kirana terikik sambil menggelengkan kepala. “Ah, peres, lu … gue tau kok, kalo lu fans ama gue. Lagian, siapa suruh milih jomblo. Udah gue bilangin sir Ed-“ Ucapan Kirana terhenti saat mendengar suara pintu yang sengaja dibanting dengan kuat. Kirana mendesah. “Dasar Tiger,” gumamnya.
Kirana beralih mengeluarkan ponselnya. Tepat saat itu juga tertera nama Sir Edmun di layar ponselnya. Kirana mengusap layar ponsel menekan tombol hijau.
“Good morning, Sweatheart,” sapa suara bass berat di ujung sambungan telepon.
Kirana tersenyum. Ia menggigit bibir bawahnya, tapi sejurus kemudian ia menggelengkan kepalanya. Ada sesuatu yang lebih penting daripada memikirkan kisah cintanya.
“Where are you, my dear?” tanya Kirana.
“Tempat biasa. Aku sudah menunggumu sejak tadi,” kata sir Edmun.
“Oke, aku berangkat sekarang. Oh ya, ada hal penting yang mau kubicarakan.”
“Apa itu?” tanya sir Edmun penasaran.
“Umm … ini soal kasus ayah dari temanku. Jelasnya akan kukatakan di sana,” kata Kirana.
“Okay, Baby girl. Kalau begitu cepatlah kemari, aku sangat merindukanmu.”
“Hold on, my dear. I’m on my way.” Kirana menutup ucapannya dengan memasang seringaian. “It’s time to help my tiger,” gumam gadis itu.
***
Selena telah berada di supermarket yang terletak dekat apartemen mereka. Masih di kawasan Manhattan tepatnya di pemukiman Harlem. Hidup di kota metropolitan memang tak mudah. Walau Selena dan Kirana datang dari keluarga berkecukupan, akan tetapi biaya hidup di kota tersibuk di dunia ini, benar-benar tidak bisa dibilang sedikit.
Selena dan Kirana sepakat membeli sebuah apartemen di kawasan Harlem dengan biaya sewa per tahunnya mencapai 500.000 dolar. Mereka juga mendapatkan kompensasi di bebas sewakan pada dua bulan pertama. Itu lebih baik daripada apartemen di pusat Manhattan yang biaya sewanaya di atas 900.000 dolar. Jarak dari apartemen mereka ke New York University juga hanya memakan waktu 30 menit dengan menaiki bus.
Segala tuntutan hidup pribadi dan studi mereka benar-benar memerlukan biaya yang banyak. Sudah dua tahun Selena berada di New York dan semenjak itu pula, dia telah berusaha sebaik mungkin menyesuikan hidup sederhana di negri Paman Sam ini.
Walaupun Selena besar di keluarga kaya, akan tetapi gadis itu begitu sederhana menjalani hidupnya. Ibundanya, Mariam selalu mengajarkan anak semata wayangnya untuk hidup sederhana. Selena sudah terbiasa menabung sejak kecil dan ia begitu mandiri.
Ketika menerima kabar buruk tentang usaha dari ayahnya yang mengalami kebangkurtan, Selena langsung berinisiatif untuk mencari pekerjaan. Ia berhasil mengumpulkan 1.500 dolar setelah bekerja sebulan di sebuah restoran. Sayangnya, Selena sakit selama seminggu dan itu membuatnya dipecat. Sekarang Selena bekerja sebagai barmaid di kelab malam ekslusif di New York. Awalnya dia memang ingin menolak. Pikir Selena, gadis-gadis yang bekerja di kelab malam pastilah akan terjerumus ke dalam pergaulan bebas.
Namun, setelah pria bernama James mengatakan jika Selena hanya akan bekerja sebagai barmaid dan dia tidak akan memaksa Selena jika Selena tidak ingin pekerjaan tambahan dalam artian negative seperti yang dipikirkan oleh Selena, maka Selena langsung menerima pekerjaan itu.
James juga mengizinkan Selena untuk libur di hari Senin sesuai permintaan Selena, oleh karena jadwal kuliahnya begitu padat di hari Senin.
“Apa lagi, ya?” Selena bergumam sembari menepuk-nepuk bibirnya dengan jari telunjuk. Setiap kali jadwal Kirana berbelanja, pasti Selena harus menggunakan troli yang besar. Semua itu diharuskan, sebab belanjaannya sangat banyak. Selena kembali melirik catatan yang telah ia buat.
“Oh, merlot dan Bordeaux,” gumam gadis itu lagi. Ia mendorong troli menuju tempat anggur. Selena mengambil masing-masing 2 botol. “Sampanye juga gak, ya?” gumam gadis itu lagi.
Perkataan Selena mengundang rasa penasaran dari pria yang berdiri tak jauh dari tempat Selena. Pria itu mengerutkan kening saat mendengar bahasa Indonesia yang kental dari si gadis. Suaranya juga sedikit familiar di telinganya. Akhirnya si pria memutuskan untuk memutar lututnya.
“Hem, kayaknya harus, deh. Si Kirana kan hobi minum sampanye, tapi gimana gue bawa semua ini?” Selena mendesah. Ya. Belanjaannya sudah menempuk di troli. Belum lagi dia harus ke tempat daging untuk mengambil tinderloin dan sirloin pesanan Kirana.
“Hai.”
Selena tersentak saat mendengar suara baritone yang barusan menyapa tepat di samping telinganya. Refleks, gadis itu memutar pandangannya ke samping. Ia mengerutkan kening saat melihat pria berpakaian singlet dan boxer hitam lengkap dengan sneakers bermerek.
“Ha- hai.” Selena membalas sapaan si pria. Dilihatnya senyum sumringah di wajah sang pria.
“Gak nyangka bisa ketemu di sini,” kata pria itu lagi.
Selena terkekeh pelan. Ia juga terkejut melihat pria yang telah menolongnya semalam berada di sini.
“Jonathan, kan?” tanya Selena. Gadis itu berusaha untuk berbicara santai. Selena memasang senyum di wajah manisnya.
Jonathan terkekeh. Dia memalingkan wajah. “Aku pikir kamu sudah lupa namaku,” kata pria itu. Dia terlihat berusaha memakai bahasa Indonesia. Walau terdengar sedikit kaku.
Selena ikut terkekeh. “Gak mungkin, lah. Aku berhutang nyawa sama kamu.”
Jonathan tertawa renyah. “Gak juga,” kata pria itu. Ia memindahkan pandangan pada troli milik Selena. Pria itu mengerutkan dahi lantas kembali menatap Selena. “Mau party?” tanya Jonathan.
Selena tertawa kecil sambil mengayunkan tangan kanannya di depan d**a. “Gak, lah.”
“Terus ini?” tanya Jonathan sembari menunjuk belanjaan Selena.
Mulut Selena terbuka. “Ah … ini belanja buat keberlangsungan hidup. Temen gue nitip.”
“Nitip gini amat?” Jonathan kembali berkata. Seakan-akan tak percaya.
Selena kembali tertawa. “Ya, buat setok selama seminggu lebih. Kadang sampe sebulan,” kata gadis itu. “Oh ya, lo ngapain ke sini, Than?” tanya Selena.
Jonathan membuang napas sambil menatap penampilannya. Lantas pria itu kembali tertawa renyah.
“Baru abis jogging dan gue haus jadinya mampir ke sini,” kata Jonathan.
Selena mengulum bibir sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Eh, gue mau ke tempat daging,” kata Selena.
Jonathan menjulurkan tangan mempersilahkan gadis itu, akan tetapi ia juga tak mengerti mengapa kakinya mau berjalan mengekori Selena.
“Tinggal di sini, Sel?” tanya Jonathan.
‘Sel?’ batin Selena. Biasanya orang-orang memanggilnya Len, Lena. Ini pertama kalinya ada orang yang memanggil Selena dari nama depannya. Selena mengulum bibir, ia kembali menganggukkan kepala.
“Iya. Gue tinggal di Green Village. Deket sini, kok.”
Jonathan mengulum bibir lalu mengangguk lambat-lambat.
“Aku mau tenderloin 3 kilo dan sirlon 5 kilo. Tolong untuk tenderloin ambilkan dari wagyu A lima,” ucap Selena kepada kariyawan supermarket.
Mulut Jonathan terbuka. “Wow, kalian tinggalnya rame-rame?” tanya Jonathan.
Selena menangkap maksud pertanyaan Jonathan. Ia pun tersenyum. Gadis itu menyandarkan lengannya pada tempat pegangan tangan di troli.
“Gue tinggal bareng temen gue. Dia yang nyuruh beli daging banyak buat stok selama sebulan,” ujar Selena.
Jonathan kembali menganggukkan kepala. “Sirloin 5 kilo buat apa?” tanya pria itu penasaran.
“Mau buat rendang,” kata Selena.
“Wow,” gumam Jonathan dengan kedua kening yang terangkat.
“Kenapa? Mau juga?” tanya Selena. Mulutnya berucap begitu saja.
“Sudah lama aku gak makan rendang.” Jonathan menutup kalimatnya dengan cengiran. Pria itu menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal.
Selena membulatkan mulutnya. Dia mengangguk lambat-lambat.
“Tolong tambah sirloin-nya 5 kilo,” kata Selena.
“Jadi sirloin 10 kilo?” Si kariyawan mengonfirmasi dan Selena mengangguk.
Selena kembali memutar pandangannya kepada Jonathan. “Aku buatkan rendang buat kamu, Nathan. Hitung-hitung ucapan terima kasih aku,” kata Selena.
Mulut Jonathan terbuka. Dia terkekeh. Jo masih menggaruk tengkuknya.
“Sebenarnya aku nolongnya tulus, loh,” kata Jo. Pria itu memalingkan wajah sekilas lalu otaknya kembali memberi ide. “Gimana kalau yang lima kilo aku yang bayarin?”
Selena tersenyum. “Gak usah. Ini kartu kredit temen gue, kok. Dia suka marah kalau aku belanja sekadar sekadar aja. Maunya aku boros. Ya sudah, untuk pertama kalinya aku bakalan boros,” jelas Selena. Wanita itu menutup kalimatnya dengan senyum selebar wajah.
Akhirnya Jonathan pasrah. Ia juga tak ingin menyinggung perasaan Selena. Jonathan beralih mengambil daging yang telah dimasukkan ke dalam plastik lalu menaruhnya ke troli Selena.
“Thank’s, Nathan.”
“Anytime, Sel.”
Selena tersenyum. Wanita muda itu memutar troli menuju meja kasir. Jonathan masih bersedia membantunya. Pria itu memindahkan satu per satu barang di troli Selena ke meja kasir.
“Oh ya, kamu tinggal di mana, Nathan?” tanya Selena.
“Deket sini, kok. Blok ke tiga setelah pom bensin,” kata Jonathan.
Mata Selena terbuka. “Ternyata tempat tinggal kita gak jauh-jauh amat, ya?”
Jonathan mengangguk. “Hem. Kapan-kapan kamu main ke rumah aku, ya.”
Selena tertawa pelan. “Malu ah,” kata gadis itu.
“Why?” Jonathan menengok gadis di depannya masih sambil memindahkan barang belanjaan.
“Ya … gue malu aja sama orang tua lu,” kata Selena.
Jonathan terkekeh lagi. “Kalo siang mereka sibuk kerja. Bokap direktur di perusahaan. Nyokap ngurus butik kecil di pinggiran Mott Haven,” ujar Jonathan.
“Hem ….” Selena bergumam sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. “Terus kamu?” tanya Selena.
“Gue manager HRD di perusahaan yang sama bareng bokap,” jelas pria itu.
Selena kembali mengangguk. “Wow, masih muda, tapi udah punya jabatan. Kamu hebat, Nathan.”
Jonathan tersenyum samar saat matanya kembali menatap iris cokelat di depannya. “Ya, karena sejak kecil gue udah ditempah. Harus banget ikut kelas akselerasi. Dari kecil udah belajar soal bisnis. Kuliah juga dituntut cuman dua tahun.”
Kening Selena terangkat. Mulutnya terbuka. “Wow.” Selena menepuk-nepuk tangannya. “Luar biasa,” puji gadis itu.
“Totalnya lima puluh tujuh dolar,” ucap petugas kasir.
Selena mengangguk lantas memberikan kartu kredit yang diberikan oleh Kirana. Si kasir mengambilnya dan langsung menggesekkan kartu tersebut ke mesin EDC. Tak berselang lama, si kasir kembali memberikan black card itu kepada Selena bersama dengan struk belanjaan.
“Nona, terimalah ini,” kata si kasir sembari memberikan satu pack cola 1.5 liter berisi 6 pcs.
Selena membelalakkan matanya. Mulutnya ikut terbuka.
“Wahh …,” gumam Jonathan. Pria itu yang mengambil minuman soda tersebut lantas dipindahkannya ke troli.
“Kami memang memberikan hadiah kepada para pelanggan yang berbelanja di atas lima puluh ribu dolar,” kata si petugas kasir.
Selena menatapnya dengan wajah sumringah. “Thank you so much,” kata gadis itu.
Si petugas kasir tersenyum. Ia pun mengatupkan kedua tangan di depan d**a. “Your welcome. Selamat datang kembali.”
“Itu pasti,” ucap Selena. Matanya berbinar. Mendapat minuman bersoda sebanyak itu adalah hadiah terindah. Itu lebih baik. Di mana lagi dia bisa mendapatkan cola gratis.
Selena masih tersenyum. Ia melambaikan tangan pada si kasir ketika dia tiba di pintu keluar dan Jonathan telah lebih dulu keluar sambil membawa belanjaan Selena.
“Wah … seneng banget deh,” gumam gadis itu. Dia menghampiri Jonathan.
“Taksi!” seru Jonathan saat melihat taksi yang hendak lewat. Mobil itu menepi dan Jonathan dengan sigap mendorong troli menuju bagian belakang mobil.
Selena menghampiri Jonathan yang sedang memindahkan belanjaan ke bagasi.
“Sel, kamu keberatan kalo aku ikut ke apartemen kamu?” tanya Jonathan.
Saat tak mendapat jawaban, pria itu pun mendongakkan kepalanya. Mulutnya terbuka saat melihat ekspresi Selena.
“Aku ragu kalau kamu bisa membawa semua ini sendirian,” kata Jonathan.
Akhirnya Selena terkekeh. Gadis itu menatap barang-barangnya di bagasi. Ia mengulum bibir.
“Ummm ….” Selena bergumam. Ia kembali menatap Jonathan. “Apa gak ngerepotin?” tanya Selena.
Kening Jonathan mengerut. Wajahnya sedikit maju. “Ngerepotin?” tanya Jonathan. “Maksudnya merepotkan, ya?” Ulang pria itu.
“Ah, iya. Itu,” kata Selena.
Jonathan lalu tertawa kecil. “Jangan sungkan. Kita kan teman,” kata Jonathan.
Mereka terdiam. Selena tidak menjawab. Keduanya hanya mematri tatapan.
Semilir angin bertiup ke wajah Jonathan membuat pria itu bergeming. Ia mengangkat kedua alis lalu berkata, “Iya, kan?”
Alam bawah sadar Selena mendorong kesadarannya. Ia ikut bergeming. Wanita muda itu berdehem.
“Y-ya, te-tentu.” Selena menggangap.
“Kalau gitu ayo,” kata Jonathan.
Pria itu berlari mendorong troli ke depan supermarket lalu kembali melesat menghampiri taksi.
“Yuk,” kata Jonathan sambil mengedikkan kepala menunjuk pintu mobil.
Selena masih butuh beberapa detik. Otaknya masih mencerna perkataan Jonathan semenit yang lalu.
‘Teman katanya?’ batin Selena. ‘Ini pertama kalinya aku punya teman cowok dan dia dari Indonesia.’ Lanjutnya bermonolog dalam hati.
Wanita itu kembali menatap Jonathan. Ia mengulum bibir membentuk senyum simpul lantas berkata, “Yuk.”
Dan mereka pun masuk ke dalam mobil dengan wajah sumringah.