"Bisakah ... aku ...." Gadis itu memalingkan wajah.
"Katakan saja," ucap Jonathan. Gadis di depannya mulai membuat Jonathan penasaran.
"Apa aku bisa pinjam ponselmu, Tuan?" Dia menggeleng. "Maksudku, Jonathan?" Koreksinya.
Jonathan terkekeh kecil. "Kupikir apa," ucap pria itu. Dia menggelengkan kepala. Jonathan lalu meraih jas miliknya yang berada di samping tubuh gadis itu. Merogoh ponselnya di sana kemudian menyerahkan kepada gadis itu.
"Terima kasih, akan kuganti pulsanya," ucap gadis itu.
Jonathan tidak bisa menahan bibirnya untuk tidak terkekeh, kali ini sedikit sinis. Dalam hati, dia ingin menghujat gadis di depannya.
'Ganti pulsa katanya? Memangnya dia pikir aku gak bisa beli pulsa, gitu?' batin Jonathan. Dia menggelengkan kepala lalu memutar bola mata.
Jonathan akhirnya memilih untuk menutup mulut dan menjauh dari sana. Berjalan menuju jendela kaca, dia ingin menghirup udara sambil menatap keluar. Juga sekadar memberikan privasi pada gadis di belakangnya.
'Mungkin dia bakalan nelpon pacarnya.' Jonathan masih terus membatin.
Sementara di tempatnya, gadis itu mulai membuka layar ponsel milik Jonathan. Langsung dia memasukkan angka yang sudah berada di luar kepala. Nomor seseorang, kemudian menekan tombil dial.
"Angkat dong Ra," gumam gadis itu. Dia mulai gelisah saat mendengar bunyi 'tut ....' terus menggema di telinganya.
"Hello?" Oh, akhirnya ada balasan dari seberang telepon.
"Ra, ini gue Selena," ucap gadis itu.
"Selena?" Ulang suara di seberang sambungan telepon. "Kenapa? Nomor siapa ini?"
"Ah ... itu, gue minjem ponsel orang. Ra, lu bisa jemput gue sekarang gak?" tanya gadis bernama Selena itu.
"Jemput? Di mana?"
"The Standard," jawab Selena.
"Ih, gila. Lu ngapain di sana Len? Gila lu yah!"
Selena menarik napas panjang menahannya sejenak kemudian mengembuskannya perlahan. Ya Tuhan, haruskah temannya mengoceh di saat genting seperti ini?
"Gue ngelamar kerja, tapi sepertinya bentar lagi bakalan dipecat. Nanti gue ceritain. Yang jelas sekarang gue minta lu jemput gue. Bisa, kan?"
"Mmm ... gimana ya, gue lagi barengan sama temen-temen gue. Kita lagi di frat-nya The Nudes. Bakalan ada party juga, gimana ya?"
Selena mendesah pasrah. Sia-sia sudah harapannya untuk bisa pulang dengan damai malam ini. Kirana temannya memang tidak bisa diandalkan. Teman satu-satunya, sebab mereka berasal dari negara yang sama.
"Oke deh," ucap Selena pasrah.
"Maaf ya, Len." Suara memelas dari Kirana terdengar di ujung sambungan telepon. Selena tidak menjawab dan langsung mematikan sambungan telepon.
"Hahh ...." Melenguh dengan desahan kepasrahan. Selena lalu menunduk sambil mempertahankan ponsel mahal di tangannya.
Sementara di sisi lain ruangan ini, Jonathan sedang berusaha mengembalikan kesadarannya. Dia benar-benar hanyut dengan segala pemikirannya selama beberapa menit. Jonathan langsung memutar lutut. Berjalan pelan menghampiri gadis bernama Selena itu.
"Hei ... are you from Indonesia?" tanya Jonathan.
Selena lalu mendongakkan kepala. Matanya kembali bertemu dengan mata hitam milik Jonathan.
"Yes, I'm from Indonesia," ucap Selena. Dia mengerutkan dahi setelah memikirkan sesuatu.
"Maaf, apa kau tahu Indonesia? Maksudku ...." Selena tak habis pikir jika akan ada seseorang yang mengenali negara kecil itu.
"Kalo gitu kita sama," ucap Jonathan langsung memakai logat Indonesia.
Mulut Selena terbuka bersamaan dengan kelopak matanya yang melebar. Sedetik kemudian dia terkekeh lalu menggelengkan kepala.
"Oh ya?" Selena masih tidak percaya jika pria yang tengah berdiri di depannya ternyata berasal dari negara yang sama dengannya.
"Hmm ... Aku lahir di Jakarta besar di New York, tapi setiap hari di rumah, my parents selalu ngomong pake bahasa Indonesia. What about you? Oh ya ...."
Jonathan memberanikan diri mengulurkan tangannya. Dia ingat jika mereka belum benar-benar berkenalan. Selena mendongak.
"Kenalan lagi, yuk. Gue Jonathan," ucap Jonathan.
Selena terus tersenyum. Sangat tidak menyangka dengan semua kenyataan ini.
"Selena," ucap Selena sambil menjabat tangan Jonathan.
Senyum di wajah Jonathan tak bisa pudar. Bahkan dia merasa untuk pertama kali dalam hidupnya, ini kali yang pertama bagi pria itu tidak bisa berhenti tersenyum. Selena pun sama, dia terlalu senang bertemu dengan orang Indonesia dan semuanya kebetulan. Bahkan pria itu yang telah menolongnya dari kejadian memalukan.
"Mmm ... bisa kita lepas ...."
"Oh!" Jonathan langsung menarik tangannya. Dia memalingkan wajah. Mendadak tengkuknya terasa panas hingga dia perlu melarikan tangannya di sana. "So-sorry."
"Ah, iya gak apa-apa santai aja." Selena ikut memalingkan wajah. Dia juga sepertinya gugup.
Jonathan berdehem untuk menarik keberanian dari dalam dirinya. Menatap ke belakang lalu kembali menatap Selena.
"Mmm ... teman kamu bakalan sampe sebentar lagi, kan?" tanya Jonathan. Entah mengapa pria itu menggaggap. Sekarang dia jadi ragu-ragu menatap manik cokelat di depannya.
Selena mengulum bibir. Menarik napas lalu mengembusaknnya dengan kasar. Selena menggeleng.
"Katanya dia lagi di party temennya," jawab pasrah dari gadis itu.
"Ya udah, pake aja kamar ini buat istirahat. Atau mau kuantar pulang?"
Jonathan kembali memalingkan wajah. 'Sialan, apa-apaan yang barusan?' Gerutu pria itu dalam hatinya.
Iya. Sepertinya dia akan terus menggerutu sebab bibirnya mulai bertingkah sendiri. Menawarkan tumpangan pada seorang wanita? Wow ... alam bawah sadar Jonathan menggeleng. Ini pertama kali baginya.
Sementara di tempat duduknya, Selena kini tengah mengulum bibir. Mengerutkan dahi sambil mempertimbangkan ucapan Jonathan barusan.
'Tinggal semalaman di suit room?' Selena memutar pandang menatap sekeliling ruangan. 'Sendirian?' Dia membatin lagi kemudian menggelengkan kepala. Sepertinya akan lebih nyaman baginya jika tidur di ranjang atas sebuah kamar kecil di apartemen sederhana mereka.
"Mmm ... memangnya Anda, eh maksudku-" Cepat-cepat gadis itu memperbaiki ucapannya. Masih saja dia berbicara formal. "-Emangnya kamu gak ada urusan setelah ini? Maksudku, teman-temanmu?"
"Gak usah pikirin mereka. Lagian palingan mereka lagi asik clubing," ucap Jonathan.
Selena mengangguk. Sepertinya dia tidak akan bisa berhenti mengucapkan terima kasih pada pria di depannya. Dia benar-benar menjadi penolong bagi seorang Selena di malam ini.
"Kalau begitu terima kasih lagi," ucap gadis itu.
Jonathan hanya bisa mengangguk. Dia menatap pada wadah di bawah kaki gadis itu.
"Coba gerakin lagi kakinya."
Kali ini mereka mulai terbiasa menggunakan bahasa infromal dari negara mereka. Semua terjadi begitu cepat dan mereka mulai menemukan kedekatan antara satu sama lain. Dekat dalam artian mereka sama-sama nyaman dengan pembicaraan mereka kali ini. Sudah tidak seformal sebelumnya.
"Bisa, gak?" Jonathan makin penasaran. Dia berkacak pinggang sambil terus memperhatikan telapak kaki Selena.
"Wah ... kayaknya udah gak sakit, deh."
Selena mencoba mengeluarkan satu kakinya. Kaki kanan yang tidak terlalu sakit. Kemudian perlahan, mulai menggerakkan kaki kiri. Senyum lebar di wajah gadis itu saat tidak ada lagi rasa sakit di sana. Benar-benar hilang.
"Astaga ...." Gadis itu tersenyum lebar kali ini. Dia langsung menjulurkan kakinya ke depan. Selena menggerakan telapak kaki dengan gerakan memutar.
"Sakit gak?" tanya Jonathan sedikit penasaran.
Selena tersenyum sangat lebar kali ini. Kepalanya menggeleng pertanda tak ada lagi rasa sakit yang dia rasakan saat ini termasuk di lututnya.
"Bener-bener mujarab pengobatanmu, Nathan," ucap Selena. Dia tidak bisa berhenti tersenyum sambil memandang kakinya.
'Nathan?'
Jonathan malah kembali bergumam sendiri dengan otaknya, tapi syukurlah kini gadis itu sudah bisa tersenyum. Dia sudah tidak gemetar lagi seperti beberapa saat yang lalu. Sepertinya rasa sakit di fisiknya benar-benar telah hilang, tapi mungkin rasa sakit di hatinya masih ada.
Selena mendongak. Dia akhirnya memberanikan diri untuk berdiri.
"Kayaknya aku gak jadi pulang."
"Kenapa?" tanya Jonathan.
"Kakiku sudah sembuh, aku ingin bekerja lagi."
Jonathan menggeleng sangat tidak setuju.
"Mulai saat ini kamu berhenti bekerja di sini," ucap Jonathan.
Selena tersenyum. Dia hendak meraih sepatunya untuk di pakainya lagi.
"Biaya hidup di New York besar banget, aku harus kerja kalau mau hidup sebulan ke depan," ucap Selena.
"Kalau begitu kau bisa cari pekerjaan lain selain bekerja di bar," ucap Jonathan masih memperhatikan gadis di depannya.
Selena mendecih. Lalu dia menggeleng.
"Tidak ada yang menerima seorang gadis yang belum lulus kuliah untuk bisa mendapat pekerjaan yang layak di New York."
Selena berdiri sempurna. Menatap pria di depannya sekali lagi.
"Makasih buat bantuannya, Jonathan. Semoga kita bisa ketemu lagi."
Senyum lagi di wajah gadis itu sebelum dia melangkah meninggalkan pria Indonesia itu.