8. We're Friends Now

1587 Words
Green Village Apartemen Harlem – Manhattan – New York 09.01 AM ________ “Biar aku saja yang bawa barang-barang besar. Kamu ambil aja yang di kantong kecil itu,” kata Jonathan sembari menunjuk dengan dagunya ke arah kantung kertas berisi barang-barang kecil. Sementara tangannya sudah memegang sekardus bir dan juga cola yang diberikan oleh kasir. Selena mengangguk. “Apartemen aku ada di lantai tiga dan di sini gak ada lift,” kata gadis itu. Dia masih memakai bahasa Indonesia. Jonathan yang memintanya. Hitung-hitung untuk melancarkan bahasa Indonesianya yang kadang kala mulai terkontaminasi dengan bahasa Inggris. “Gak apa-apa. Hitung-hitung buat merenggangkan otot-otot di betis,” ucap pria itu. Ia terkekeh. Mereka menapaki undakan tangga besi hingga ke lantai tiga. Selena meletakan belanjaan di lantai. Bergegas gadis itu merogoh kunci dari dalam tote bag. Bergegas Selena membuka pintu unit apartemennya. Lantas gadis itu mempersilahkan Jonathan untuk masuk. “Masih ada daging lagi, ya?” tanya Jonathan. Selena mengangguk. Mereka kembali menuruni anak tangga menuju depan gedung apartemen. Selena memberikan 10 dolar 5 sen kepada si supir taksi lalu gadis itu bergegas ke belakang mobil. Dilihatnya Jonathan telah mengambil dua kantung berisi daging sapi. Selena tersenyum. Wanita muda itu menambil dua kantung terakhir lantas menyusul Jonathan yang telah lebih dahulu masuk ke dalam apartemen. “Hahh ….” Jonathan mendesah setelah meletakan dua kantung berisi daging itu ke wastafel. Sementara Selena meletakan belanjaannya ke meja persegi panjang di ruang tamu. Selena bergegas menuju ke dapur mini-nya. Ia menghampiri kulkas lalu membukanya. Ada dua kaleng bir terakhir di dalam kulkas. Wanita itu membawa dua bir tersebut ke atas meja. Sebuah meja bundar dengan bar stole. Jonathan duduk di salah satu kursi yang berseberangan arah dengan Selena. “Minum dulu, Than,” kata Selena. Gadis itu bersedia membuka penutup kaleng lantas ia berikan kepada Jontahan. “Makasih,” kata Jo. “Aku dong yang harus bilang makasih,” sergah Selena cepat. “kalau gak ada kamu, aku harus bayar tip lagi sama si supir taksi,” ujar gadis itu. Jonathan mengerutkan dahinya. Masih sambil menegak bir, ia menatap Selena dengan tatapan penuh tanya. Cepat-cepat pria itu meletakan kaleng kosong ke atas meja. “Jadi, kamu memang selalu bawa belanjaan segitu banyak?” tanya Jonathan. Sambil memanyunkan bibir, Selena menganggukkan kepalanya. “So, you wanna say all this time your friend has never shopped?” tanya Jo. Ia mencodongkan wajah lengkap dengan dahi yang terlipat. Selena kembali mengangguk. “She’s bussy,” kata Selena. Terdengar embusan napas panjang dari Jonathan. Pria itu melayangkan tangan kanannya ke udara sembari memutar bola mata. Terlihat sedikit kesal wajah pria itu. “Maaf kalau aku bicaranya lancang, tapi menurutku seakan-akan dia buat kamu seperti pembantu,” kata Jo. Selena tertawa pelan lalu mengibaskan tangan kanannya dengan pelan. “Gak lah,” sangkal Selena. “Dia memang sibuk, Than. Dia gak seperti itu, kok. Kita sudah berbagi tugas. Kirana bagian bersih-bersih rumah sama nyuci baju, aku bagian masak dan belanja,” ucap gadis itu. “Tapi, kadang dia belanja juga kok. Ya … walau lebih sering dia memilih untuk membeli makanan cepat saji.” Jo kembali mendesah. “Tetap saja, temanmu itu tidak boleh sembarangan menyuruh kamu. Lihat saja hari ini, oh my ….” Jo menggeleng lagi. Pria itu berdecak kesal. Tak berselang lama, terdengar bunyi getar datangnya entah dari mana. Jonathan yang pertama kali mengerutkan dahi. Ia menunduk lalu menyadari jika bunyi tersebut datang dari balik celana boxer-nya. Cepat-cepat pria itu mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana pendeknya. Tertera nama Aaron Travis di sana. Sekilas, Jonathan membawa tatapannya kepada Selena. Wanita muda itu mengangguk. Seolah-olah telah paham apa maksud tatapan dari pria di depannya. Selena memilih untuk menegak minumannya. “Ya,” kata Jo. “Kau di mana?” tanya Aaron. “Kenapa?” Jontahan malah balik bertanya. “Kemari ke basecamp, ada yang perlu kita bicarakan. Seo Joon sudah di sini. Kau jemput si King Kong,” titah Aaron. Jonathan mendesah panjang. Pria itu menggaruk dahinya. “Memangnya harus sekarang?” “Ya. Sekarang,” ketus Aaorn. “Memangnya kenapa? Ini hari minggu dan kau pasti sedang besenggama dengan konsolmu, kan?” Kali ini Jonathan mendengkus. “Bullshit,” gumam pria itu. “Cepat kemari. Jangan lupa panggil si King Kong,” kata Aaron lantas pria itu memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Jonathan mendesah lagi lalu membawa ponselnya ke atas meja. Pria itu kembali memberikan atensi penuhnya kepada Selena. “Sel, kamu kuliah?” tanya Jonathan. Selena mengulum bibir. Ia memutar pandangan kembali menatap Jonathan. Wanita muda itu menganggukkan kepalanya. “Di mana?” tanya Jonathan lagi. “Fakultas ekonomi di NYU,” kata Selena. Jonathan mengulum bibirnya sembari menganggukkan kepala. Saat ia menatap Selena, mulutnya terbuka, tetapi Selena lebih dahulu berucap, “Tahun kedua.” Instingnya sudah bisa menebak apa yang akan ditanyakan Jonathan. Tipikal gadis pintar. Mulut Jonathan terbuka sekadar membentuk huruf O. Ia kembali menganggukkan kepala. “Maaf nih kalau aku banyak tanya. Soalnya aku excited banget ketemu orang Indonesia. Aku juga punya beberapa teman orang Indonesia dan rata-rata seumuran kita juga. Kapan-kapan kamu gabung di klub kita, ya?” Selena mengerutkan kening. “Klub apa?” tanya gadis itu. “Umm … gimana, ya, kita sih nyebutnya Milenials Perantau. Klub itu sih terbentuk gitu aja.” Mulut Jonathan terbuka ketika keningnya mengerut. Tampak pria itu tengah berpikir keras. “Ah, iya,” katanya lagi. Pria itu mengacungkan telunjuknya. “Empat tahun lalu kalau gak salah, ya. Pas ketemu temen-temen dari Indonesia yang kuliah dan bekerja di New York. Rata-rata umur kita baru dua puluhan. Ada juga yang udah kepala tiga. Kita kadang cuman hangout bareng aja. Sekadar mempererat tali persaudaraan sesama anak bangsa,” ujar Jonathan. Selena kembali mengulum bibirnya sembari menganggukkan kepala. “Ummm … boleh,” ucap gadis itu. Entah mengapa bibir Jonathan begitu saja membentuk senyuman. Seakan-akan ucapan Selena barusan adalah sebuah berita terbaik yang mampu menggetarkan hingga ke alam bawah sadarnya. “Kamu boleh panggil teman kamu juga, kok. Siapa tadi namanya?” “Kirana,” kata Selena. Jo mengangguk. “Iya, dia. Biar rame aja kita,” kata Jonathan yang dibalas dengan anggukkan kepala oleh Selena. “Oh ya, aku minta nomor telepon kamu, bisa?” Selena tersenyum. “Boleh,” kata gadis itu. Lagi-lagi Jonathan tersenyum. Entah dia sadar atau tidak, sekarang jantungnya sedang berdebar kencang. Astaga! Untuk pertama kali dalam hidup seorang Jonathan Abigail Kusuma, dirinya tak mau berhenti tersenyum. Sepasang iris cokelat bulat di depannya benar-benar terlihat begitu manis. Seperti lelehan cokelat. Dengan senang hati Jonathan mengusap layar ponselnya lalu mendorong benda itu ke arah Selena. Jonathan tak merelakan sedetik pun terlewatkan tanpa menatap Selena yang terus memamerkan senyum manisnya. ‘Cantik banget,’ batin Jonathan. Pria itu menggelengkan kepala ketika alam bawah sadarnya tiba-tiba memberikan perspektif lain. ‘Bagaimana kalau dia sudah punya pacar? Jangan gegabah kamu, Jo.’ “Ni,” kata Selena sembari mengulurkan tangan, menyerahkan ponsel Jonathan. Pria itu butuh berdehem untuk mengembalikan kesadarannya. Setelah itu, tangannya terangkat mengambil ponselnya. Jonathan langsung menekan icon hijau. “Ponsel aku ada di tas,” kata Selena. “Yang barusan telepon itu nomor aku. Disimpan, ya.” Selena membentuk huruf O lewat ibu jari dan telunjuknya. Jonathan terkekeh. Tingkah Selena benar-benar menggemaskan. “Kalau begitu aku permisi dulu, ya.” “Loh … sudah mau pulang? Terus rendangnya?” Jonathan mengulum bibirnya. Pria itu kembali menatap Selena. Keningnya mengerut saat bibirnya mulai terbuka. Telunjuknya ragu-ragu mengarah ke Selena. “Apa sebentar kamu akan ke kelab?” tanya Jonathan. “Ya, tentu.” Selena menyahut dengan anggukkan kepala. “Jam berapa?” tanya Jonathan lagi. “Setengah lima aku udah berangkat,” kata Selena. “Kalau begitu aku jemput kamu, ya?” Selena menatap Jonathan. Terlihat kening wanita itu mengerut membuat mulut Jonathan kembali tebuka. “Sekalian ambil rendangnya,” kata Jo. Akhirnya Selena mengangguk. “Oke,” ucap gadis itu. Dia kembali tersenyum. “Kalau begitu aku pamit, ya.” “Hem. Kamu naik taksi?” tanya Selena. Jonathan melirik jam tangan mewah yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Ia mengulum bibir. “Ummm … sepertinya iya,” kata Jonathan. Selena mengangguk. “Kalau begitu hati-hati, ya. Sampai ketemu nanti sore,” kata gadis itu dengan lembut. Dia menutup ucapannya dengan senyum simpul membuat jantung Jonathan berdegup kencang. Pria itu sampai rela menahan napasnya demi membuat jantungnya berhenti berdetak. Setidaknya untuk beberapa detik. Astaga! Entah apa yang sedang terjadi pada Jonathan. Well, dia belum pernah segugup ini hanya karena menatap senyum seorang gadis. Oh, mungkin karena dia terlalu sering dikelilingi gadis-gadis seksi, makanya Jo terlalu kenyang menatap senyum para gadis. Namun, senyum gadis di depannya sangat berbeda. Benar-benar seperti lebah yang mampu menyengat. ‘Queen Bee,’ gumam Jonathan dalam hatinya. Alam bawah sadarnya harus berkali-kali menampar pria itu dengan kesadaran agar dia mau memalingkan wajah. “Ehem!” Dan berdehem rupanya sudah menjadi favorit-nya mulai pagi ini. “Ka-kalau begitu ak-aku pamit,” ucap Jo tanpa menatap Selena. “Oke. Sekali lagi makasih ya, Nathan.” “Hem,” gumam Jo sembari menganggukkan kepala. Pria itu hanya memberikan tangan kirinya yang terayun sebagai tanda perpisahan. Jonathan bergegas keluar dari unit 83 itu. Hampir saja ia terseok ketika tubuhnya sudah berada di luar. “Oh my God ….” Jonathan bergumam. Ia menunduk sambil mengusap dadanya. Butuh beberapa tarikan napas untuk memanggil keberaniannya. Jonathan menggeleng ketika embusan napas panjang keluar dari hidungnya. “Astaga …,” gumam Jonathan sembari menatap pintu kayu dengan cat cokelat di sampingnya. Ia kembali menggeleng lalu mulai melangkahkan kaki menuruni anak tangga. ‘Jo … what are you thinking about?’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD