9. About The Bet

1763 Words
“Hey baby … I think I wanna marry you. Is it the look in your eyes, or is it the dancing juice, who cares baby! I think I wanna marry you. Just say I do … Woo … Huu ….” Kepala Jonathan fleksibel bergerak mengikuti irama lagu pop rock milik Bruno Mars. Pria itu menyetel audio begitu kencang. Oh, hari ini hari terbahagia dalam hidupnya. Walau tak jelas alasan kebahagiaan itu. Selena? Alam bawah sadar secara khiasan mengangkat kedua bahu. Mungkin saja. Atau juga benar. Hanya Jonathan dan Tuhan-nya yang tahu mengapa dia begitu bahagia sekarang. Lihat saja, senyum di wajah tampannya tak mau pudar. Tangannya bergerak memutar setir mobil. Jaguar putih kesayangannya berbelok memasuki sebuah hunian duplex di kawasan 145 Hudson Street. Bibirnya masih bersiul menggantikan audio mobil yang sudah dimatikan. Pria itu turun dari mobilnya lantas menekan tombol pada kunci mobil dan bersiap memasuki lift. Menekan angka 100 dari deretan tombol di samping kanan tempatnya berdiri. Ia masih terus bersiul dengan kepalanya yang bergoyang. Kedua tangan di masukkan ke dalam saku celana ripped jeans denim merek terkenal. Kameja sutra over size navy dengan kaca mata hitam bertengger di wajah tampannya. Lift berjalan cepat membawa pria berdarah Indonesia berkembangsaan Amerika itu ke penthouse milik sahabatnya. “Darren!” seru Jonathan. Ia mendesah. Pria itu menunduk. Menatap lantai marmer, sejenak berpikir. “Apa aku harus seperti ini seumur hidupku?” gumam Jonathan. Ia menggelengkan kepala. Bibirnya berdecak saat ia kembali mengangkat wajahnya. Desahan napas berat kembali keluar dari mulutnya. Ia memandang anak tangga yang melingkar hingga ke lantai dua. Dengan wajah malas, pria itu melangkahkan kakinya menaiki satu per satu anak tangga menuju lantai dua. “Darren!” Masih terus menyerukan nama seseorang. Pria itu mendesah saat mendengar suara dengkuran yang datangnya dari salah satu bilik dari dua kamar yang berhadapan di sepanjang hallway. “Astaga ….” Jonathan menekan kenop pintu lantas mendorongnya. Ia kembali mendesah saat memandang seorang pria yang sedang tidur tengkurap di atas ranjang king size. Jonathan menggeleng pelan. Terdengar decakan kesal dari pria itu ketika dia mulai mengambil langkah memasuki kamar milik Darren McKenzie. “Hei, wake up, King Kong,” gumam Jonathan. Langkah kakinya menuntun pria itu menuju jendela. Tanpa berpikir lagi, Jonathan langsung menyibakkan gorden yang menutupi jendela kaca berukuran besar tersebut. Terdengar geraman dari pria berusara bass berat yang sedang tertidur di atas ranjang king size. Wajahnya yang bersandar di atas bantal lantas berputar menghadap ke arah berlawanan, akan tetapi dia lupa jika sekeliling ruangan ini berdinding kaca bentangan yang menjulang tinggi hampir seantero dinding. Seringaian muncul di wajah Jonathan ketika dia melangkah ke arah seberang lantas dengan kasar pria itu membuka gorden di depannya. “Fu’ck off!” umpat Darren. Terlihat lipatan di dahi pria itu. “Wake up, Darren!” “Fu’ck off!” Sekali lagi Darren mengumpat lalu menggeram. Sambil berkacak pinggang, Jonathan menggelengkan kepalanya. Kembali pria itu berdecak kesal. “Bangunlah. Aaron menyuruh ke penthouse-nya,” kata Jonathan. Pria itu duduk di tepi ranjang. Saat tak mendapatkan jawaban dari Darren, Jonathan pun mendesah panjang. Ia berbalik lalu menarik selimut tebal yang membungkus tubuh kekar Darren. Pria bersuara bass berat itu kembali menggeram. “Enyahlah, Jo!” “Ayolah, Darren. Kau tahu Aaron, kan?” Terlihat lipatan di dahi Darren. Perkataan temannya barusan mengusik kesadarannya lebih jauh lantas membuat rungunya sedikit pening. Sepasang kelopak mata itu mulai bergerak. Perlahan namun pasti, akhirnya terbuka. Darren langsung memutar pandangannya mencari Jonathan. “Who’s fuc’king care with that asshole!” Darren mendengkus lalu kembali melempar wajahnya di atas bantal. “Ayolah Darren, lagi pula ini hari minggu apa kau mau tidur seharian di sini?” Akhirnya Darren berdiri. Layaknya seorang King Kong yang baru terbangun dari tidurnya. Ia pun mengamuk dengan wajah merah padam. “For the damn sake, bisakah kalian berhenti menggangguku?!” Darren berucap sambil menatap dinding, akan tetapi Jonathan bisa merasakan aura menakutkan dari pria itu. “C’mon, Man, apakah kau tidak ingin mendengar soal taruhannya?” “Perset’an dengan taruhan itu!” Darren kembali menggeram. “Aku bahkan bisa membeli sepuluh kondo tanpa memenangkan taruhan sialan itu.” “Ya sudah, kalau begitu aku akan pergi.” Jonathan bangkit, tetapi ia cukup terkejut saat melihat Darren meloncat dari tempat tidurnya. Tatapan mereka bertabrakan. “Tunggu di sini. Aku akan mandi sekarang,” ucap Darren. Pria itu kembali mendengkus. Jonathan mengulum bibir lalu menganggukkan kepala. Sekali lagi dia berhasil menaklukan seorang Darren McKenzie. Pertemanan mereka selama bertahun-tahun membuat Jonathan seolah sudah punya trik sendiri untuk menaklukan sifat Darren. Ya, dua orang itu memang sudah berteman sejak kecil. Jonathan telah paham betul bagaimana sifat teman sekaligus anak dari pemilik perusahaan multinasional terbesar di Amerika. Salah satu pewaris McKenzie Enterprise Holding. Sekarang Darren menjabat sebagai general manager, sementara posisi CEO masih di duduki oleh sang kakak, Dylan McKenzie. Jonathan bersama ayahnya bekerja di perusahaan milik keluarga McKenzie. Dengan begitulah kedekatan antara keluarga McKenzie dan Kusuma terjalin sejak dahulu. Tak berselang lama, Darren telah kembali. Ia mendapati Jonathan tengah menatap gawai dengan begitu serius. Pria bermata biru itu memilih untuk tidak menegur temannya. Mengusap rambut dengan handuk sambil berjalan menuju walk in closet. Darren segera mengambil celana jins denim beserta kaos polos berwarna hitam. Tampilan yang sangat klasik. Setelah itu, dia keluar dan segera menyisir rambutnya. “Ayo, Jo.” Jonathan bergeming. “Oh,” sahutnya. Sekali lagi dia menatap gawainya kali ini Jonathan menampilkan senyum sumringahnya membuat Darren mengerutkan kening. “Ada apa?” Akhirnya Darren tak bisa menahan rasa penasarannya lebih lama. Berharap akan mendapatkan jawaban, tapi hanya senyum simpul yang diberikan Jonathan kepadanya. Pria Kusuma itu mengedikkan kepala menunjuk pintu keluar. “Let’s go,” ajak Jonathan. *** Sepanjang perjalanan menuju tempat Aaron, Jonathan terus memamerkan senyumnya. Tak jarang pria itu menyengir sendiri membuat Darren bertanya-tanya. Namun, tak satu pun dari pertanyaan Darren yang dijawab oleh Jonathan. Mobil Jaguar itu tiba di depan sebuah apartemen di One 57. Jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat Darren. Jonathan segera turun lalu menyerahkan kuncinya kepada petugas valet. Memasukki bangunan mewah dengan gaya paling memukai, keduanya disambut ramah oleh para pelayan hotel yang memang berada di lantai dasar apartemen ini. Menaiki lift khusus, Jonathan lalu menekan angka 102. Pria itu memutar tubuh. Menikmati pemandangan Central Park yang indah, Empire State Building, Patung Liberty dan Sungai Hudson dari balik kaca bentangan yang mengelilingi dinding lift. Hingga bunyi pintu lift membuat pria itu kembali memutar tubuhnya dan ia segera menyeret Darren keluar dari sana. Terdengar suara napas berat dari Darren. “Oh, c’mon, Man … kamu harus semangat,” kata Jonathan. Dia menepuk d**a Darren. “Pissed off!” gumam Darren sembari melepas tangan Jonathan dari atas pundaknya. Jonathan hanya menanggapinya dengan tawa kecil. “Astaga ….” Lanjutnya bergumam. Mereka harus berjalan menyusuri lorong panjang dengan foto seorang Aaron Travis yang terpajang memenuhi hampir seluruh dinding dengan jarak yang cukup dekat. “Cih! Apakah ini yang disebut jimat pengusir hantu?” Darren bergumam sambil memandang sinis deretan foto yang terpajang di sepanjang lorong. Tak sampai di situ, pria McKenzie itu pun menggelengkan kepalanya ketika alam bawah sadarnya ikut mencibir foto Aaron. “Holla ….” Darren kembali mendengkus saat melihat wajah Aaron yang kini melambaikan tangan sambil memasang senyum yang menurut alam bawah sadar Darren terlihat begitu konyol. Ia pun memalingkan wajah lantas membanting tubuhnya pada sofa tunggal berwarna biru. “Apa kau mengundang kami pagi-pagi ke sini hanya untuk melihat senyum konyolmu?” Pertanyaan barusan terdengar sarkas, akan tetapi semua itu tentu tak bisa memengaruhi Aaron Travis. Ia tetap tersenyum. “Ladies!” seru Aaron sembari menepuk kedua tangannya. Sejurus kemudian, empat orang gadis bertubuh molek muncul dari lorong dapur membawa beberapa cemilan lengkap dengan sampanye. “Apa tidak ada vodka?” tanya Darren. “Bung,” panggil Seo Joon. Suaranya membuat Darren mengalihkan atensinya kepada pria Asia itu. “Ini masih siang. Tolonglah,” ucap Seo Joon santai. Wajah tegangnya berusaha memasang senyum simpul yang malah terlihat kaku. “Hanya bayi yang minum sampanye di pagi hari,” ketus Darren. “He-“ Ucapan Kim Seo Joon tertunda saat Jonathan menyikut lengannya. Seo Joon memutar pandangan kepada Jonathan dan pria itu memberikan kode lewat matanya, menyuruh Seo Joon agar tidak memulai perdebatan dengan Darren. Seo Joon mendengkus lalu memalingkan wajahnya. “Okay!” Tepuk tangan Aaron membuat tiga pria itu memusatkan atensi mereka kepadanya. Aaron dengan santai memasukkan kentang goreng ke mulutnya. Ia menatap satu per satu wajah teman-temannya. “Let’s talk about the stakes,” kata Aaron. Masih mengawasi ekspresi wajah teman-temannya. “Oke, katakan,” kata Seo Joon. Dirinya yang paling antusias dengan taruhan ini. “Oke!” Aaron menepuk kedua tangan satu kali lantas membawa punggungnya hingga menyentuh sandaran kursi. Ia duduk di sofa persegi panjang yang berseberangan arah dengan tempat duduk Jonathan dan Seo Joon. Di sana, dia dihibur oleh empat orang gadis yang duduk di atas kedua pahanya dan yang lain mengapit tubuhnya di samping. “Taruhannya sederhana. Sangat sederhana,” kata Aaron. Ia menyeringai. Ekspresi wajahnya terlihat mencurigakan. “Kalau begitu katakan.” Seo Joon menuntut makin tidak penasaran. Satu sudut bibir Aaron makin terangkat membentuk seringaian. “Jadi … dengan taruhan kondominium dan mobil sport edisi terbatas, kalian harus berlomba membawa seorang gadis lalu menidurinya dengan cara paling liar – keras – dan aku ingin mendengar jeritannya.” Seketika Kim Seo Joon mendesah panjang. Kedua tangannya terayun ke udara saat ia membanting punggungnya ke belakang. Jonathan masih tidak menggubris. Sejujurnya, ia tidak peduli dengan taruhan ini. Jika tawarannya hanya kondominium dan sebuah mobil sport, semua itu sudah dimiliki oleh Jonathan. Dia memang tak punya apartemen, akan tetapi rumahnya cukup mewah dan dia juga tidak butuh mobil sport baru. Sedang Darren, dia juga malas dan begitu tak ada nafsu dengan tantangan ini. Berbicara soal mobil sport, bukannya Darren tak mampu membelinya, akan tetapi dia lebih suka berkendara dengan Ducati XDiavelS miliknya ketimbang berkemudi dari balik setir mobil. Tidak. Sejauh ini, Jonathan selalu menjadi supir pribadinya. Melihat tak ada keantusiasan lagi di wajah teman-temannya, membuat iblis dalam diri Aaron sedikit kecewa. Namun, masih terlalu mudah untuk menyerah. Aaron memberikan gestur kepada salah satu gadis untuk mengambilkannya minuman. Setelah menegak sampanye, akhirnya Aaron mulai menyeriusi ucapannya. “Gampang saja. Gadis itu hanya seorang pelayan bar, pasti tidak sulit membawanya ke ranjang.” Seketika dahi ketiga pemuda itu mengernyit lalu perlahan memutar pandangan dan memusatkan tatapan kepada Aaron Travis. Terlihat seringaian licik kembali terbit dari wajah tampannya. “The girl is the barmaid. Wanita yang kemarin menyirami Darren dengan koktail.” “APA?!” Semua orang langsung memusatkan perhatiannya kepada pria yang baru saja memekik dengan suara yang melingking tinggi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD