Mobil sport Jaguar, melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan kawasan perumahan Harlem. Seorang pria berwajah tegas duduk di belakang kemudi. Rahangnya mengencang, sekencang kedua tangan yang mencengkram stir mobil. Tatapannya tajam bagai seekor raja hutan yang tengah mengawasi mangsa dari jarak cukup jauh.
Kakinya menginjak pedal gas hingga mobilnya melesat secepat tembakan angin. Dia benar-benar tak sabar. Dalam pikirannya hanya ada wajah seorang pria. Dan dia bersumpah akan menghajar pria itu, apabila dia melakukan sesuatu pada Selena.
Jarak yang semestinya ditempuh lebih dari tiga puluh menit, hanya ditempuhnya dalam waktu sepuluh menit. Bunyi decitan ban menggema di basement sebuah apartemen lima puluh lantai ini. Dengan terburu-buru, lelaki bermata elang dengan bola mata hitam tersebut turun dari mobil. Melesat menuju lift dan tangannya sangat tak sabar menekan tombol lima puluh.
Embusan napas panjangnya bergemuruh dalam ruangan kotak ini. Seakan mendukung tindakannya, lift bangunan ini ikut berjalan cepat membawa lelaki itu naik ke lantai paling atas.
Keluar dari sana dengan tangan yang telah mengencang pada kedua sisi tubuhnya. Lelaki itu melesat mencari sebuah pintu dengan angka 501. Napanya mengentak satu kali dengan tembakan kasar ketika tubuhnya mengadah pada sepasang pintu kayu cokelat.
Sekali lagi mendengkus dan dia membawa tangannya naik menekan bel. Lelaki itu telah bersabar selama dua menit, tapi tak ada yang merespon. Bahkan layar kecil di samping pintu belum mengeluarkan suara apa pun. Semua itu membuatnya gusar. Pria Indonesia itu kembali menekan bel berulang kali.
“Sial!” umpatnya. Tak ingin menyerah, dia pun makin semangat menekan bel tersebut. Namun, berapa kali pun dia mencoba, tetap saja masih tak ada jawaban.
Pria itu memutuskan untuk berhenti dan mengambil satu langkah mundur. Dia kembali memandang pintu di depannya. Lelaki itu mengernyit. Melempar tatapan ke bawah, dia menatap jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kanannya. Pukul 11 lebih 47 menit. Di jam seperti ini, pria Asia bernama Kim Seo Joon itu semestinya sudah berada di dalam apartemennya. Dia tahu kalau temannya itu sangat konsisten pada waktu.
‘Apa dia di apartemennya Aaron?’ batinnya. Dahinya mengerut, tampak berpikir keras. ‘Ah, tidak mungin,’ bantahnya. ‘Besok masih hari kerja, tidak mungkin Seo Joon menginap di apartemen Aaron.’
“Kau sedang apa?”
Suara bariton itu membuyarkan lamunan Jonathan. Membuatnya langsung memutar tubuh ke samping. Lelaki itu mendengkus dan dengan cepat menghampiri Kim Seo Joon. Tangannya bergerak secepat langkahnya. Dia langsung meraih kerah kameja Seo Joon.
“Katakan padaku apa yang baru saja kau lakukan, hah?” tanya lelaki itu dengan nada pelan, tetapi mengancam. Tatapannya berkilat-kilat bak kobaran api yang siap menghanguskan Kim Seo Joon saat ini juga.
Bukannya takut, Kim Seo Joon malah tersenyum miring. Pria itu menatap lelaki di depannya dengan pandangan sinis. Sikapnya membuat Jonathan naik pintam. Dengan kepalan tangannya, dia mendorong d**a Seo Joon. Membuatnya menutup mata sambil meringis.
“Michin seakkiya!” desis Seo Joon. Dengan cepat dia meraih kedua tangan Jonathan lalu mendorongnya. “Yak!” teriak Seo Joon. Bahasa negaranya muncul ketika lelaki itu sedang marah. Telinganya memerah. “Kau pikir kau siapa, hah?!” Seo Joon kembali berteriak. Dia mengibaskan kamejanya dengan kasar.
Jonathan tak peduli. Dia kembali mendekati Kim Seo Joon dan meraih kedua kerah bajunya. “Tutup mulutmu. Sekarang katakan padaku apa yang telah kau lakukan pada Selena.”
Kim Seo Joon tertawa sinis. “Yak!” Lelaki itu kembali menepis tangan Jonathan dengan kasar. “Kau pikir aku ini manusia seperti apa, hah?” Kim Seo Joon tak kalah menaikkan nadanya. “Aisshh ssibal!” desis Seo Joon dengan mata nyalang. Kim Seo Joon tak bisa menahan diri untuk memaki. Walau dengan bahasanya. Setidaknya dia masih terdengar sedikit sopan karena Jonathan tak mengerti jika barusan dia meneriakan kata ‘kep^rat’ pada Jonathan. Kim Seo Joon mengentakan kedua sisi kerah bajunya dengan kasar.
Sementara Jonathan memilih untuk diam sejenak. Menarik napas dalam-dalam dan menghitung dari satu sampai dua puluh. Simulasi yang sering dilakukannya untuk meredam amarah. Walau jantungnya masih berdetak meningkat dan urat-urat di lehernya masih menggelegak, Jonathan tetap harus menahan amarah yang meledak-ledak dalam dirinya.
“Maaf,” gumam Jonathan sembari membuang napas panjang.
Kim Seo Joon masih memandangnya sinis. “Gae dong seakkiya,” maki Seo Joon lagi.
“Aku minta maaf,” kata Jonathan sembari menundukkan kepalanya. Hidungnya kembang kempis dan matanya masih membulat.
Jonathan berdecak kesal. Lelaki itu mengusap dahinya dengan kasar. “Lagi pula ada apa denganmu, Jo?” tanya lelaki itu. Kim Seo Joon berkacak pinggang sambil memandang Jonathan dengan mata nyalang.
Jonathan mendesah lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Kakinya gontai berjalan ke belakang sampai punggungnya menabrak dinding. Jonathan membiarkan tubuhnya beringsut hingga ke lantai. Lelaki itu menaruh wajahnya yang masih tertutup telapak tangan ke atas lutut.
Mulut Seo Joon terbuka melepaskan desahan kasar. Seklias menengadah ke atas, Kim Seo Joon dengan berdecak kesal lalu membawa tatapannya pada Jonathan.
“Kau pikir aku Darren, hah?” ucap Seo Joon. Dia menggeleng. “Kupikir kita sudah berteman sejak dulu, Jo. Tapi sepertinya kau masih tidak mengenal temanmu selain Darren,” ujar Seo Joon. Jonathan terdiam. “Aku tidak akan menyakiti gadis itu. Tidak, Jo. Walaupun taruhannya lebih besar dari sekedar kondominum dan mobil sport, aku tidak akan pernah sudi untuk melukai wanita.”
Jonathan mengangkat kepalanya. “Lalu kenapa kau membeli Selena, Joon?” tanya Jonathan dengan mata nanar.
Kim Seo Joon kembali berdecak. Masih sambil berkacak pinggang. Kim Seo Joon terdiam selama beberapa detik lalu dia melempar tatapan ke bawah. Mulutnya terbuka dan lidahnya bergoyang-goyang di dalam mulutnya. Lelaki itu harus memutar otak dan berpikir keras untuk mengutarakan maksudnya.
“Joon …,” panggil Jonathan dengan nada melirih.
Kim Seo Joon mengentakan napasnya satu kali saat dia mengangkat pandangannya. “Oke,” kata pria itu dan dia menatap Jonathan. “Aku memang sudah membelinya.”
Jonathan mendesah kecewa. Menelengkan wajah ke samping dan pria itu menggeleng pelan. “Kau sama saja dengan mereka, Joon.”
“Ya,” sahut Seo Joon. “Aku memang menginginkan gadis itu dan aku tidak munafik kalau aku menginginkan mobil Aaron. Juga penthouse-nya. Tapi aku tidak segila itu. Kau pikir aku mau melecehkan wanita?” Nada Seo Joon meninggi dan matanya membesar.
Jonathan mendongak. Menatapnya dengan wajah sinis. “Lalu? Kalau begitu kenapa kau membelinya, hah?”
Kim Seo Joon berdecak kesal untuk kesekian kalinya. “Demi Tuhan, Jo. Sebaikanya ganti pertanyaanmu. Sudah berulang kali kukatakan agar jangan langsung menghakimi seseorang hanya lewat satu sudut pandang.”
Jonathan berdiri cepat dan kembali menghampiri Seo Joon. Sementara pria Korea itu memasang diri awas dengan tatapan penuh kewaspadaan. Tangannya bersiap melindungi wajah. Sialan. Jangan sampai dia kena bogem di wajah.
“Kau pikir aku tidak melihat kalian di kelab itu, hah?” Jonathan kembali meradang. Tatapannya kali ini membuat nyali Seo Joon menciut.
“Tu- tu-“ Seo Joon menggagap. Jantungnya bertalu kencang. Lelaki itu kembali berdecak kesal. “Hei, dengarkan aku.” Mencoba menutupi rasa takut dengan merangkul Jonathan, tapi tetap menjaga jarak dengan wajah. Apa pun itu, asal jangan wajah. “Aku membelinya dari sana agar dia tidak bekerja lagi di kelab itu. Sialan. Kau pikir dia akan aman di sana? Bagaimana kalau Darren ke sana dan melecehkannya lagi?”
Untuk sekejap kening Jonathan mengerut. Lelaki itu memutar wajahnya lambat-lambat. “Kenapa kau tahu kalau Darren melecehkan Selena?” tanya Jonathan dengan pandangan menyelidik.
Seo Joon menarik dirinya dari Jonathan. “I- itu … i- itu … ka- kami ada di sana,” ucap Seo Joon. Menggagap, tetapi pandangannya menantang. “Jujur saja aku dan Aaron ada di sana, tapi kami tidak berani mendekati Darren. Siapa juga yang mau diamuk gorilla itu.” Seo Joon memalingkan wajahnya.
Jonathan mendecih sinis. “Aku tak menyangka kalian akan sepengecut itu, Joon.”
“Terserah!” bentak Seo Joon. “Kami bukan Jonathan Kusuma yang bisa menjinakan monster,” ujar pria itu. Dia menatap Jonathan dengan wajah kesal.
“Lalu katakan padaku alasanmu membeli Selena. Aku tahu tujuan kalian dan aku bersumpah akan langsung menghabisimu kalau kau melecehkan Selena.” Jonathan berucap sambil menunjuk wajah Kim Seo Joon dan dia menepis jari Jonathan dengan kasar.
“Hindarkan tanganmu dari wajahku,” ucap Seo Joon. Sinis.
“Kalau begitu katakan padaku, Joon.”
Lagi-lagi Seo Joon berdecak kesal. “Mulutmu seperti wanita,” gerutu lelaki itu.
“Aku tidak peduli!” tandas Jonathan.
Seo Joon menghela napas lalu membuangnya dengan cepat. “Aku membelinya agar dia mau bekerja di perusahaanku,” ujar Seo Joon. Jonathan mengerutkan keningnya. Sekali lagi membuat Seo Joon berdecak kesal untuk terakhir kalinya. “Jika kau mau tahu jawabannya, pergi dan tanyakan langsung pada wanita itu. Aku lelah dan sekarang waktunya tidur.”
Kim Seo Joon tak berucap lagi. Setelah menempelkan kartu ke gagang pintu, lelaki Korea Selatan itu masuk ke dalam apartemennya. Meninggalkan Jonathan dengan perasaan bingung.