“Joon!” teriak Jonathan. “Kim Seo Joon!” Sekali lagi dan kali ini sambil menggedor-gedor pintu. Sekalipun dia tahu kalau suaranya tak akan terdengar sampai ke dalam.
Marah karena tak mendapatkan balasan dari Kim Seo Joon, Jonathan pun berteriak dengan kuat. Masih tak ingin menyerah, sekarang Jonathan berdiri di depan bel dan dia memencat tombol itu berulang kali.
Kelakuannya bak seorang anak kecil yang marah karena mainannya telah diambil. Dan dia datang. Dengan cara apa pun, dia harus mendapatkan mainannya kembali. Bahkan walau itu harus menangis dan berlutut pada temannya.
“KIM SEO JOON!”
Akhirnya terdengar suara berderik dari samping. Beberapa detik kemudian muncul presensi seorang pria Asia dalam balutan piyama sutra.
“YAK!” teriak lelaki itu. “This seakkiya!” Dia menggabungkan bahasa Korea dengan bahasa Inggris. Oh, Demi Tuhan. Tatapan Kim Seo Joon bak seekor ular yang siap melahap Jonathan saat ini juga. “KENAPA KAU MASIH DI SINI, HAH?” Kim Seo Joon tak kalah berteriak.
Lelaki itu mendesah kesal. Mengusap kepalanya dengan kasar. Wajahnya memerah, seperti ingin menangis. Tipikal orang Seoul. Kalau marah wajahnya seperti akan menangis. Makanya mereka sering dibilang cengeng. Padahal memang begitulah cara mereka menahan emosi yang meledak-ledak.
“Ssibal!” desisnya kasar. “Kenapa masih di sini, Bangke!”
Jonathan melotot. Sekarang giliran dia yang terkejut. Untuk sekelabat, pemikiran tentang Selena terhapus saat mendengar Kim Seo Joon memaki dengan bahasa yang familier di telinga Jonathan.
“Itu kan bahasaku,” gumam pria itu tanpa sadar.
“TERSERAH!” teriak Kim Seo Joon. Mulutnya berdengung kesal. Lelaki itu mengentak-entakan kedua kaki sambil menggaruk kepala dengan kasar. Tingkahnya seperti seorang bocah yang kesal karena mainannya dirampas.
Jonathan berdecak kesal. Dia mencoba untuk tenang. Lelaki itu tahu kalau sikapnya barusan sudah keterlaluan dan itu membuat Kim Seo Joon jengah.
“Maafkan aku,” gumam Jonathan sambil memasang wajah memelas.
Kim Seo Joon kembali mendesah kesal. “Aku tidak perlu maafmu, Jo. Yang aku harapkan adalah kau pergi!” tanda Seo Joon sambil menjulurkan satu tangannya menunjuk lift.
Namun, Jonathan masih tidak beranjak. Memilih untuk menatap Seo Joon dengan wajah memelas.
“Aiiish!” Seo Joon kembali merengek bagai balita dan tingkahnya sangat menggemaskan. “Jo, mengertilah. Kumohon.” Akhirnya suara Seo Joon melembut. Wajahnya memelas. “Ini sudah hampir jam dua belas. Kau tahu jika semenit lagi aku terlambat tidur, maka akan timbul kantung mata. Dan aku harus sialan ke salon. Aish ssibal! Perawatan di salon mahal, Jo. Mahal!” teriak Seo Joon.
“Jika sejak tadi kau menjelaskan kenapa kau membeli Selena dan apa niatmu padanya, maka aku bersumpah aku tidak akan pernah mengganggu jam tidurmu yang berharga,” ujar Jonathan.
Kim Seo Joon sempat meracau kesal, tapi saat otaknya memerintah dia pun terdiam. ‘Yak, seakkiya. Cepat beritahu saja si Bangke. Kalau tidak dia akan mengganggumu sampai pagi,’ bisik suara dalam kepala Seo Joon.
Lelaki itu menarik napas dalam-dalam sambil menatap Jontahan. “Janji?” tanya Seo Joon dan dia melepaskan napas panjang. Wajahnya putih, sedikit merah karena marah. Namun, di satu sisi dia terlihat seperti boneka kelinci yang imut. Ohh … my Seo Joon.
“Tergantung,” jawab Jonathan. Dia kembali memasang tatapan penuh kewaspadaan.
“Apa maksudmu, Bangke?!” Kim Seo Joon kembali pada mode kesal.
“Ya, tergantung jawabanmu,” ucap Jonathan. “Karena aku tahu niat kalian, jadi aku yakin tujuanmu sama dengan Aaron dan Darren.”
“Aish, jjinja!” desis Kim Seo Joon. Sekilas dia menelengkan wajah ke samping lalu kembali dengan nada tegas dan mengancam. “Aku sudah bilang kalau dia akan bekerja di perusahaanku. I’m her sarvior!” teriak Kim Seo Joon.
Untuk beberapa menit Jonathan terdiam. Dia memandang Kim Seo Joon dengan tatapan menyelidik. “Hanya itu?” tanya Jonathan.
“Ya!” jawab Kim Seo Joon dengan nada menyentak.
“Tak ada lain?”
Kim Seo Joon kembali meracau kesal. Lelaki itu mengentak-entakkan kaki lebih kuat dari sebelumnya.
“Aku sudah bilang yang sesungguhnya, i***t!” Wajah Seo Joon merengek lebih para. Dan semakin dia kesal, semakin pria itu terlihat imut.
Namun, berkali-kali pun Jonathan tetap tak percaya. Dilihat dari matanya yang mengecil memandang Seo Joon dengan penuh curiga.
“Lalu di mana kau menempatkannya? Jangan bilang kalau office girl.”
Kim Seo Joon mendesah. Matanya menyala memandang Jonathan. “Kau gila?!” tandasnya. “Gadis itu kuliah di unversitas New York dan sebentar lagi dia akan lulus. Nilainya selalu sempurna dan dia selalu lulus pada setiap tes. Gadis berpotensial seperti itu hanya jadi cleaning service, kau pikir aku i***t?” Mata Seo Joon melotot.
“Lantas, kau menempatkan dia di bagian apa, hah?”
“Marketing!” tukas Seo Joon. “Puas?!” bentaknya.
Untuk beberapa saat Jonathan terdiam. Lalu terlintas sesuatu di kepalanya. “Tunggu,” kata lelaki itu.
“Oh Tuhan ….” Kim Seo Joon menggaruk kepalanya dengan kasar. “Apa lagi, hah?!” gerutu Seo Joon.
“Kalau dia bekerja di kantormu lalu bagaimana dengan kuliahnya.”
Kim Seo Joon makin menggaruk kepalanya dengan frustasi. “AKU TIDAK TAHU, SET^N! Dia bilang dia akan cuti. Dasar set^n!” Kim Seo Joon benar-benar emosi.
“Kau memaksanya cuti?”
“Dasar gila,” desis Kim Seo Joon. Dia hampir meledak, tapi saat alam bawah sadarnya mengingatkan Seo Joon jika akan timbul keriput di wajah saat dia terlalu banyak berteriak, maka Seo Joon memilih untuk tenang. Melakukan inhale-exhale beberapa kali sambil menutup mata.
Kim Seo Joon menatap Jonathan dengan tatapn lembut. Ya. Dia berusaha keras kali ini. “Aku tidak tahu, anak set^n ….” Kim Seo Joon berucap dengan nada pelan dan wajah tenang. “Aku hanya menawarkan pekerjaan dan dia datang sendiri. Bilang padaku kalau dia bersedia cuti untuk mengumpulkan uang. Puas?” tanya Kim Seo Joon dengan nada selembut sutra.
“Benar begitu?” tanya Jonathan.
Kim Seo Joon kembali menarik napas. “Benar, Bangke ….” Nada Seo Joon nyaris terdengar seperti gumaman.
“Awas kalau bohong!” ancam Jonathan dengan nada pelan, tetapi tegas.
Kim Seo Joon kembali menghirup udara. Dia menghitung dari satu sampai sepuluh, tapi darahnya sudah mendidih dan dia tidak bisa tahan lebih lama lagi.
“Pergi!” teriak Seo Joon. Embusan napas panjang yang menggema kasar menandakan seberapa geram lelaki itu saat ini.
Jonathan menarik napas panjang kemudian membuangnya dengan cepat. “Oke. Aku akan pergi.”
“Demi Tuhan, pergi saja Jonathan. Kau benar-benar ….” Mulut Seo Joon terbuka melepaskan napas kasar.
Jonathan mengangkat tangan. Mengarahkan telunjuk dan jari tengahnya menunjuk manik cokelat milik Seo Joon. Lelaki itu berjalan sambil mematri tatapan tegas pada Seo Joon. Ditambah gerakan jarinya yang memperingatkan.
Mulut Seo Joon manyun dan dia mendesis panjang. “Ssshhhibal!” Tangan lelaki itu beralagak hendak memukul Jo, tapi dia tak punya nyali yang cukup untuk bisa meneruskannya.
“Awas kalau kau macam-macam, kuposting fotomu pakai boxer!” seru Jonthan.
Seketika mata cipit Kim Seo Joon membesar. “s**t!” maki lelaki itu. Tubuhnya berputar cepat. “YAK!” teriaknya dengan tangan yang menunjuk marah. “JO!”
Suara Kim Seo Joon menggema di sepanjang hallway, dan Jonathan menikmatinya sambil mengarahkan layar ponsel pada Seo Joon.
“Gae dong! Aissh seakkiya!” (Dasar bangs^t. Kepar^t)
Jonathan tidak menyangka kalau dia bisa menyeringai. Jika benar apa yang dikatakan Kim Seo Joon, berarti Jontahan harus mengucapkan terima kasaih. Secara tidak langsung Kim Seo Joon sudah menolong Selena. Mendengar bahwa Selena ditempatkan di bagian marketing membuat Jonathan lega.
‘Setidaknya kamu gak perlu pergi ke bar. Syukurlah kalau Kim Seo Joon punya niat baik. Tapi aku harus tetap mengawasinya,’ batin Jonathan.