Di sebuah kamar yang taram temaram, seorang pria tengah duduk sambil menekuk lutut di samping ranjang berukuran besar. Hanya ada cahaya dari rembulan yang masuk menembus jendela kamarnya yang dibiarkan terbuka.
Entah sudah berapa lama dia berada dalam posisi seperti itu. Belakangan ini harinya menjadi suram. Suara jeritan seorang gadis selalu meraung-raung dalam kepalanya selama beberapa hari ini.
Matanya membulat dengan tatapan kosong. Dadanya mengembang lalu dengan cepat mengempis melepaskan napas berat. Sekejap rahangnya mengencang dan sayup terdengar kertakan gigi dari sana.
Dia tak bisa menghilangkan wajah seorang gadis bermata cokelat bulat dari pikirannya. Padahal, dia berharap jika mereka akan menjadi teman dekat. Teman hangout. Oh, lelaki berambut gelap itu bahkan telah berandai-andai bahwa dia akan mengajak sang gadis mengelilingi New York di akhir pekan.
Pergi ke tempat bermain di hari minggu, lalu menikmati es krim dan permen kapas. Terbayang bagai dua orang yang baru beranjak remaja. Tak mengapa. Dia memang tak pernah melewati masa remaja seindah itu. Masa remajanya dipenuhi dengan belajar. Berteman dengan buku-buku tebal dan computer.
Selama ini tak pernah ada gadis yang pernah mencuri hatinya. Merusuh pikirannya. Tak ada satupun. Bahkan beberapa teman wanitanya. Ada juga dari Asia dan tak jarang mereka datang dari negara yang sama. Namun, entah mengapa. Hanya gadis bermata cokelat dengan rambut panjang bergelombang itu yang bisa benar-benar membuatnya dilema.
Terlebih … dia terlibat masalah dengan satu-satunya sahabatnya.
“Ck!” Lelaki itu berdecak. Sambil memeluk lututunya, dia menengadahkan wajahnya ke atas. Menutup mata, lalu membawa kepalanya bersandar ke tepi ranjang.
‘Selena, kamu sedang apa? Apakah kamu baik-baik saja? Bagaimana harimu? Apakah kamu masih bekerja di sana? Bisakah kita bertemu lagi?’
Kalimat-kalimat itu terus menggumam di dalam kepalanya. Demi Tuhan, dia merindukan gadis itu. Namun, apakah dia masih sanggup menatap mata sang gadis?
Desisan panjang menjawab pertanyaannya sendiri. “Fu’ck!” Lelaki itu memaki. Dia meremas jemarinya dengan kuat dan rahangnya kembali mengencang.
Melempar tatapan ke samping, lelaki bernama Jonathan Kusuma itu mendapati ponselnya berada tak jauh dari tempat duduknya. Dengan wajah malas, dia meraih ponsel tersebut. Mengutak-atik benda itu hanya untuk mencari sebuah nama dari deretan kontaknya.
Selena
Ibu jarinya berhenti mengusap layar saat nama itu telah tertera. Seketika ia mendesah. Kepalanya seperti berputar dengan suara-suara sialan yang mengganggu.
‘Telepon saja dan lihat reaksinya.’
‘Tidak. Kirim pesan saja dulu. Kalau dia membalasnya, berarti dia tidak marah.’
‘Telepon saja. Lebih bagus minta maaf langsung.’
‘Minta maaf yang bagus dan sopan juga tidak seharusnya lewat telepon. Pergi saja ke tempat kerjanya.’
Pelan-pelan wajah Jonathan terdongak. “Benar juga,” gumam pria itu. “Kenapa aku tidak menelepon si Carlos.” Lanjut Jo bermonolog.
Dengan sedikit antusias, Jonathan kembali menatap layar ponsel dan mencari nama seseorang dari menu kontaknya. Makin semangat hingga jantungnya berdebar-debar kencang.
‘Setidaknya aku bisa tanyakan pada Carlos bagaimana kabar Selena,’ batin Jonathan.
Bunyi t’ut yang panjang membuat Jonathan sedikit gelisah, tapi dia tetap bersabar. Hingga suara bass berat menggema dari seberang sambungan telepon.
“Selamat malam, Mr. Kusuma,” sapanya dengan hormat.
“Ya. Selamat malam untukmu, Mr. Carlos. Maaf mengganggumu.”
“Oh, astaga. Tak perlu sungkan, Mr. Kusuma. Maaf, tadi aku berada di dalam bar hingga aku tak bisa mendengar nada deringku.”
“It’s okay,” kata Jo. Pria itu menghela napas lalu membuangnya dengan cepat. “Sebenarnya ada yang mau kutanyakan.”
“Ya, silahkan.”
Jo mengulum bibirnya dan dahi pria itu terlipat tampak berpikir keras. Bagaimana ini. Jika Jo menanyakan kabar Selena, apakah Carlos akan banyak bertanya. Namun, hanya Carlos yang bisa mengatakan pada Jonathan bagaimana kabar Selena sekarang.
“Mr. Kusuma?”
Jonathan bergeming. “Oh, y- ya.” Lelaki itu menggagap. Dia membawa telunjuk menggaruk sebelah alisnya yang mendadak gatal.
“Silahkan,” ucap Carlos lagi.
“Begini. Kau jangan beranggapan apa-apa ya. Aku hanya ingin bertanya.”
“Iya, Mr. Kusuma, tanyakan apa pun yang ingin kau tanyakan.”
Jo kembali mengulum bibirnya. “Ummm … begini. Ada seseorang yang bekerja padamu.”
“Yang mana? Apa kau mau aku langsung membawanya ke ruangan VVIP?”
Jonathan mendelikkan matanya ke atas lalu mendesah kasar. “Bukan begitu,” ucap pria Indonesia itu. “Aku hanya ingin menanyakan kabarnya.”
“Kabar siapa?” tanya lelaki bermulut perempuan itu. Ya. Carlos memang tak bisa berhenti berbicara. Sudah tugasnya. Menawarkan jasa plus-plus pada tamu VVIP. Dan Carlos sedikit heran karena yang meneleponnya adalah Jonathan Kusuma. Dia tahu jika Jonathan dan Kim Seo Joon adalah dua lelaki yang tidak menyukai wanita bar. Untuk itulah dia bersemangat karena dua orang pria itu sepertinya telah berubah pikiran. Setelah kemarin Kim Seo Joon membeli seorang gadis, sekarang giliran Jonathan yang menanyakan kabar seorang gadis. Hemmm … Carlos mulai menghitung berapa keuntungan yang akan didapatkannya malam ini.
“Selena,” ucap Jonathan. Tak ada balasan dari seberang sambungan telepon membuat Jonathan sedikit penasaran sampai dia menatap layar ponselnya. Lelaki itu mengerutkan dahi lalu kembali bersuara, “Halo, Carlos?”
“Y- ya. Bagaimana? Kau mau yang mana Mr. Kusuma?”
Jonathan kembali mendesah. “Aku tidak mau gadis. Aku hanya ingin menanyakan kabar seorang gadis,” kata Jo.
“Oh, kabar siapa?” tanya Carlos, sedikit kecewa.
“Selena. Apa dia baik-baik saja?”
“Selena?” Carlos balik bertanya. Lalu terdengar kekehan dari pria bersuara bass berat tersebut.
Jonathan mengerutkan kening. “Ya, Selena. Kenapa kau tertawa?”
“Tidak-tidak. Maafkan aku. Aku hanya terbawa suasana,” kata Carlos.
Jonathan mendengkus. Lelaki itu mengusap dahinya yang mendadak berkeringat. Ya Tuhan, padahal dia hanya ingin menanyakan kabar. Mengapa sulit sekali. Semua ini malah membuat Jonathan makin tertekan.
“Jadi bagaimana kabar Selena, Carlos?”
“Ah, ya. Maaf soal Selena, tapi dia sudah dipecat.”
“Apa?!” pekik Jonathan. “Dipecat?” Nada Jonathan sedikit meninggi. Dia mendesah kasar lalu kembali membawa punggungnya ke pinggiran ranjang. “Ma-maksudku kenapa dia dipecat?”
“Apa Anda belum tahu?” Carlos balik bertanya. Membuat Jonathan semakin bingung.
“Kenapa?” tanya Jo penasaran.
“Begini,” kata Carlos dan bicaranya sedikit terhenti. Mungkin pria itu sedang mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan situasinya. “Bagaimana kalau kucarikan wanita lain? Kemarin ada seorang barmaid dari Asia yang baru masuk. Mungkin kalian akan cocok,” ujar Carlos.
Jonathan kembali berdecak kesal. “Sudah kubilang, aku tidak butuh wanita. Tadinya aku ingin bertanya soal kabar Selena, tapi sepertinya kau bilang dia sudah dipecat. Sekarang kau membuatku makin penasaran dengan ucapanmu sebelumnya. Carlos, wanita itu adalah wanita baik-baik. Kuperingatan agar kau tidak macam-macam dengannya,” ujar Jonathan.
Terdengar decakan bibir dari seberang sambungan telepon. “Bukan begitu,” ucap pria itu dengan nada santun. “Aku tidak mungkin menjual wanita jika mereka tidak menginginkannya. Masalahnya, Selena sudah berbuat sesuatu yang melanggar aturan. Kemarin dia terlibat pertengkaran dengan tamu VVIP lain. Temanmu, Mr. McKenzie.”
“Ck!” Jonathan meremas dahinya dengan kuat. “Sebenarnya itu kesalahan Darren,” ucap Jonathan putus asa.
“Aku tidak tahu soal itu. Peraturannya, jika seorang barmaid terlibat masalah dengan tamu apalagi dengan para VVIP, maka mereka harus diberi hukuman. Dan kemarin Selena sangat lancang padaku. Aku langsung menindaknya dengan melakukan pemecatan.”
“Apa?!” pekik Jonathan.
“Maaf, Mr. Kusuma, itu sudah sesuai ketentuan. Tapi kau tidak perlu khawatir. Ada seseorang yang sudah dengan sangat rela membelinya dan dia berjanji kalau dia akan memberikan pekerjaan yang bagus pada Selena.”
Seketika bola mata Jonathan membesar. “Apa?!” pekiknya untuk ketiga kali.
“Ya,” jawab Carlos santai.
“Persetan!” maki Jo. “Kau jual Selena?”
“Sudah kubilang aku tidak menjualnya.”
“Lalu?” Jonathan bertanya dengan nada menekan.
“Lagi pula dia juga temanmu,” ujar Carlos.
“Siapa?” tanya Jonathan, penasaran.
“Mr. Kim,” ucap Carlos.
“Ah!” Jonathan menampar dahinya dengan kuat. “Sial,” gumam pria itu.
Terdengar suara Carlos yang tertawa. “Lagi pula apa yang terjadi dengan para Billionaire, hah? Mengapa kalian berebut gadis itu? Astaga! NBR punya jutaan gadis seksi dan cantik. Mengapa harus Selena, hah? Apa yang istimewa dari gadis kampungan itu.”
“Hei!” teriak Jonathan. Carlos terdiam. “Hati-hati dengan ucapanmu,” ucap Jonathan. Wajahnya berubah tegang dan matanya melebar. Juga telunjuknya yang memperingatkan seolah Carlos berada tepat di depannya.
“Oh, maaf.”
Jonathan mendesah. Lelaki itu langsung mematikan sambungan telepon sebelum amarahnya makin meledak. Jonathan membuang napas lemas sampai kedua bahunya ikut melemas.
“Sial. Aku tidak bisa membiarkan mereka terus mempermainkan Selena,” gumam Jonathan. “Aku harus menemui Seo Joon.”