24. I'm an Asshole

2322 Words
Sambil menghela napas dalam-dalam, Dylan memutar tubuhnya. Embusan napas panjang, menggiring pria bermata hijau itu mengambil langkah memasuki pekarangan rumah megah dan mewah di depannya. “Selamat malam, Tuan Dylan.” Lelaki itu memberikan senyum sambil menganggukan kepalanya pada dua orang penjaga gerbang. Sambil menaruh kedua tangan di dalam saku celana, Dylan terus melangkah memasukki sepasang pintu raksasa berwarna putih yang sedari tadi telah terbuka. Sayup terdengar suara berisik yang membuat Dylan mengerutkan dahinya. “Selamat datang, Tuan Dylan.” Lelaki itu bergeming ketika seorang wanita pertengahan lima puluh menyapa sambil berjalan menghampirinya. “Oh, hai, Charlotte.” Dylan membiarkan Charlotte melepas coat panjang yang membungkus tubuhnya dari belakang. “Apakah ada banyak orang di sana?” tanya Dylan. Mata Charlotte memanjat, menatap Dylan. “Mr. McKenzie mengundang direksi perusahaan bersama pasangan mereka untuk ikut makan malam bersama,” ujar Charlotte. Dylan memberengut singkat lalu memanjangkan pandangan. Hendak meraih-raih, kira-kira ada berapa banyak mereka. “Terima kasih, Charlotte.” Dylan berucap sambil tersenyum. Lelaki itu kembali melanjutkan langkahnya menuju dining room. Rungunya menangkap suara bass berat milik sang ayah. Mendominasi segala suara yang sedang tertawa di ruang makan. “Oh, lihat siapa yang datang ….” Seorang pria paruh baya berdiri. Dengan wajah sumringah dia menatap sang anak sambil membuka kedua tangannya. Sudut bibir Dylan bergerak membentuk senyum. Terlihat formal. Pria itu berjalan menghampiri sang ayah. “Apa kabarmu, Dad.” Dylan memeluk ayahnya. Sang ayah menepuk pundak Dylan singkat lalu menarik dirinya. Wajah itu tak berhenti tersenyum memandang putranya dengan bangga. “Aku diberkati dengan kedua anak yang menyayangiku. Dan aku selalu berdoa agar aku bisa terus diberikan kesehatan supaya aku bisa terus berada di dekat putra-putraku.” “Oh astaga …,” gumam semua orang. Mereka selalu membanggakan keluarga McKenzie yang terlihat harmonis. Dylan memutar tubuh dan matanya menyapu seaontero ruangan. Ada sesuatu yang mencelos perih dari hatinya saat memandang wajah orang-orang di sini. ‘Kita tak akan pernah menjadi keluarga yang utuh, Dylan.’ Perkataan Darren melintas begitu saja di benak Dylan. Wajahnya berubah murung. “Nak?” Namun, secepat kilat Dylan memperbaiki mimik wajahnya saat sang ayah menepuk lengannya. Lelaki bermata hijau itu kembali memperlihatkan senyum simpul. “Di mana adikmu?” Mulut Dylan terbuka. “Aaa ….” Saat Dylan hendak memutar pandangannya, netranya menabrak sepasang iris abu-abu. Dylan mengangkat dagunya. Menatap seorang gadis dalam balutan dress merah dengan bagian atas yang hanya menutupi sebagian dadanya. “Dylan?” “Y- ya.” Dylan menggagap. “Di mana Darren?” “Aku di sini.” Dylan memutar lututnya dan seketika matanya melebar. Untuk sekejap keningnya melengkung ke tengah dan dia kebingungan. “Darren?” gumam pria itu. Tampak sepasang mata biru tengah memberikan pandangan dingin kepada Dylan. Atau mungkin lebih tepatnya pada si pria paruh baya yang berdiri di depan Dylan. Embusan napasnya yang berat dan kasar sanggup menggambarkan bagaimana suasana hatinya saat ini. Tatapan Dylan pun turun. Pria itu menelan ludahnya saat melihat kepalan tangan sang adik yang telah mengencang pada kedua sisi tubuhnya. Dylan kembali mengangkat pandangannya meraih manik biru milik sang adik. Dylan menggoyangkan kepalanya pelan. ‘Don’t do anything stupid, Darren. I begging you,’ batin Dylan. Ketukan sepatu pantofel milik Darren menggema. Seakan-akan tengah memberikan alarm pada seseorang yang sejak tadi sudah membeku di tempatnnya sejak pertama kali dia mendengar suara bass berat milik Darren. Lelaki itu berjalan dengan tatapan mata yang berkilat-kilat. Kepalanya mulai membesar bagai balon ketika maniknya terpaku pada si pria paruh baya yang sedang memperlihatkan senyum sumringah padanya. “My lovely, Son.” “Cih!” Darren tak dapat menahan decihan halus yang meluncur keluar dari bibirnya. Sambil mengunci tatapan pada sang ayah, Darren terus mengambil langkah. Dylan menyingkir dari depan ayahnya untuk memberikan ruang bagi sang adik untuk menyapa ayah mereka. Setidaknya itu yang dipikirkan Dylan. Melihat betapa bahagianya wajah sang ayah membuka tangan menantikan Darren. Namun, saat jarak Darren dan ayahnya tinggal beberapa langkah, pria itu menghentikan kakinya. Tanpa melihat ke arah yang dituju, tangannya terjulur meraih kursi kosong. Darren menariknya lalu duduk dengan kasar. Pria itu mendengkus. Mendadak suasana di tempat ini berubah. Beberapa orang bergidik merasakan aura si pria bermata biru. Sang ayah mengulum bibir membentuk senyum simpul. Desahan napasnya menggema dari mulut ketika dia menurunkan kedua tangan. Bahunya ikut melemas. Lagi pula apa yang dia harapkan? Lelaki yang dituakan di keluarga ini, yaitu Robert McKenzie kembali duduk di ujung meja. Sambil menghela napas, dia mempertahankan senyum di wajah. Tangannya terangkat lalu berkata, “Baiklah. Karena semua keluargaku telah berkumpul, maka waktunya untuk menyantap makanan. Hemmm ….” Robert mengendus. “Daging rusanya sangat nikmat,” kata lelaki itu dan dia kembali tertawa. “Ayo … ayo. Aku punya wine yang dikirimkan oleh temanku dari Paris. Charlotte, tolong ambilkan.” “Baik, Tuan.” Suasana menjadi canggung dan kaku saat Darren bergabung di ruang makan. Mimik semua orang yang awalnya tampak sumringah, berubah menjadi muram dan tak ayal membuat suasana ikut menegang. Kepala Darren yang awalnya sedikit menunduk, kini mulai terangkat. Tatapannya langsung tertuju pada sepasang manik abu-abu yang tampaknya sudah menantinya sejak tadi. Lelaki itu memandang dalam sorot mata kosong, tetapi tatapannya sanggup memancarkan keheningan yang mematikan. Sang gadis juga enggan memalingkan wajah darinya. Gadis itu seolah telah terjebak pada tatapan Darren yang mematikan. Embusan napas panjang yang keluar dari hidung Darren, seakan mengubah suasana di sekeliling. Bagai hanya mereka berdua yang duduk berhadap-hadapan. Sehingga sepasang iris abu-abu itu bisa melihat perubahan raut wajah Darren yang makin bertambah mengerikan di setiap detiknya. Rahangnya mengencang, Memperlihatkan otot-otot wajahnya. Bahkan kini terdengar kertakan gigi dari antara mulut yang terkatup rapat itu. “Honey ….” Panggilan itu menyelamatkan sang gadis. Membuatnya bisa memalingkan wajah dan melepaskan tatapan dari sergapan mata biru yang menakutkan. Wanita itu berusaha keras menggerkan kedua sudut bibirnya agar bisa mengulas senyum di wajah. Sambil menatap sang suami, dia pun berucap, “Y- ya.” Suaranya terdengar bergetar. “You okay?” tanya Robert dan istrinya mengangguk. Lelaki itu tersenyum. Dia merayapkan tangannya hingga menyentuh tangan sang istri. Robert menggenggam tangan sang istri lalu ibu jarinya mengusap punggung jari istrinya. Robert mengedikkan kepala menunjuk makanan di atas meja dan istrinya memberikan anggukkan kepala. Pemandangan ini membuat Darren tak berhenti mendengkus. Matanya terpaku pada dua tangan yang tumpang tindih di atas meja. Lelaki itu tak dapat menahan decihan halusnya. Atmosfer dalam ruangan ini berubah total dan semua orang mendadak merasa gerah. Jantung mereka berdetak penuh kewaspadaan. Entah apa yang akan terjadi malam ini. “Apa kabarmu, Juliah?” tanya Dylan. Lelaki itu sedang mencari cara untuk mencairkan suasana. Dia mengambil tempat di samping adiknya. “Aku baik,” ucap wanita bermata abu-abu itu. Dylan mengangguk sekilas. Memilih untuk memotong daging, pria itu pun memberikan senyum memesona pada relasi mereka. Dylan memberikan gestur kepada semua dengan menunjuk daging rusa di depannya. “Hmmm … ini benar-benar nikmat,” ucap Dylan. Pria itu pura-pura menikmati makanannya. Padahal jantungnya juga sedang berdenyut perih di sana. “Bagaimana kabar ibumu, Dylan?” tanya Juliah. Dylan kembali memandangnya. “Dia-“ “Kau masih bisa bertanya seperti itu?” Ucapan Dylan terhenti. Lelaki itu memutar pandangannya ke samping. Dilihatnya telinga Darren memerah. Kedua tangannya mencengkram peralatan makan. ‘Oh s**t,’ umpat Dylan dalam hati. Lelaki itu mencoba menenangkan adiknya dengan meraih paha Darren. Dylan meremasnya untuk mengirimkan kode. Namun, Darren sama sekali tak menghiraukannya. Darren malah terus menatap Juliah. Lelaki itu tersenyum kecut. “Bisa-bisanya wanita tidak bermoral dan kurang ajar sepertimu menanyakan kabar ibu Dylan.” “Darren …,” panggil suara bass berat di samping Darren. Lelaki bermata biru itu memutar pandangannya kepada sang ayah. “Kenapa?” tanya Darren dengan pandangan menantang. “Istrimu bertanya tentang kabar istrimu yang lain.” Darren terkekeh sinis lalu menggeleng singkat. Dia kembali membawa tatapannya pada Juliah. “Padahal jelas-jelas dia dengan sengaja menyingkirkan Rosela hanya untuk menikmati hartamu dan sebagai imbalannya kau bisa menidurinya sampai puas.” “DARREN!” teriak Robert. Darren menggerakan bola matanya. Lelaki itu melempar tatapan sinis lewat sudut matanya. Mengabaikan ekspresi wajah ayahnya yang berubah total. “Jaga ucapanmu!” desis Robert. Darren tersenyum sinis. “Oh ya? Pada siapa?” tanya Darren. “s**t,” gumam Dylan. Lelaki itu memalingkan wajah. Mengusap mukanya dengan kasar, lalu memberikan tatapan formalnya pada orang-orang yang tengah menonton aib keluarganya. “Padamu, atau ….” Darren memutar wajah angkuhnya pada Juliah. “Pada pela’cur itu?” “DARREN!” teriak Robert lagi. Dengan santai Darren memutar padangan kepada sang ayah. “Hei, pak tua. Aku hanya berada dua jengkal di depanmu. Kau tidak perlu berteriak. Kasihan dengan jantungmu. Kau belum bisa mati sebelum menulis warisan untuk istri-istrimu yang banyak dan tak terhitung. Oh, sial. Maaf.” Darren memandang sekelilingnya sambil mengangkat kedua tangan. Seolah menyerah. “Yang kalian tahu dia hanya memiliki tiga istri. Sebenarnya pak tua ini punya banyak selir. Entah apak ah saat dia meniduri wanita, dia tidak tahu kalau ada sesuatu yang disebut kond’om, atau dia memang senga-“ “DARREN ….” Kali ini giliran Dylan yang berteriak. Namun, Darren masih tak mau berhenti. Sambil menarik napas panjang, lelaki itu membanting punggungnya ke belakang dan melipat kedua tangan di depan ulu hati. Dia kembali menatap Juliah lalu menatap ayahnya. Darren tertawa ringan. “Oh astaga …,” kata pria itu sembari menggoyangkan kepalanya. “Oke, oke.” Darren mengangkat kedua tangannya tampak menyerah. “Aku ke sini karena kasihan pada kakakku,” kata Darren. Dia memutar wajahnya menghadap Dylan. Senyum mengejeknya berkembang sempurna. “Dia harus mengajakku kemari agar ayahnya bisa memamerkan keluarga harmonisnya. Tapi tahukah kalian?” Darren mencondongkan tubuhnya lalu dia melempar tatapan pada rekan-rekan ayahnya. “Kami tak pernah rukun sejak dulu,” kata Darren. Dia tersenyum iblis sambil menggelengkan kepala. “Darren, hentikan. Kumohon,” bisik Dylan. “Tidak, Dylan.” Darren membantah dengan nada datar. “Aku muak berpura-pura. Seumur hidup aku harus menjaga citraku. Sekarang biarkan orang tahu yang sebenarnya.” Darren tersenyum kecut. “Rumahku dulu sangat kecil dan aku hanya hidup dengan ibuku. Lalu tiba-tiba ibuku memperkenalkan aku pada seorang pria yang katanya ayahku.” Darren menggeleng. “Jika umurku saat itu sudah dewasa, atau setidaknya enam belas tahun, sudah kuhajar pria itu.” Darren memutar pandangan kepada sang ayah. “Pertanyaan tentang, di mana kau saat aku lahir, di mana kau saat aku pertama kali berjalan dan di mana kau saat ibuku berteriak kesakitan. Sampai dia mati pun kau tidak di sana. Lalu tiba-tiba saja aku sudah menyandang nama McKenzie.” “Darren,” tegur Dylan. Darren masih tak peduli. “Aku terkejut bertemu seseorang yang katanya kakakku. Ya Dylan.” Darren menatap Dylan. “Kau juga tidak bisa berbohong kalau kau terkejut melihatku, bukan? Bagaimana kau punya seorang adik dari wanita lain yang bukan ibumu. Terlebih dia kumuh dan kotor.” Dylan mendesah. “Darren, berhenti. Kumohon.” “Tidak, Dylan. Hari ini Thank’s Giving. Bukankah ini yang kau inginkan? Aku sudah memenuhi keinginanmu. Kita sedang duduk di satu meja yang sama dan makan. Aku juga sedang menceritakan kisah hidupku,” ujar Darren sambil mempertahankan tangannya yang terlipat di depan d**a. Sementara Robert mendesah kesal lalu menjatuhkan tatapannya. Lelaki itu memijiat dahinya. “Pria tua yang kalian hormati ini mencoba untuk menebus lima tahun mengabaikanku dengan memberikan hartanya yang melimpah. Tapi sayang sekali, dengan hartanya itu dia tidak bisa membeli nyawa ibuku.” “Darren,” lirih Robert. “Jangan kau menangis untuk ibuku. Air matamu hanya akan mengotori kuburannya.” “Darren, hentikan. Kau menyakiti perasaan ayahmu,” kata Juliah. Untuk sekejap Darren memandang Juliah. Mulutnya terbuka. “Oh hai, Juliah. Aku lupa denganmu. Oh, dia suamimu, ya. Hemmm …,” gumam Darren sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku heran, Juliah. Sungguh. Bukankah dulu kau sering menyumpahi dia?” Terlihat selapis cairan bening di mata Juliah. Wanita itu menggelengkan kepalanya. Sementara Darren mendesis. Dahinya terlipat, berpura-pura seperti berpikir keras. “Semoga ayahmu mati dengan siksaan, Darren. Oh Sayang, kasihan sekali dirimu. Aku bersumpah tidak akan meninggalkanmu seperti yang dilakukan ayahmu,” ujar Darren. Bibirnya manyun dengan tatapan sayu pada Juliah. “Kau berkata seperti itu ‘kan, Juliah?” Robert menghela napas lalu memutar pandangan pada Darren. “Tapi nyatanya kau menginginkan pen’isnya.” Lanjut Darren. “DARREN!” teriak Dylan sekali lagi. Pria itu bangkit dari kursinya. “CUKUP!” pekik Dylan. “Wow, Juliah. Kau pantas masuk rekor. Bagaimana ayahku? Apakah pen’isnya lebih hebat dariku?” “DARREN!” teriak Robert. Pria paruh baya itu telah mengencangkan kedua tangan di atas meja. “Kenapa berteriak, hah?” tanya Darren santai. “Kau tersinggung?” Darren terkekeh. “Oh ya, aku bawa sesuatu. Aku membelinya dalam perjalanan kemari,” kata Darren. Pria itu merogoh saku dari balik jasnya kemudian menaruh sesuatu di atas meja. Masih menudungi benda itu dengan telapak tangannya, Darren pun bangkit dari tempat duduk. Darren mengangkat tangannya saat kakinya telah berdiri sempurna. Bola mata Robert terbuka lebar saat melihat benda yang diberikan putranya. Lelaki itu mendongak. Memberikan tatapan horor pada Darren. “Dar-“ “Semoga ini bisa membantu memuaskan pela’cur itu,” sergah Darren cepat. Pria itu memutar badan. Namun, sebelum dia melangkah lebih jauh. Darren menyempatkan untuk kembali menatap Juliah. “Oh ya,” kata Darren. Juliah yang sudah tertekan dan sakit hati sejak tadi, memberanikan diri untuk menatap mantan kekasihnya itu. Tampak tatapan mata wanita itu menjadi nanar. “Maaf soal malam pengantimu. Aku benar-benar tak tahan malam itu. Semoga kau tidak hamil. Jujur saja, malam itu aku benar-benar menikmatinya. Tapi aku tak akan sudi jika kau mengandung anakku. Jadi pastikan kau tidak hamil anakku. Tenang saja, suamimu akan minum viagra agar dia bisa memuaskanmu.” Darren menutup kalimatnya dengan seringaian. Dia mengalihkan pandangan pada orang-orang yang sejak tadi terdiam. Lelaki itu tersenyum penuh kemenangan. “Happy thank’s giving all, I hope you guys enjoy this sh!t.” “Darren!” teriak Robert. Darren mengangkat kedua jari tengahnya ke udara. “YOU-MOTHER-FUCKA!” Lelaki itu tertawa puas. Ternyata menyangkan balas dendam dengan cara paling kotor dan jorok.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD