PART. 5 IMPIAN DEVITA DAN DEVIRA

1194 Words
Sejak perkenalan mereka, Fahri jadi sering mencari-cari alasan agar bisa datang ke rumah Devita agar bisa bertemu Devita. Bagi Fahri, kepolosan Devita adalah hal yang istimewa, sesuatu yang sangat disukainya, dan akan memberi keuntungan untuk dirinya. Tapi sayangnya ia tidak punya kesempatan untuk bicara berdua dengan Devita, karena Devira pasti selalu menguasai topik pembicaraan mereka. Fahri pernah berusaha mengajak Devita untuk ke luar rumah, tapi Devita langsung menolak permintaannya. Devita tidak ingin memberi harapan pada Fahri, ia takut kalau Devira juga menyukai Fahri, meski Devira sudah mengatakan menyukai Rama. Tapi terlihat jelas kalau Devira tidak suka Devita dekat dengan Fahri. Devira seperti tidak rela kalau Devita bahagia. Devira tidak rela Devita memiliki sesuatu yang bukan bekasnya. Fahri mulai menyadari apa yang terjadi diantara si kembar. Ia pun merubah cara pendekatannya pada Devita. Ia lebih sering mengirim pesan ke ponsel Devita. Setiap hari, tiga kali dalam sehari, Fahri mengirim pesan untuk menanyakan kabar Devita. Devita hanya menanggapi dengan sekedarnya saja. Ia tidak berani membangun harapan sebelum Devira benar-benar menikah dengan Rama, dan tidak akan bisa lagi menginginkan pria lainnya. Terutama pria yang mencoba untuk mendekati dirinya. Devita sedang belajar untuk persiapan ujian nasional yang akan dijalaninya. Suara ponsel mengalihkan perhatiannya. Pesan dari Fahri. Fahri : Assalamuallaikum Devita : Walaikum salam Fahri : Sedang apa? Devita : Belajar, besok mulai ujian. Fahri : Maaf, aku mengganggu ya. Devita : Iya, maaf ya Mas. Fahri : Aku yang harus minta maaf karena mengganggumu. Baiklah, selamat belajar ya, semoga sukses ujiannya, assalamualaikum. Devita : Walaikum salam. Devita mematikan ponselnya, ia tersenyum sejenak mengingat obrolan via pesannya dengan Fahri tadi. Meski takut berharap, tapi Devita tidak bisa mengingkari perasaannya. Ia menyukai Fahri yang sopan, santun, dan dewasa. Elang juga santun dan sopan, tapi Elang kalah dewasa dengan Fahri kalau dilihat dari usia dan sikapnya. 'Ya Allah, ampuni aku karena sudah membandingkan mereka, harusnya itu tidak boleh aku lakukan. Setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Fokus Devita, fokus belajar. Kamu harus bisa lulus dengan nilai bagus, agar bisa kuliah di perguruan tinggi impianmu. Hmmm, artinya aku akan kuliah sendirian, karena Kak Devira akan segera menikah, dan tentunya dia akan mengikuti suaminya. Apakah setelah Kak Devira menikah, aku bisa tidak lagi jadi bayangannya? Apakah setelah Kak Devira menikah, aku bisa hidup bebas dari perintah dan kemauannya? Apakah....apakah salah jika aku berharap bisa seperti gadis-gadis lainnya? Devita...berhenti berpikir terlalu jauh, fokus, fokus, dan fokus belajar!' Devita memejamkan mata, ia menarik napas perlahan, lalu ia hembuskan dengan pelan-pelan. Ia berusaha memusatkan pikiran pada apa yang harus dipelajarinya, ia tidak ingin mendapat nilai yang mengecewakan. Ia punya mimpi untuk masa depannya, menjadi guru yang mengabdikan hidup untuk bangsa dan negaranya. Impian yang terlalu idealis, impian kids zaman old, itulah yang sering dikatakan Devira tentang cita-citanya. Impian yang selalu diperolok oleh Devira, karena impian Devira sendiri adalah memiliki suami kaya raya, agar ia tidak perlu belajar apa lagi bekerja. Devira ingin hidup bak sosialita, ongkang-ongkang kaki untuk menikmati hidup yang hanya sekali saja. 'Kalau bisa dibuat mudah, untuk apa dibuat susah. Hidup harus realistis, tak perlu malu-malu mengakui kalau materi itu nomer satu. Kalau bisa hidup senang tanpa belajar tanpa bekerja, untuk apa kita bersusah payah. Apa lagi sok rela bersakit-sakit demi mengabdi untuk bangsa dan negara. Itu cuma omong kosong, Vita. Idealisme akan musnah saat perut menjerit minta diisi. Jangan sok idealis, kalau akhirnya hidupmu miris, syukur-syukur akhirnya tidak jadi pengemis' Devita mengelus d**a mengingat ucapan Kakaknya itu. Kakaknya yang menganggap semua bisa dibeli dengan materi. Kakaknya yang tidak berpikir kalau materi bisa habis jika tidak bijak dalam menggunakannya. "Hmmm, semoga Kak Devira selalu bahagia, karena kebahagiaan Kak Devira adalah kebahagiaan Mami, dan kebahagiaan Mami adalah kebahagiaanku juga. Tolong bahagiakan mereka yang aku kasihi ya Allah, aamiin" **** Di saat Devita sedang belajar di kamarnya, Devira tengah asik menatap foto Rama. Devira memang baru bisa menatap fotonya, ia tidak bisa menghubungi Rama, karena Rama sendiri belum diberitahu akan perjodohan mereka. Beberapa hari lalu Devira dan Maminya sudah diundang berkunjung ke rumah Keluarga Lazuardi, rumah besar bak istana, dengan pilar-pilar besar menopang rumah dua lantai itu. Devira tidak bisa menghitung jumlah asisten rumah tangga di rumah itu. "Sebentar lagi aku akan jadi nyonya di rumah itu, nyonya Devira Lazuardi, mobil-mobil yang berjejer di garasi mereka, sebentar lagi akan bisa aku pakai kemanapun aku suka. Huuhhh, Rama Lazuardi, sosok sempurna bak pangeran impian di dalam dongeng-dongeng. Rama Lazuardi, kita belum saling bertemu, belum pernah bertukar kata, tapi aku sudah merasa begitu dekat denganmu" Devira menatap wajah Rama yang ada dilayar ponselnya. Senyum sumringah terlihat di bibirnya. Baginya perjodohannya dengan Rama, adalah perwujudan dari semua obsesinya. ***** Ujian sudah selesai, tinggal menunggu pengumuman. Saat Devita harap-harap cemas, Devira justru tidak ambil pusing. Baginya yang terpenting adalah rencana pernikahannya. Malam ini mereka tengah makan malam bersama. "Kapan pengumuman kelulusan kalian?" Tanya Pak Zul, Papi mereka. "Dua hari lagi, Pi" jawab Devita. "Vita jadi ingin kuliah? Tidak ingin nikah juga seperti Vira? Kalau Vita ingin menikah juga, nanti Papi carikan jodoh seperti Vira" ujar Pak Zul. "Tidak Pi, Vita ingin kuliah" "Ehmm, Papi senang kalau kamu masih bersemangat untuk meneruskan pendidikanmu. Jadi nanti, Vita sibuk kuliah, Vira sibuk berusaha untuk memberi Papi cucu" gurau Pak Zul. "Cucu!?" Seru Devira, ditatapnya Papinya. "Hmmm, Rama anak tunggal, pasti orang tuanya sangat berharap kalian cepat memberi cucu, begitukan, Mi?" "Pasti Pi, tapi ya tidak secepat itu jugakan. Meskipun Rama sudah 26 tahun, tapi Vira baru 19 tahun, masih terlalu muda untuk menjadi ibu" "Mi, untuk apa ditunda, banyak yang lebih muda dari Vira mampu jadi ibu. Kalau ditunda-tunda, takutnya nanti saat kita sudah kebelet ingin cucu, Vira justru tidak hamil-hamil" "Vira tidak mau hamil, Pi!" Devira menggelengkan kepalanya. "Vira, orang menikah itu salah satu tujuannya untuk memiliki keturunan, kalau kamu tidak hamil, bagaimana bisa kami punya cucu" sahut Pak Zul. "Mami dan Papi bisa punya cucu dari Vita." "Kami memang bisa punya cucu dari Vita, tapi bagaimana dengan orang tua Rama, Rama itu anak tunggal Vira, hanya Rama harapan orang tuanya untuk jadi penerus keturunan mereka" jawab Pak Zul. Devira terdiam, ditatap Papi dan Maminya bergantian. Tubuhnya bergidik saat membayangkan ia hamil, badannya akan bengkak tidak berbentuk. Kecantikannya pasti tidak akan terlihat lagi. Tapi Devira sangat ingin menjadi nyonya Lazuardi, menikmati semua fasilitas milik mereka. 'Untuk meraih keinginanku, apa aku harus merelakan tubuhku rusak karena hamil. Ooh bodohnya kau Vira, dengan kekayaan keluarga Lazuardi, apa yang tidak bisa dirubah, tubuh rusak karena hamil dan melahirkanpun pasti akan bisa kembali indah' Senyum kembali tersungging di bibir Devira. Ia tidak lagi merasa takut tubuhnya rusak. Tapi ia kembali terbayang bakal seperti apa bentuk tubuhnya kalau hamil nanti. Devira menjadi galau sendiri. BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD