TAKDIR DEVITA

1154 Words
"Rama..dia...kecelakaan" tangis Nyonya Lazuardi semakin menjadi. Devira terduduk di sofa, Maminya langsung memeluknya. "Kami baru memberitahu sekarang, karena tidak ingin mengganggu ujian Vira. Rama sudah kami jemput, dia sekarang ada di sini, di rumah kami." Ucap Pak Malik, ayah Rama. "Bagaimana kondisinya?" Tanya Pak Zul, Papi Devira. Pak Malik menarik napas panjang, lalu ia hembuskan perlahan. "Memprihatinkan, kedua kakinya lumpuh, tapi menurut dokter dengan terapi dan pengobatan teratur, kakinya bisa sembuh. Yang paling membuat sedih adalah wajahnya, wajah Rama mengalami luka bakar pada bagian pipi kirinya. Itu membuat kepercayaan dirinya hilang. Meski bisa dioperasi plastik, tapi Rama sepertinya sudah merasa jenuh dengan peralatan medis, dia kehilangan semangat hidupnya." Devira tergugu di tempatnya, ia tidak tahu harus berkata apa, dia juga tidak tahu apakah harus menangis sekerasnya. "Kami sudah memberitahu Rama soal perjodohannya dengan Devira, Rama menolaknya, tapi kami terus membujuknya, dia perlu seseorang untuk membangkitkan semangat hidupnya. Dia perlu seseorang untuk membantunya, dan menumbuhkan kembali kepercayaan dirinya. Kami bisa saja menggaji puluhan perawat, tapi kami yakin, kalau istrinya yang merawat, itu akan lebih bagus. Devira maukan merawat Rama?" Tanya Radea Lazuardi. Devira menatap Maminya, ia tidak tahu harus menjawab apa, menolak artinya ia akan kehilangan impiannya, menerima artinya ia akan terkurung bersama Rama, dan harus bersusah payah untuk merawat suaminya, itupun sama artinya ia harus kehilangan mimpinya untuk bisa berjalan-jalan melanglang buana, dan bersenang-senang untuk menikmati hidup saja. Terbersit sebuah rencana di kepala Devira, rencana yang membuatnya menggelengkan kepalanya pada Maminya. Maminya yang juga tengah berpikir menganggukan kepala. Keluarga Mahmud tidak mungkin membatalkan perjodohan, karena mereka sudah menerima uang milyaran rupiah sebagai investasi yang ditanamkan keluarga Lazuardi di perusahaan mereka. Memaksa Devira tetap menikah dengan Rama yang tidak lagi sempurna juga tidak mungkin dilakukan. Devira terbiasa dilayani, bukan melayani. Devira terbiasa dibujuk bukan membujuk. Satu-satunya pilihan adalah mengganti Devira dengan Devita. "Begini Jeng, mohon maaf sebelumnya, Devira juga pernah mengalami kecelakaan yang membuatnya koma cukup lama. Tentu trauma itu masih belum hilang dari dirinya. Saya kira ia tidak akan mampu memenuhi keingan keluarga Lazuardi. Tapi kami masih punya satu putri, Devita. Dia sehat jasmani dan rohani. Tidak kurang apapun, dan sama cantiknya dengan Devira. Jeng Radea sudah pernah bertemu dengannya saat pertama kali berkunjung ke rumah kami" Bu Devina menyampaikan apa yang dipikirkannya. Pak Zul menatap istrinya, tidak menyangka istrinya akan punya pikiran seperti itu. "Bagi kami, Devira atau Devita sama saja, asal pernikahan itu tidak dibatalkan. Tapi Rama tidak ingin ada pesta, dia ingin pernikahan ini hanya untuk keluarga saja. Tapi, apakah Devita akan setuju?" "Pasti setuju, Jeng. Devita itu tidak pernah membantah keinginan kami" "Syukurlah kalau begitu, jadi sekarang masalahnya sudah selesai. Pernikahan kita adakan sesuai yang sudah kita sepakati. Kami lega sekarang, karena akan ada seseorang yang akan membantu kami untuk merawat Rama" ujar Pak Malik. ***** Keluarga Lazuardi berpamitan. Devira masuk ke kamarnya, orang tuanya memgantarkan keluarga Lazuardi sampai ke mobil mereka. Setelah mobil keluarga Lazuardi menghilang dari pandangan. "Pi, Papi yang harus beritahu hal ini pada Devita" ujar Bu Devina. "Kenapa tidak Mami saja, bukankah Mami yang memutuskan sendiri, tanpa bertanya pada Devita dulu. Harusnya..." "Kita tidak punya pilihan, Pi. Kita sudah menerima uang dari keluarga Lazuardi" "Uang itu bisa kita kembalikan, Mi!" "Apa, dikembalikan!? Tidak Pi, Mami tidak akan mengembalikan uang itu, pokoknya Devita harus bersedia menikah dengan Rama, titik!" "Mi..." "Sekarang Papi temui Devita, katakan saja semuanya, Mami mau bicara dengan Devira!" Bu Devina lebih dulu menaiki anak tangga, baru Pak Zul menyusulnya. Tujuan mereka berbeda, Bu Devina ke kamar Devira, sedang Pak Zul ke kamar Devita. "Vira!" Panggil Bu Devina. Pintu kamar terbuka. "Mami" "Boleh Mami masuk?" Devira melebarkan pintu kamarnya, Bu Devina masuk, lalu duduk di tepi ranjang. Devira duduk di sebelah Maminya. "Mami tahu, kamu merasa dilema bukan? Tapi jangan berkecil hati, kamu atau Devita yang masuk dalam keluarga Lazuardi, itu sama saja. Yang penting, kita sudah jadi bagian keluarga mereka. Biarkan Devita yang bekerja dan berusaha mengurus Rama, bagian kita hanya bersenang-senang dan menikmati semuanya. Kamu pahamkan maksud Mami?" "Paham sekali Mami, alasan itu juga yang membuat Vira berani menolak Rama, Vira tahu, Mami pasti bisa membaca pikiran Vira" Devira memeluk Maminya dengan riang gembira. "Kamu tidak perlu bersusah payah, Sayang. Nikmati saja hidupmu. Mami menyayangimu" Bu Devina mengecup kening putrinya. "Vira juga sayang Mami" Anak dan Mami itu saling berpelukan, bayangan kemewahan yang akan mereka dapatkan membuat mata mereka berbinar bahagia. Sementara itu di kamar Devita. Devita tengah duduk mematung dengan tatapan tertuju pada Papinya. "Maafkan Papi, Sayang. Perusahaan Papi sudah terlanjur menerima uang dari perusahaan keluarga Lazuardi. Papi tidak mungkin membatalkan perjodohan, dan kamu pasti tahu, Kakakmu tidak akan bisa mengurus seorang pria lumpuh. Kamu tahu sendiri bagaimana Kakakmu, dia terbiasa memerintah, terbiasa dilayani, bagaimana mungkin dia bisa melayani suaminya. Kamu juga tahu, Devira tidak bisa berpikir yang terlalu berat, itu akan membuat kepalanya sakit. Hanya kamu harapan Papi dan Mami, untuk meneruskan rencana perjodohan ini" Pak Zul menggenggam lengan putrinya lembut. Dua bulir bening mengalir membasahi pipi Devita. Untuk kesekian kalinya, ia harus menerima sesuatu yang tidak lagi Devira inginkan. "Vita, Papi mohon kepadamu, tolong bantu Papi, Nak. Demi perusahaan kita, demi nama baik keluarga kita" Pak Zul berlutut di hadapan putrinya, sesungguhnya hatinya perih tidak terkira, selalu mengorbankan Devita demi Devira. Tapi ia tidak mampu berbuat apa-apa. Istrinya lebih berkuasa atas segalanya. "Pi, jangan seperti ini, Vita mohon Pi. Papi tidak perlu berlutut dan memohon, Vita bersedia melakukan apapun untuk kebahagiaan Mami. Bangun Pi" Devita menatap wajah Papinya yang terlihat sangat tidak bersemangat. Pak Zul kembali duduk di sofa di hadapan Devita. "Vita, maafkan Papi.." "Ini bukan kesalahan Papi, juga bukan kesalahan siapa-siapa, ini sudah takdir kita Pi," Devita menghapus air matanya. Ia berusaha tetap tegar menerimanya, ia harus rela memupus berbagai mimpi dan harapannya. "Mungkin kamu tidak akan bisa menggapai cita-citamu" "Tidak apa Pi, cita-cita itu hanya untuk memuaskan keinginan Vita. Dengan menerima perjodohan ini, Vita berharap bisa memuaskan semua pihak. Vita siap menggantikan Kak Vira, Pi" ujar Vita dengan suara mantap. Baginya, menolakpun akan sia-sia. Menolak sama artinya dengan menentang keinginan Maminya. Itu akan membuat Maminya jadi membencinya, Vita tidak ingin hidupnya dibayangi kebencian Sang Mami. Ucapan Maminya adalah titah yang tidak akan pernah dibantahnya. Pak Zul memeluk putrinya dengan erat, tak ada yang bisa dikatakannya, ia hanya bisa menangis di dalam hatinya. Dan menyesali dirinya sendiri, karena tidak mampu melawan kehendak istrinya. BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD