RAMA LAZUARDI

1071 Words
Papinya sudah ke luar dari kamar Devita, tinggal ia sendirian sekarang. Devita duduk termangu di tepi tempat tidurnya. Meski ia berusaha menerima dengan ikhlas semua ini sebagai takdirnya, tapi ia tetap gadis biasa yang memiliki perasaan sentimentil juga. Air mata mengalir membasahi pipi Devita. 'Ya Allah, aku pasrahkan mati dan hidupku hanya kepadaMu. Kau yang paling tahu apa yang terbaik untukku. Meski hatiku merasa terluka, karena tidak bisa menggapai apa yang aku impikan, tapi aku akan berusaha ikhlas menerimanya. Aku mohon padaMu ya Allah, berikan aku kesabaran, ketabahan, dan kelapangan d**a dalam menjalani ini semua, aamiin' Devita menyusut air matanya, lalu ia berbaring di atas tempat tidurnya. Tiba-tiba bayangan Fahri berkelebat di benaknya. Hatinya bergetar hebat, bunga yang mulai tumbuh di dalam hatinya harus layu sebelum berkembang. 'Maafkan aku Mas Fahri, takdirku bukan bersamamu, meski rasa cinta ini mulai tumbuh di dalam hatiku, tapi takdirku bukan untuk bahagia bersamamu. Aku tidak bisa memilih dengan siapa aku berjodoh, aku tidak bisa memilih jalan hidupku sendiri. Aku tidak punya pilihan, karena hidupku aku serahkan hanya untuk membahagiakan orang tuaku. Aku yakin, Mas Fahri pasti bisa menemukan wanita yang lebih baik dariku, semoga Mas Fahri bahagia, aamiin' Devita memejamkan matanya, ia berusaha untuk tidur dan menepis kegelisahannya. "Vita!" Suara panggilan membuat Devita terjengkit bangun dari lelapnya. Cepat ia turun dari ranjang lalu membuka pintu kamarnya. "Kak Vira" "Kita harus bicara" "Ada apa, Kak?" Vita membuka lebar pintu kamarnya. Devira masuk lalu duduk di sofa. Devita duduk di hadapan kakaknya. "Dengar ya, Vita. Kamu harus selalu ingat, apapun yang kamu dapatkan dari keluarga Lazuardi aku harus ikut menikmatinya juga. Kamu harus ingat itu. Semua kemewahan yang nanti akan jadi milikmu, harus kamu bagi denganku. Kamu paham!" Devira menatap tajam mata Devita, sebagai bentuk intimidasi seperti biasanya. Devita menganggukan kepalanya, ia sebenarnya tidak sedikitpun berpikir sejauh itu. Ia tidak memikirkan tentang kemewahan atau bagaimana nanti ia menjalani hidupnya bersama Rama. Yang ada dipikirannya hanya ingin membuat Maminya bahagia. "Ingat ya Vita!" Devira berdiri dari duduknya. Devita ikut berdiri juga. "Iya Kak" Devita menganggukan kepalanya. "Urus tuh Rama dengan baik, biar keluarga Lazuardi senang, jadi mereka tidak banyak pikir untuk memberikan fasilitasnya kepada keluarga kita!" "Baik Kak" Devita menganggukan kepalanya, Devira ke luar dari kamar Devita dengan perasaan sangat puas di dalam hatinya. Ia puas karena tidak perlu bersusah-susah berusaha untuk bisa menikmati kemewahan yang dimiliki keluarga Lazuardi nantinya. Devita hanya bisa menghela napasnya, lalu menutup pintu kamarnya, kemudian naik ke atas ranjang, dan berusaha melanjutkan tidurnya. ***** Sejak tahu dirinya harus menikah dengan Rama, Devita tidak pernah lagi membalas pesan atau mengangkat telpon dari Fahri. Ia berusaha untuk menjaga keikhlasan hatinya. Ia tidak ingin merundungi nasibnya. Meski ribuan jarum terasa menusuk-nusuk hatinya. Elangpun berusaha ia hindari, Devita ingin menutup akses bagi pria manapun juga untuk mendekatinya. Ia tidak ingin membangun mimpi yang ia tahu hanya akan menjadi mimpi selamanya. Hari pernikahan sudah di depan mata. Devita semakin memantapkan perasaannya. Pernikahan mereka hanya akan diadakan dengan dihadiri keluarga inti saja, Rama tidak bersedia menikah dengan banyak tamu, karena keadaannya yang cacat. Itulah yang dikatakan Bu Radea, ibu Rama. Devita sudah pernah satu kali bertemu dengan Rama, saat mereka melakukan pemotretan untuk keperluan kelengkapan berkas pernikahan mereka. Rama duduk di atas kursi roda, pipi kirinya tampak mengalami luka bakar, tidak terlalu parah sebenarnya, dengan operasi plastik pasti wajah Rama akan kembali seperti semula. Di bagian kening sebelah kirinya juga terlihat bekas jahitan. Semua itu tidak membuat hati Devita ciut. Tapi wajah dan tatapan dingin membeku Rama yang membuat hatinya sedikit takut. Ditambah dengan kemeja hitam lengan panjang yang lengannya digulung sebatas siku, dan celana jeans hitam yang ia kenakan, membuat kesan dingin itu semakin terasa. Tidak ada satu patah katapun yang diucapkan Rama, Devita juga enggan untuk mengajaknya bicara. Tapi matanya sesekali melirik calon suaminya. Devita yakin tinggi Rama mencapai 180, tubuhnya terlihat sangat kokoh. Lengannya besar, berbulu dan terlihat sangat kuat. Bahunya lebar, dadanya bidang, rambutnya hitam tebal, alisnya yang terluka sebelah juga hitam dan tebal. Bola matanya juga hitam, tatapannya tidak mampu Devita artikan. Kesan pertama yang Devita dapati. Rama penuh misteri! ***** Fahri yang tidak bisa menghubungi Devita akhirnya mencoba menghubungi Devira. "Assalamuallaikum Vira" "Walaikum salam Mas Fahri, sudah lama nih nggak pernah main ke rumah?" "Iya, aku ada di Surabaya sekarang. Bagaimana kabarmu sekeluarga?" "Baik, Mas Fahri sendiri bagaimana?" "Alhamdulillah, baik juga. Devita ada?" "Devita sedang ke rumah calon mertuanya" "Calon mertua? Maksudmu!?" Suara Fahri terdengar sangat terkejut. "Iya, Devita tiga hari lagi menikah, hanya pernikahan sederhana yang dihadiri keluarga saja" jawab Devira. "Kenapa begitu tiba-tiba?" "Tidak tiba-tiba juga sih, tapi calon suaminya Vita mengalami kecelakaan, dia lumpuh, karena itulah pernikahan mereka dipercepat" "Siapa calon suaminya?" Tanya Fahri penuh rasa penasaran. "Rama Aryaputra Lazuardi," jawab Devira dengan menyebut nama lengkap Rama. "Rama Lazuardi!" Fahri terdengar berseru dari seberang sana. "Mas kenal?" Tanya Devira mendengar nada bicara Fahri, seakan Fahri tahu dengan Rama. "Tidak, tapi aku pernah mendengar kalau keluarga Lazuardi adalah salah satu keluarga terkaya di Kalimantan" "Itu memang benar, karena itulah, meski Rama sudah cacat wajah dan kakinya, Devita tetap saja bersedia menikah dengannya, maklum adikku itu matre" Devira tertawa mengejek Devita. Fahri terdiam, Rama Lazuardi bukanlah saingannya. Meski Rama tak sempurna lagi saat ini, tapi dengan uang yang dimiliki orang tuanya, kesempurnaan itu pasti bisa mereka beli. "Mas, Mas Fahri!" "Ooh, terimakasih infonya ya Vira, salam buat Vita dan kedua orang tuamu, assalamuallaikum" "Walaikum salam" Fahri termamgu, diam dan membisu, semua rencana yang sudah disusunnya musnah seketika. 'Apa aku harus merubah haluanku pada Devira? Tapi Devira tidak selugu Devita, pasti akan sulit menaklukannya, kecuali dengan memberinya banyak kesenangan. Tidak seperti Devita yang bisa ditaklukan hanya dengan rayuan. Ayolah Fahri, kehilangan sedikit tidak apa, demi untuk mendapatkan yang lebih banyak, mendapatkan apa yang kamu impikan' Fahri tersenyum, bukan senyum lembut seperti yang biasa ia perlihatkan, tapi senyum licik penuh dendam. BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD