Dengan kesal, Mike pun berjalan menaiki tangga spiral tersebut yang semakin lama semakin gelap karena lantai dua belum dinyalakan lampu. Dengan meraba-raba, Mike berjalan sepanjang dinding untuk mencari sakelar lampu. Ia sempat tersandung sesuatu dan akhirnya ia menemukan sakelar lampu di sudut yang agak jauh dari tangga. Tetap saja lampu kuning suram meneranginya kembali. Ternyata itu adalah ruang keluarga yang lumayan besar dengan sebuah perapian menghadap di depannya. Di atas perapian tergantung beberapa pigura-pigura kecil lagi. Mike sedang tidak ingin melihat foto apa yang ada di pigura-pigura itu.
Dua buah kursi berlengan besar berwarna merah hati saling berhadapan ke arah perapian dengan dialasi karpet bulu yang indah. Mike sampai berpikir apakah rumah yang ia masuki ini ada di abad 21 dan bukan pada tahun 80-an. Ruangan itu disekat dengan sebuah meja berlaci panjang dengan tumpukan buku tua dan vas bunga yang berdebu. Bunga di dalam vas bunga itu sudah layu dan kering, airnya saja sudah menguning dengan jentik-jentik nyamuk hidup berenang-renang di dalamnya. Di balik sekat itu terdapat dapur yang cukup modern bagi Mike. Sebuah kabinet berwarna putih kusam di sepanjang dinding lainnya dengan peralatan memasak yang berdebu tebal dan meja makan kecil. Wastafel yang kering dengan sedikit sampah di dalamnya. Terdengar bunyi tetes-tetes air dari keran wastafel tersebut. Walaupun hujan deras telah turun, Mike dapat mendengar apapun yang bergerak di rumah itu karena sepertinya rumah itu agak kedap suara.
Ia menoleh ke sebelah kanannya dan menemukan dua buah pintu berwarna kayu dengan kenop pintu berukir. Mike berjalan menuju ke salah satu pintu di sisi kanan dan memutar kenopnya. Sebuah kamar tidur terhampar di depan matanya dengan ranjang berwarna peach kusam berdebu seukuran dua orang dengan kelambu yang sudah robek di sebelah sisinya. Meja tidur di sisinya bersih tanpa barang. Sebuah lemari kayu besar berwarna hitam membentang di sebelah sisi dinding. Mike heran dengan interior dan pemilihan warna yang aneh di rumah ini.
Ada pintu kecil di samping pintu kamar. Mike membuka pintu kecil itu, ternyata sebuah kamar mandi yang lumayan besar dengan bathup yang terbuat dari marmer putih. Di dalam bathup itu masih tergenang sedikit air dan mulai menguning. Sebuah kloset di tepi dinding lainnya dan shower yang tergantung sembarangan. Handuk kotor tergantung di dinding yang terbuat dari batu. Memang sebuah rumah dengan desain yang aneh.
Mike keluar dari ruangan itu dan membuka pintu kayu di sebelah kamar tadi. Ia menemukan sebuah kamar tidur juga dengan peralatan yang berwarna hitam semua. Ada kesan suram dalam kamar itu bagi Mike. Ranjangnya berukuran lebih kecil daripada kamar sebelumnya. Tidak ada kelambu dan lebih banyak barang dan peralatan di dalamnya. Di meja tidur berserakan kertas-kertas menguning hingga jatuh di lantai. Kaca meja rias bahkan pecah dan serpihan kaca masih berserakan di bawahnya dengan sisir yang dipenuhi rambut gimbal mengerikan dan botol-botol beraneka ragam ukuran. Jendelanya ditutupi oleh tirai hitam juga dan hanya menyisakan sedikit celah kecil keluar. Tidak ada kamar mandi di kamar ini.
Mike pun kembali melongok keluar dan menemukan pintu di samping kabinet dapur yang tidak terlihat olehnya sebelumnya. Ia berjalan ke pintu itu dan membukanya. Dugaannya tepat, sebuah kamar mandi lebih kecil dengan bathup sederhana yang disekat oleh kaca buram untuk tempat shower dan cermin seukuran setengah badan dengan wastafelnya berada di depannya. Kamar mandi itu suram dengan penerangan yang remang-remang pula. Mike berpikir bahwa dia setidaknya harus merenovasi rumah itu di berbagai tempat.
Di dekat perapian ada tangga batu tanpa pegangan menuju ke lantai tiga. Mike kembali menjelajahi rumah itu. Ia naik ke lantai tiga dan lumayan kaget bahwa lantai tiga merupakan ruangan yang berbentuk segitiga mengikuti model atap rumah itu. Di dua sisi segitiga itu semua terbuat dari kaca dengan kusen dari kayu berwarna hitam. Tidak ada sakelar lampu di sini. Hanya ada sepasang lampu dinding yang membuat ruangan luas itu menjadi sangat remang.
Di ujung ruangan, sebuah grand piano klasik hitam berdiri dengan mewahnya. Mike berjalan ke arah piano itu. Ia memandangi seluruh lekuk-lekuknya yang masih indah hanya saja tertutup oleh debu. Dibukanya penutup piano itu dan ditekannya satu tuts. Bunyi piano langsung menggema di ruangan itu hingga membuat Mike takjub sekaligus merinding. Ia kembali menutup piano itu dan menoleh ke belakangnya. Sebuah sofa berwarna hitam yang sudah bocel bersandar di sisi dinding dengan meja kaca kecil di depannya. Ada beberapa peti berwarna hitam di sudut lainnya. Selain itu, tidak ada barang lainnya di ruangan itu.
Mike kembali turun ke lantai 2 dan memilih kamar berwarna peach itu sebagai kamar tidurnya. Ia tidak sanggup memikirkan untuk tidur di kamar sebelahnya. Diambilnya seprai ranjang tersebut dan dikibaskannya. Debu beterbangan dimana-mana hingga Mike harus mengalihkan pandangannya dari kibasan seprai. Ia meletakkan seprai itu di kursi kayu dan melepas semua sarung bantal yang ada. Tiba-tiba ponselnya berdering. Mike merongoh saku celananya dan menjawab ponselnya.
"Ya, Nic ?" jawabnya langsung.
"Kau pindah rumah hari ini bukan ? Aku mendapatkan pesanmu tadi pagi dan kupikir ada baiknya kalau aku membantumu pindahan. Bagaimana ?" tanya Nichole dari seberang.
"Tentu saja ! Aku tidak sanggup untuk membersihkan seluruh ruangan di rumah ini. Aku malah ingin meminta bantuanmu sebelum kau meneleponku !" jawab Mike dengan antusias.
"Nah, kalau begitu lebih baik kau buka pintu gerbang rumahmu karena aku sudah di depan rumahmu." tawa Nichole dan ia mematikan ponselnya.
Mike hanya tersenyum geli sambil meletakkan ponselnya kembali ke sakunya. Ia membuka tirai jendela sedikit namun tidak terlihat apa-apa hanya hujan telah berhenti.
Ia segera turun dari kamarnya dan mengambil kunci mobil yang diletakkannya di meja di lantai satu. Mike tidak mau repot-repot berjalan kaki ke depan gerbang yang lumayan jauh. Ia mengendarai mobilnya hingga sampai ke dekat gerbang dan mulai berpikir dengan heran. Seingatnya, ia tidak menutup gerbang rumah itu tadi. Dan sekarang entah kenapa gerbang rumah itu terkunci rapat dengan gemboknya.
Mike turun dari mobil dan kembali merongoh sakunya untuk mengambil kunci gerbang. Sesosok manusia yang hanya tampak bayangannya berdiri di tepi gerbang. Mike mengenali postur tubuh Nichole dari jauh. Ia berjalan menghampirinya dan mulai membuka kunci gerbang. Nichole mendengar bunyi besi hingga ia menoleh dan menemukan Mike yang sedang membuka gerbang. Ia melambai dengan girang dan berjalan mendekatinya juga. Gerbang berderit nyaring kembali hingga Mike hanya membukanya sedikit saja untuk membiarkan Nichole masuk.
"Aku mencari belnya tapi tidak ada ! Susah sekali menemukan rumahmu ini." protes Nichole.
"Tapi kau menemukannya juga 'kan ?" tawa Mike sambil kembali menutup gerbang.
"Ya, tapi dengan kesulitan karena aku menanyakan pada orang yang kulihat di jalan blok ini. Banyak dari mereka yang menolak membicarakan alamat rumahmu ini." lanjutnya sambil menerawang.
"Kau bertemu warga sini ?" heran Mike sambil membuka pintu mobil.
"Um ! Memangnya kau tidak ?" tanya Nichole bingung dan ia berhenti berjalan.
"Tidak, bahkan aku tidak menemui satu orangpun di jalan menuju kemari." jawab Mike berhenti juga.
"Kalau mereka menolak memberitahumu alamat rumahku, bagaimana kau bisa menemukannya ?" tanya Mike lagi dengan heran.
"Aku memaksa salah satu pria di sana, dia hanya menunjukkan arahnya saja setelah itu kabur." jawab Nichole simpel. Ia memperhatikan mobil Mike.
"Tunggu sebentar, kenapa kita harus naik mobil hanya untuk ke rumahmu ?" tanya Nichole sambil menatap Mike.
"Kau akan tahu nanti." jawab Mike tersenyum sekilas dan ia langsung masuk ke mobil. Nichole mengikutinya dengan bingung.