Gue ngeliat pantulan wajah di depan cermin dan nggak berhenti berdecak kagum. Gue cantik banget dirias kayak gini. Polesan make up nggak terlalu tebal dan terkesan alami, itu menambah kesan wanita dewasa pada diri gue.
Penata rias yang disewa Mami ini adalah salah satu penata rias yang terkenal di kalangan artis. Dan tentu saja biaya yang dibutuhkan sangat mahal, tapi sebanding dengan hasilnya.
Pintu kamar dibuka, di sana muncul Devi dengan gaun brokat putih yang panjangnya sampai mata kaki. Dia berjalan ke arah gue sambil berdecak kagum, “Subhanallah, lo beneran Alea yang burikk itu?”
Gue langsung nampol kepala Devi. Yang benar aja, gue imut dan ngegemesin ini dibilang burikk? Udah juling kali mata dia.
“Sakit begoo!” Devi meringis sambil memegangi kepalanya. Lebay banget nih kutil onta. Orang gue nampol dia nggak kenceng, kok.
“Siapa suruh bikin gue tambah bete.”
“Jalani aja, Le. Mungkin ini sudah takdir lo. Lagian ‘kan Pak Andrew ganteng banget. Lumayan tinggal satu rumah tiap hari cuci mata terus.”
“Lo ‘kan tau sendiri, Dev, Pak Andrew itu kalo sama gue galaknya minta ampun.”
“Siapa tau galak-galak gitu kalo udah di ranjang mainnya lembut.” Devi mencolek lengan gue.
Kali ini gue jitak kepala Devi, lebih kencang. “Dasar omes! Otak gue bisa terkontaminasi pikiran kotor lo itu.”
Devi mengusap kepalanya sambil ngakak. Nggak berapa lama, pintu kamar gue kembali dibuka. Muncul Mami sama Mama Wanda yang terlihat cantik sekali dengan hijab dan pakaian senada.
“Sayang, ayo. Ijab kabulnya udah selesai,” kata Mama Wanda.
Gue ngangguk dan langsung bangkit. Mami megang tangan kanan gue sambil ngusap pelan dan tersenyum, air mata mengalir di pipinya. “Aduh, nggak berasa ya, De, kamu udah jadi seorang istri. Perasaan dulu masih kecil banget, masih segede biji kacang. Makan aja masih disuapin sama Mami.”
Gue terharu sekaligus tertawa mendengar kata-kata Mami. Gue mengusap air mata di wajah Mami. “Udah dong, Mi. Nanti make up Mami luntur.”
Dengan cepat Mami menengadahkan kepalanya ke atas. “Iya ya, De. Mami udah bayar mahal-mahal malah luntur kena air mata. Rugi, dong!”
“Mami, ih. Giliran make up aja luntur langsung panik.” Gue memajukan bibir.
Mama Wanda dan Devi tersenyum lalu geleng-geleng kepala mendengar percakapan kami. Setelahnya, kami keluar kamar, turun menuju lantai satu dengan gue diapit oleh Mami dan Mama Wanda. Sedangkan Devi di belakang bantu ngangkat gaun gue. Kasihan sekali nasibnya.
Semua tamu menatap ke arah kami. Begitu pula Papi, Papa Tio dan Pak Andrew. Di ujung anak tangga terakhir, Pak Andrew berdiri dan mengulurkan tangannya dengan senyum yang terlihat kaku.
Sebelum nerima uluran tangan Pak Andrew, Mami terlebih dahulu berbicara, “Jaga anak Mami satu-satunya ya, Drew?”
Pak Andrew mengangguk mantap, barulah gue nerima uluran tangannya. Gue mengaitkan tangan kanan ke lengan Pak Andrew. Kami berjalan menuju pelaminan dan disepanjang jalanannya ditaburi kelopak bunga mawar juga diiringi lagu Christina Perri–A Thosand Years. Semua tamu undangan menatap ke arah kami dan bertepuk tangan.
Tamu yang datang kebanyakan teman dari relasi bisnis Papi dan Papa Tio. Tidak ada rekan kerja Pak Andrew maupun teman-teman sekolah gue. Kami udah bicarain ini, mereka nggak masuk undangan karena demi terjaminnya rahasia pernikahan. Selagi gue masih sekolah, status kami jelas akan disembunyikan.
Lagipula gue nggak mau ngambil resiko dengan ngundang teman satu kelas. Yang ada nantinya gue jadi trending topic, lebih parahnya lagi di drop out dari sekolah.
Hampir tiga jam kami berdua berdiri, tersenyum dan menyalami tamu satu persatu. Sumpah kaki gue pegel banget, belum lagi pipi gue kram akibat kebanyakan senyam-senyum menampilkan barisan gigi yang hampir kering.
Baru aja gue mau duduk, eh ada lagi tamu yang datang. Gue nggak terlalu kenal mereka, paling-paling rekan bisnis Papi atau Papa Tio lagi, pikir gue.
“Selamat, ya?” ucap pasangan suami istri itu bergantian. Kami berdua hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
Beruntung itu adalah tamu terakhir. Jadi, gue sudah bebas duduk bersandar, begitu juga dengan Pak Andrew.
Gue melepaskan buket bunga dan meletakkannya ke samping, kemudian merenggangkan tangan ke atas. “Ya Allah, capek banget. Berasa nggak punya kaki lagi saking pegelnya.” Gue memijit-mijit kaki kanan dengan pelan. “Pak, pijitin kaki saya, dong,” rengek gue pada Pak Andrew.
Pak Andrew mendengkus. “Seenaknya memerintah orang yang lebih tua dari kamu? Dan lagi, saya ini suami kamu kalau-kalau kamu lupa.”
Gue langsung mencibir, “Iya-iya, santai dong, Pak. Kalau nggak mau, ya langsung bilang aja nggak mau. Jangan bertele-tele dan bawa-bawa umur segala.”
Pak Andrew menjitak kepala gue. Kalian tau? Rasanya itu sakit banget, bahkan gue jamin ini jidat langsung merah. “Ih, Bapak!” desis gue dengan wajah yang kesal.
Dia hanya menampilkan wajah datar. Enggak ngerasa bersalah dan langsung ninggalin gue gitu aja.
Gue mendengkus sebal lagi, sambil memandangi punggungnya, kemudian menuju tempat Mami, Papi sama mertua gue ngobrol.
“Loh, suami kamu mana, Sayang?” tanya Mama Wanda.
“Mungkin udah ke kamar duluan, Ma,” kata gue cuek sambil memakan kue red velvet yang tersedia di atas meja.
“Kamu nggak ada niatan nyusul suami kamu, gitu?” Kini giliran Mami yang bertanya.
“Ade udah lapar, Mi. Untung tadi nggak pingsan di pelaminan. Bisa-bisa jadi berita viral nanti.”
Mami nggak menanggapi lelucon garing gue, dan lebih memilih mendesak menghabisi kue yang tinggal separo itu. Dia maksa gue langsung ke kamar untuk menyusul Pak Andrew.
Ngapain coba si Mami nyuruh gue pake desak-desakan segala?! Akhirnya, tanpa mengabiskan kue, gue pun beranjak.
Terdengar teriakan dari bawah, “Buatin Mami cucu ya, De!” seru Mami yang langsung disetujui oleh Mama Wanda. Gue nggak ambil pusing dan nerusin langkah menuju kamar.
Gue memutar gagang pintu dan langsung masuk, bertepatan dengan pintu kamar mandi dibuka. Pak Andrew keluar dengan rambut basah dan handuk yang mengait di pinggannya.
“Astagfirullah!” pekik gue, spontan menutup wajah dengan telapak tangan lalu mengintip dari sela-sela jari. Lumayan liat roti sobeknya Pak Andrew.
Pak Andrew yang awalnya kaget kini berjalan santai ke arah gue. Dia semakin mendekat, otomatis gue mundur. Alhasil, punggung gue kepentok pintu.
Dia bersidekap sambil mandangin gue. “Ngapain kamu nutup wajah seperti itu?”
Dengan cepat gue menjauhkan telapak tangan, kemudian nyengir canggung. “Nggak kok, Pak.” Gue menggeleng sambil menatap roti sobeknya lagi. Ini pertama kalinya gue ngeliat cowok telanjang dadaa secara live, biasanya ‘kan cuma di dunia maya aja.
Pak Andrew mengikuti arah pandangan gue, kemudian mensejajarkan tingginya dengan tinggi badan gue. “Menikmati pemandangan?”
Tanpa sadar gue ngangguk dan menggumam, “Roti sobek.”
Lamunan tentang roti sobek buyar karena jidat gue lagi-lagi kena sentil. Gue langsung kaget setengah mati saat ngeliat wajah Pak Andrew dekat banget, bahkan napasnya menerpa wajah gue. Siall! Kenapa tiba-tiba pipi gue terasa panas gini, sih?
“Pasti kamu mikir kotorr tentang saya,” tuduhnya sambil menyeringai.
Dengan cepat gue dorong badan Pak Andrew. Gue ngangkat gaun kemudian berlari menuju kamar mandi, sambil berteriak, “Ih, saya nggak mikir apa-apa, kok!” Lalu memasuki kamar mandi dan menguncinya rapat-rapat.
Gilaa! Efek roti sobek ternyata dahsyat banget. Bahkan sampe buat pipi gue merah padam dan jantung dangdutan. Gue nepuk pipi beberapa kali. Untung nggak lama jantung gue mulai normal kembali.
Gue menatap cermin yang ada di kamar mandi dan kaget banget. Astaga! Gue sampe masuk pake gaun pengantin pula. Ini gimana?
Setelah beberapa menit berpikir, akhirnya gue putuskan untuk keluar lagi. Perlahan gue mutar kenop pintu dan melihat situasi kamar. Ternyata ... aman. Nggak ada Pak Andrew. Syukurlah.
Gue langsung menuju meja rias untuk membersihkan semua make up yang menempel di wajah lalu melepaskan gaun pengantin yang super berat itu. Awalnya gue kesulitan, tapi akhirnya berhasil juga dan menggantinya dengan jubah mandi, kemudian bergegas untuk membersihkan badan.
Setelah selesai, gue memakai piyama motif minion, kemudian keluar. Di kasur sudah ada Pak Andrew yang berbaring telentang sambil memegang ponselnya.
Gue mendekati kasur ukuran king size lalu berdehem. Hal itu buat Pak Andrew mengalihkan tatapannya ke gue sambil mengernyitkan kening.
“Saya numpang tidur ya, Pak?” Gue minta izin sama Pak Andrew. Busyet deh, mau tidur di kamar sendiri aja pake izin segala.
“Siapa yang melarang kamu? Tidur aja di tempat manapun. Sesuka kamu saja,” katanya cuek lalu menatap ponsel kembali.
Gue mendengus lalu dengan cepat naik, ngambil guling untuk dijadikan pembatas. “Awas Bapak kalau sampai ngelewatin ini, saya aduin ke KPAI. Karena Bapak telah menodaii saya!” ancam gue sambil mengarahkan jari telunjuk tepat di wajah Pak Andrew
Dia mengangkat sudut bibirnya sedikit. “Tidak akan pernah,” katanya sombong.
Lagi-lagi gue mendengus, tapi kali ini gue nggak bales ucapan Pak Andrew. Lebih baik gue tidur aja. Capek meladeni orang kayak dia. Bikin darah tinggi mulu.
Gue memunggungi Pak Andrew dan langsung memejamkan mata. Nggak berapa lama langsung terlelap ke alam mimpi. Sungguh hari yang melelahkan.
***