[4] Dipingit?

1556 Words
Gue dan Pak Andrew pergi ke butik untuk fitting baju pengantin. Di sana ada Mami dan Mama Wanda yang sudah datang lebih dulu. Katanya, dua orang tua cerewet itu juga pengen tau seberapa pas jas yang melekat di tubuh Pak Andrew dan seberapa cantik gue make gaun pengantin. Gue cengo liat isi butik. Sumpa, gaun pengantinnya cantik-cantik. Kalau bisa di gambarkan saat ini, pasti di mata gue itu ada love-love saking kagumnya. Gue nyentuh model pertama dengan motif ball gown berbentuk lonceng. Ya Allah, alus dan lembut banget. Kulit bayi aja kalah sama nih gaun. Kalau kain yang model gini dijadiin sprei tidur, gue jamin gue nggak bakalan bangun-bangun lagi. Gue coba gesek-gesekin pipi pada gaun itu, pengen ngerasain betapa lembutnya saat kain nyentuh pipi gue, tapi sayang, padahal tinggal dikit lagi kulit pipi gue nempel, keburu ada yang narik kerah baju gue dari belakang. “Eh, gue nggak bisa napas, woi!” teriak gue. Beruntung nggak lama, kerah baju gue dilepas. Gue berbalik dan ngeliat siapa pelakunya. Ternyata eh ternyata Pak Andrew, pemirsa! Mumpung ini nggak di sekolah, jadi, kalo gue ngelawan dia pasti nggak akan kena hukuman. Gue langsung bertolak pinggang dan berkata sinis, “Heh, Pak Guru! Ini bukan sekolah. Jadi, lo nggak berhak ngatur-ngatur gue!” Pak Andrew natap gue dengan ekpresi datarnya, kemudian berlalu begitu saja menuju sofa, duduk dengan santai lalu membuka majalah. Kekesalan gue nambah dua kali lipat. Udah panjang lebar gue ngomong malah ditinggalin. Ih, sebel banget gue. Pengen nyakar itu guru songong. Gue menghentak-hentakkan kaki dan mencebikkan bibir ke arah Pak Andrew. Mami mendekat, langsung nempelin telapak tangannya ke pelipis gue. “Nggak panas, kok?” Gue bingung. Apa yang panas? Orang gue nggak keringetan. Ini si Mami aja yang aneh. “Ngapain, Mi?” Mami menggelengkan kepalanya. “Mami kira kamu kesurupan, De. Orang dari tadi mencak-mencak nggak jelas gitu.” Ha, kesurupan? Mana ada jin dan setan yang berani masuk ke tubuh gue. Yang ada gue ngerasuki mereka. “Ayo, Dek, cepet cobain gaunnya. Ini udah sore, loh!” Mami narik tangan gue ke salah satu ruang ganti. Di sana sudah ada pelayan yang akan bantu gue untuk memasang gaun. Setelah Mami keluar, tirai ruang gantipun ditutup. Gue memakai gaun lonceng dengan off the shoulder neck line identik dengan tumpukan-tumpukan kain dibagian rok. Tirai ruang ganti dibuka oleh dua pelayan. Di sana ada Mami sama Mama Wanda yang mandangin gue kagum. Kaget kayaknya punya anak secakep gue. Pak Andrew juga baru keluar dari ruang ganti tepat di sebelah gue. Gue syok ngeliat penampilannya. Sumpah, kece badai! Pokoknya, bagus banget tuh jas yang nempel di badannya. Gue mandangin dia, dia juga mandangin gue balik tanpa berkedip. Kami ... saling terpesona. Terdengar deheman dari Mama Wanda. “Udah dulu pandang-pandangannya.” Dengan cepat Pak Andrew mengalihkan tatapan dari gue. Begitu juga sebaliknya. Yah ... walaupun gue masih pengen mandangin Pak Andrew, tapi gue tahan. Entar dia kegeeran gue pandangin terus, ya, kan? “De, deketan dong sama Andrew. Masa jauhan gitu, gimana Mami mau nilainya?” “Iya, Mi. Ini Ade lagi jalan. Lagian kenapa sih gaunnya berat banget, kayak ngangkat beban tiga orang aja.” Gue ngedumel sendiri. “Kamu itu selalu mengeluh, Alea. Bisa lebih cepat? Ini saya sudah kepanasan!” desak Pak Andrew. “Tuh, dengerin kata calon suami kamu!” Ih, si Mami pake bela-belain Pak Andrew lagi. Berasa anak tiri gue. “Santai aja, May. Itu kasihan juga Alea habis pulang sekolah langsung ke butik. Pasti dia kecapekan,” bela Mama Wanda yang ngebantuin gue ngangkat gaun. Ah, ternyata ada juga yang ngebelain gue. Ini nih mertua idaman banget. Bukannya ngebelain anaknya, eh malah belain gue yang notabenenya calon mantu. Ini baru calon, loh, belum jadi mantu beneran. Gue berdiri di samping Pak Andrew. Asli, gue baru nyadar kalo dia itu tinggi banget. Sedikit coba-coba, gue ngelirik ke samping. Nggak ada yang berubah, wajahnya masih datar aja, tapi sialnya makin ganteng, guys. Ini mata gue yang bermasalah atau gimana, sih? “Ngapain kamu lihat saya? Terpesona?” tanyanya dengan nada menyebalkan. Gue ngerucutkan bibir. Udah terciduk, eh bener lagi. Karena nggak tau mau jawab apa, gue milih diam aja. Biarkan angin menjawab pertanyaanmu wahai Pak Guru. Mami dan Mama Wanda tersenyum puas pada kami. Setelah itu, mereka berbicara dengan si pemilik butik. Entahlah berbicara apa, yang pasti setelah itu mereka kembali dan ngomong pada kami kalau sekarang boleh ngelepasin gaun sama setelan jasnya. Tanpa banyak bicara, Pak Andrew langsung menuju ruang ganti. Dibantu dua orang pelayan, gue juga masuk ke dalam ruang ganti dan melepaskan gaun super mewah dan super berat itu. Hhhh ... Gue mendesah lega. Gue keluar, bahkan sekarang gue lari-larian. Langkah gue rasanya ringan banget. Gue langsung ngambil tas sekolah yang tergeletak di atas sofa, kemudian menyampirkannya ke punggung. “Udah, De?” tanya Mami mendekat. Gue ngangguk. “Kita pulang sekarang aja. Takut maghrib di jalan. Pamit dulu sama calon suami dan calon mertua kamu,” suruh Mami. Gue ngangguk lagi dan langsung mencium tangan Mama Wanda. “Alea pulang dulu, ya, Ma?” “Iya, Sayang,” kata Mama Wanda kemudian meluk dan cium pipi gue. Beralih ke Pak Andrew, dia ngulurkan tangannya dengan wajah lempeng. Dengan ogah-ogah gue sambut. Kalau aja nggak di depan Mami sama Mama Wanda, mana mau gue kayak gini. “Kami pulang duluan, ya, Wan?” pamit Mami. Giliran Pak Andrew yang cium tangan Mami. Setelah itu, barulah kami keluar dari butik, masuk ke mobil. Mami berdadah-dadah ria dengan Mama Wanda. Setelahnya, Mang Ujang mulai memacu mobil dengan kecepatan sedang. *** Gue dan Mami baru sampai bertepatan dengan azan maghrib berkumandang. Mami nyuruh gue mandi, setelah itu kami berlima–termasuk Papi, Bi Inah, sama Mang Ujang–sholat berjamaah. Sudah menjadi kebiasaan setiap maghrib, isya, dan subuh maka kami akan sholat berjama’ah. Tapi, kadang gue nggak ikut karena lagi PMS, bisa juga karena malas, ehehehe ... Selesai sholat, dilanjutkan dengan makan malam. Satu meja makan diisi oleh kami berlima. Bi Inah sama Mang Ujang itu sudah kami anggap seperti keluarga. Bahkan, mereka ada sebelum gue lahir, loh. “De, mulai besok kamu izin sekolah, ya,” kata Mami membuka percakapan setelah selesai makan. “Emang kenapa, Mi?” tanya gue penasaran. Tumben, biasanya kalo gue pengen bolos sekolah pasti nggak dibolehin sama Mami. Giliran nggak minta, eh malah disuruh. “Mulai Senin besok sampai menjelang hari-H, kamu akan dipingit.” “Nggak bisa dipingitnya sambil sekolah, Mi?” “Kamu ini ada-ada aja. Mana bisa. Kata orang, pamali calon pengantin yang dipingit itu keluar rumah. Nanti Papi yang bantu minta izin sama kepala sekolahmu langsung. Ya ‘kan, Pi?” tanya Mami pada Papi. Papi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ade, sih, mau-mau aja, Mi. Lumayan ‘kan libur.” Gue nyengir lebar. “Setelah menikah, gimana dengan sekolah, Mi? Pokoknya Ade nggak mau berhenti.” “Yang bilang kamu berenti sekolah siapa?” Papi yang kali ini angkat bicara. “Ya ‘kan Ade mau nikah. Nanti kalo semua orang tau gimana? Bisa-bisa Ade langsung dikeluarin dari sekolah.” “Oh, Kalau masalah itu gampang. Asal jangan ngomong ke siapa-siapa saja. Nanti kamu sendiri yang repot.” God! Gue bilang ke orang-orang kalo gue udah nikah? Sama aja itu kayak gorok leher sendiri. “Ih, Papi. Ade itu bukan orang yang suka bongkar rahasia. Lagian itu ‘kan rahasia Ade sendiri,” kata gue cemberut. “Ya, bagus, dong,” ucap Mami sama Papi berbarengan. Saat nggak ada percakapan lagi. Papi bangkit menuju ruang kerjanya. Mami juga ikut bangkit tapi gue cegah terlebih dahulu. “Mi, dipingit itu apa, sih?” tanya gue, penasaran sejak pertama kali kata dipingit itu keluar. Mami kembali duduk. “Dipingit itu salah satu tradisi adat di Indonesia, yaitu sang calon pengantin wanita nggak boleh keluar rumah dan bertemu calon pengantin pria berdasarkan waktu yang telah ditentukan, biasanya sekitar satu minggu. Manfaat dari dipingit itu menjaga kebugaran, menjaga aura kecantikan, menjaga rasa kangen, menjaga kepercayaan dan menjaga diri. Paham?” tanya Mami. Gue hanya mangap-mangap denger penjelasan panjang lebar Mami. Sepertinya ... gue nggak ngerti, tapi gue berdalih dengan mengangguk. “Ada yang ditanyakan lagi?” Rupanya, sekarang Mami jadi guru dadakan. Gue menggeleng. “Yaudah, Mami ke kamar dulu. Ngantuk.” Kemudian Mami berlalu, ninggalin gue di ruang makan. Bi Inah dan Mang Ujang yang jadi pendengar sejak tadi kini tersenyum pada gue lalu bertanya, “Makannya udah, Neng?” “Iya, Bi.” Gue mengangguk. Setelah itu, ikut meninggalkan ruang makan, menuju kamar. Gue menghempaskan badan di kasur yang super empuk dan meraba ponsel di nakas.  Gue buka aplikasi WA. Temen-temen gue pada ribut di grup kelas, gue nggak mau ikutan. Paling-paling juga yang dibahas berita unfaedah lainnya. Satu pesan masuk dari Devi. Devina Aradila : [Le, besok ulangan bahasa Indonesia. Bagi-bagi, oke?] Me : [Sorry, satu minggu ke depan gue nggak bisa sekolah.] Devina Aradila : [Kenapa?] Me : [Kata Mami dipingit.] Devina Aradila : [Hiks, sedih nggak ada teman nyontek.] Gue tersenyum geleng-geleng kepala, lalu menaruh kembali ponsel ke tempat asalnya tanpa membalas pesan Devi. Gue termenung menatapi langit-langit kamar. Kurang lebih satu minggu lagi, status gue berubah jadi istri orang. Setelah puas berpikir, gue menutup mata dan berdoa dalam hati semoga apa yang gue jalani ke depannya akan baik-baik saja. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD