Gue menelungkupkan kepala di atas meja kemudian menyamping. Menatap Devi yang lagi moles lipstik warna oren ke bibirnya.
Ini jam istrirahat, teman-teman gue pada ke kantin. Tapi, ada juga yang masih bertahan di kelas termasuk gue. Karena gue lagi malas jalan, begitu pula dengan Devi, jadilah kami berdua diam di kelas aja.
Tiba-tiba, Budi si ketua kelas mendekati meja kami. “Le, Dev, kalian berdua dipanggil Pak Andrew.”
Gue langsung duduk tegak. Gue liat Devi masih sibuk dengan memoles wajahnya, itu anak dengerin nggak, sih? “Iya, Bud. Makasih.”
Budi ngangguk dan langsung pergi.
Gue bangkit, langsung keluar menuju ruang BK. “Dev, kira-kira kita bakalan diapain, ya?”
Nggak ada yang jawab, gue manggil sekali lagi. “Dev?” Masih nggak ada yang nyahut. Gue noleh, anjir pantas nggak nyaut, orang Devi-nya aja nggak ada.
Gue kembali masuk ke dalam kelas, lalu nyeret Devi, gue kira nih anak ngikutin gue tadi.
“Woi, Le! Santai dong!” Devi terseok-seok mengikuti langkah gue.
“Santai pala nenek lo! Ini kita dipanggil ke ruang BK sama Pak Andrew!”
Devi berhasil ngelepasin tangan yang gue cengkram, kemudian panik. “YA AMPUN, LE, KOK LO BARU NGOMONG?!”
Lah, nih anak baru kaget sekarang?
Gue jitak kepala Devi. “Makanya kalau orang ngomong itu didengerin, jangan make up sama cermin terus yang dipantengin.”
Barulah Devi grasak-grusuk, loncat-loncat nggak jelas. “Aduh, gimana ini, Le?” tanyanya panik sambil ngusap jidatnya yang tadi gue jitak.
Gue mengangkat bahu pertanda nggak tahu dan meneruskan langkah menuju ruang BK, sedangkan Devi ngintilin gue di belakang.
Di depan kami berdua ada pintu yang tercetak dengan jelas bahkan menggunakan huruf kapital semua ‘RUANG BK’. Tarik napas, hembuskan. Tarik nafas lagi, hembuskan, lalu gue menoleh ke samping. “Udah siap, Dev?”
Devi berkomat-kamit yang kedengaran jelas di telinga gue. Sumpah ni anak baca ayat kursi? Gue pengen ngakak dengernya, tapi gue tahan karena situasi dan kondisi yang nggak tepat.
Selelah mengusap tangan ke wajahnya dan mengucapkan kata ‘amin’, barulah Devi menatap gue dan ngangguk mantap.
Baru aja pengen ngetok pintu, eh tiba-tiba pintu udah kebuka dari dalam. Dan berdirilah malaikat maut penunggu ruangan dengan muka datarnya. “Masuk! Saya tahu kalian sejak tadi diri-dirian di depan pintu.”
Devi menunduk takut. Nih anak baru pertama kali nginjak ruang BK, jadi gitu ekspresinya. Kayak domba yang dipojokkan serigala.
“Masuk!” perintah Pak Andrew lagi sambil berjalan menuju singgasananya.
Gue narik tangan Devi. Kami berdua duduk dan mendapat tatapan tajam dari Pak Andrew. Bahkan matanya kayak pisau yang baru diasah. Ngeri, Cuk!
“Kalian tadi darimana saja? Bukannya mengikuti pelajaran, malah keluyuran tidak jelas.”
Gue melipat kedua tangan di depan dadaa. “Ke UKS, Pak.” Sambil nyenggol kaki Devi buat ngeiyain alasan gue.
“I-iya, Pak. Kami ke U-UKS,” jawab Devi terbata-bata.
“Oh, ya? Saya baru tau ada UKS di kantin?”
Gue yang awalnya nyender di kursi kini duduk tegak. “Setelah dari UKS, baru kami ke kantin.” Gue nyengir. Kali aja Pak Andrew luluh dengan senyum menggemaskan gue.
“Benar, Devi?” tanya Pak Andrew, tatapan tajamnya juga tertuju pada Devi.
Gue berdoa dalam hati, moga aja si Devi ngangguk. Kalau nggak, bisa mampuss gue!
Devi hampir nggak bisa menelan salivanya. Bahkan untuk membuka mulut saja dia susah, tapi dengan mengumpulkan tenaga, dia mengeluarkan kata-kata dengan susah-payah. “Se-sebenarnya ka-kami ng-nggak ke U-UKS.”
Mampuss kali ini. Gue yang awalnya bersidekap, kini menggaruk-garuk pelipis. Tatapan tajam Pak Andrew ditujukan ke gue lagi, disertai dengan seringainya. “Baik, Devi, saya hargai kejujuran kamu. Jadi, saat ini kamu boleh keluar dari ruangan saya.”
Dari ekor mata, gue lihat Devi meringis, merasa bersalah. Gue tanggapi dengan anggukan, bahkan dia minta maaf tanpa suara ke gue, dan gue bilang nggak pa-pa. Barulah setelah itu dia keluar dari ruangan ini.
Sekarang tinggallah gue dan Pak Andrew. Mendadak ruangan jadi dingin, bahkan suasanya jadi menegangkan.
“Jadi, hukuman apa yang cocok untuk murid bandel seperti kamu?” tanyanya sambil menekankan kata ‘murid bandel’.
“Apa aja, sih, Pak. Yang penting jangan bikin capek.” Gue kembali bersidekap dan bersandar di kursi. Kelewat santai.
“Oke. Saya beri hukuman yang tidak membuat kamu capek. Bersihkan toilet perempuan, lalu mungutin sampah yang ada di lingkungan sekolah. Saya tidak ada toleransi walaupun kamu itu calon istri saya.”
Gue buka mulut ingin protes. Eh, Pak Andrew motong duluan, “Kalau protes, hukuman akan ditambah. Setelah pulang sekolah, langsung kamu kerjakan. Nggak ada tapi-tapian. Sekarang, kamu boleh pergi dari ruangan saya!”
Sumpah pengen jambak tuh rambut Pak Andrew. Sebel banget gue!
Dengan wajah dongkol, gue bangkit lalu keluar. Sengaja gue kencengin nutup pintunya karena melampiaskan kekesalan.
Terdengar suara teriakan dari dalam, “Saya tambahin hukuman kamu jadi satu minggu!”
Gue balas teriak, “Masa bodo, Pak!” Lalu berlari dengan cepat menuju kelas.
Di kelas masih pada ribut padahal jam pelajaran dimulai sejak tujuh menit yang lalu. Gue masuk, tatapan gue langsung terarah pada meja paling pojok. Giila banget, di sana ada Devi tertawa ngakak bareng Rindi dan Sila. Wah, udah bisa tertawa tuh anak.
Gue gebrak meja, membuat tatapan Devi, Rindi dan Sila tertuju ke gue. “Giila tuh, Pak Andrew. Ngasih gue hukuman bersihin toilet sama mungutin sampah, tau nggak! Parahnya lagi, gara-gara gue ngelawan, hukumannya jadi satu minggu.”
Devi nunduk. “Maafin gue, ya, Le? Nanti gue bantuin lo,” katanya pelan.
Gue menggelengkan kepala. “Nggak pa-pa, Dev. Kan gue yang ngajakin lo ke kantin? Bahkan gue juga ngajak lo bohong.”
“Nggak, Le, pokoknya gue bantuin, lo!” Devi bersikeras.
“Gue nggak pa-pa. Nggak usah, ya, Dev? Nanti hukuman gue nambah.”
Akhirnya, Devi ngangguk pasrah. “Kalau lo butuh bantuan, ngomong aja ke gue.”
“Sip.” Gue mengacungkan jari jempol ke Devi.
Rindi dan Sila cengo. Nggak ngerti sama sekali arah pembicaraan kami.
“Kalian ngomong apa, sih?” tanya Sila kemudian disertai anggukan dari Rindi.
Dengan santai gue ngejawab, “Lagi ngomongin ukuran sempaknya Cha Eun Woo.” Lalu gue terbahak. Maafkan gue oppa, nama lo ternistakan.
***
Bel pulang sekolah berbunyi, semua murid terlihat bahagia sekali. Contohnya saja wajah Devi, bahkan dari tadi nyengir-nyengir pamerin giginya, yang untung rapi dan putih.
Gue sebenarnya bahagia juga dengar bel pulang berbunyi. Tapi, kebahagiaan itu pupus saat mengingat tampang Pak Andrew dan ucapannya. Jadilah, gue sekarang dadah-dadah sama Devi di depan toilet. Ampun, sedih banget hidup gue.
Sebelum masuk pintu toilet, gue ngirim pesan lebih dulu untuk Mami.
Me : [Mi, Ale pulang telat, ya. Ada yang harus Ale kerjakan di sekolah.]
Mami : [Oke, Syantikk. Jangan sampe malam, ya, pulangnya.]
Gue tersenyum. Iyalah, kecantikan gue sudah teruji secara ITB dan IPB. Elah macam alat penyaring air aja.
Dengan cepat gue balas chat mami.
Ale : [Oke, Bos.]
Lalu menyimpan ponsel ke dalam saku, dan langsung membuka pintu toilet. Gue lihat di pojok ada pel lantai dan sapu. Pokoknya, di situ lengkap alat bersih-bersih lantai. Gue ambil pel lantai, lalu mulai mengerjakan tugas upik abu dadakan ini.
Piuhh ... gue menyeka keringat di pelipis. Satu jam telah berlalu, sekarang toilet sudah bersih, licin dan kinclong. Tue taroh pel lantai ke tempat asalnya lalu keluar dari toilet.
Sebelum mungutin sampah, gue duduk lebih dulu di bangku taman di depan kelas 10-B IPS sambil mandangin cowok-cowok yang sedang latihan basket. Gue keluarin buku tulis dan gue jadiin kipas. Lumayan, anginnya dikit ngilangin gerah.
Bola basket menggelinding tepat di samping kaki gue. Tiba-tiba ada cowok mendekat.“Lo nggak pa-pa?”
Gue mendongak, lalu terpesona ngeliat si Jovan, ketua OSIS idola dengan keringat yang ada di pelipisnya. Menambah kesan hot-hot pop gitu.
Jovan melambai-lambaikan tangan. “Hei, lo nggak pa-pa, kan?” tanyanya sekali lagi.
Gue ngerjapkan mata. Dengan cepat mengangguk-nganggukan kepala. “Eh, iya-iya. Gue nggak pa-pa.”
Dia ngangguk, lalu ngambil bola basket. “Gue lanjut main.”
“Iya, silakan-silakan.”
Jovan menyunggingkan senyum, kemudian berbalik. Seketika gue terpesona sampe terbengong-bengong mandangin punggung lebarnya.
Kalau kalian nanya di mana gue kenal Jovan? Dia ketua OSIS sekolah gue, dan lagi dia itu masuk jajaran most wanted yang diburu kaum hawa, termasuk gue. Urusan Jovan kenal gue atau enggaknya, itu sih nggak penting. Lagian, gue ini termasuk cewek biasa yang keberadaannya tidak terlalu menjadi sorotan. Tapi, gue terkenal kok di kalangan temen sekelas gue.
“Oh, jadi ini kerjaan kamu? Malas-malasan dan mandangin anak cowok main basket?”
Dih, apaan, sih nih guru killer? Tiba-tiba muncul lalu nyindir. Bilang aja iri karena nggak gue pandangin juga.
“Iya, Pak, iya. Ini saya lagi mau mungutin sampah, kok.”
“Saya awasi kamu. Kalau sampai tidak memungut sampah, kamu tidak akan saya suruh pulang!” ancamnya, lalu berbalik ninggalin gue.
Gue mengepalkan kedua tangan, meninju-ninju angin untuk melampiaskan kekesalan. “Gue doain biar kena darah tinggi!”
Pak Andrew berbalik, matanya melotot. Dengan cepat gue pura-pura pemanasan, ngerentangin tangan ke depan dan ke samping.
“Besok kita fitting baju pengantin. Sepulang sekolah, kamu langsung ke ruangan saya!” Setelah mengatakan itu, Pak Andrew kembali melanjutkan langkahnya.
“Gue belum sempat ngejawab, main tinggal-tinggal aja. Songong banget tuh, guru. Ih, kesel banget gue!” Lalu, dengan wajah yang ditekuk, gue mungutin sampah dari ujung halaman depan kelas 10-A IPA.
Beruntunglah sampahnya tidak terlalu banyak, jadi kerjaan gue cepat kelar.
Gue ngeliat jam di pergelangan kiri gue. Pukul lima sore. Gue lihat ke sekeliling lapangan, sunyi. Dengan cepat gue ngacir ke depan gerbang sekolah. Serem banget suasananya menjelang maghrib.
Gue ngeluarin ponsel dari saku, mau nelpon Mami. Tiba-tiba ada yang bunyiin klakson, pandangan gue langsung teralihkan dari ponsel. Gue ngeliat Pak Andrew buka kaca mobilnya. “Masuk! Saya anter kamu.”
Idih nggak niat banget ngajakin orang. Batin gue mencebik, tapi kaki gue berkhianat dan melangkah masuk ke dalam mobil BMW 520i Luxury Line miliknya.
Gue duduk cantik di jok penumpang. Adem-anyem, tapi gue ngerasa ada yang mandangin gue. Saat mendongak, pandangan kami bertemu. Pantas aja sedari tadi gue ngerasa hawanya nggak enak, ternyata itu, toh. Pak Andrew memelototi gue dengan tatapan tajamnya.
“Siapa yang suruh kamu duduk di belakang?”
Wah, kayaknya nih Pak Andrew tiap hari kena PMS, deh. Kalau ngomong pake urat mulu. Gue yang dengar aja capek!
“Nggak ada, sih, Pak. Saya sendiri yang pengen,” ucap gue dengan wajah tanpa dosa.
“Ke depan sekarang! Saya bukan sopir kamu.”
Gue nangguk. Iyain aja, biar cepet.
***